Setidaknya dengan ngaji deling bambu unik kita pun diajak untuk ngaji roso dan ngaji diri kendati datangnya dari sepotong bambu.
Tapi setidaknya dari sini pula kita bisa membaca dan mengagumi tanda-tanda kebesaran alam, sekaligus menjadi bukti atas kebesaran Sang Maha Pencipta, kendati lewat sepotong bambu kuning carang gantung lafaz "Allah".
Lewat tanda-tanda kebesaran alam walau hanya dari sepotong bambu ini setidaknya semakin menebalkan iman dan keimanan serta ketakjuban kita akan kebesaran Tuhan Semesta Alam sebagai Sang Maha Pencipta. Tak ada yang tak ada atas kehendak kuasaNya...!!!
Manusia tidak akan mampu menjangkau membuka tabir misteri Dzat Allah, tapi cukup dengan mengagumi dan mentafakuri.
Begitu halnya dengan simbolisasi hermenuetik bambu unik salib yang secara filosofis humanisme mengadung makna yang mengajarkan kepada kita bagaimana manusia harus menjaga keseimbangan dan harmonisasi dalam hubungan vertikal -- horisontal.
Dalam hubungan batang vertikal mengajarkan kepada kita bagaimana manusia menjaga ketakwaannya sebagai makluk ciptaanNya dengan Sanghyang Khaliq -- Tuhan Semesta Alam.
Sedang dalam hubungannya yang berupa dua ranting horisontal, mengajarkan kepada kita bagaimana manusia menjaga harmonisasi keseimbangan hubungan sosial dalam hidup dan kehidupan.
Semua ini adalah penggambaran hubungan dan kebutuhan hidup manusia, baik hubungan antar sesama, hubungan dengan Sanghyang Khaliq, dan juga hubungannya dengan alam yang kita huni.
Lewat bambu salib ini kita juga diingatkan akan pesan-pesan kasih sayang dan cinta kasih Sang Pencipta tak terhingga pada semua umatnya, juga antar hubungan sesama manusia.
Dan harmonisasi keseimbangan dalam menjaga hubungan vertikal -- horisontal merepresentasikan sebagai simbolisasi perwujudan kasih sayang dan cinta kasih yang dalam bahasa kitab disebut habluminallah -- habluminnanas.
Setidaknya itu sekilas siapa dan apa bambu unik. Semoga daripadanya, selain mengenalkan kita pada ngaji deling siapa dan apa bambu unik -- membaca bambu mengungkap makna, juga akan menuntun kita pada sebuah perjalanan spiritual kita tidak sekedar ngaji roso, tapi juga berlanjut pada ngaji diri.
