Diangkat dari tema debat Pilpres 2019 prihal penanggulangan terorisme, jawabannya ada di Prabowo Subianto.
Di sini saya sengaja tidak ingin mengomentari apa yang disampingkan oleh pasangan capres -- cawapres No.01, Jokowi -- Ma'ruf Amin. Karena jawabannya saya anggap sangat normatif dan apa yang disampaikan itu tak lebih dari sekadar wacana atau khotbah.
Pastinya beda dengan jawaban pasangan No.02, Prabowo Subianto ketika harus menjawab pertanyaan prihal penanggulangan terorisme. "Saya bersama dengan Pak Luhut Panjaitan pasukan anti teror yang pertama," ungkap Prabowo.
Sebagai orang yang pernah bertugas di militer, di pasukan anti teror komando pasukan khusus (kopassus) TNI-AD, pastinya capres No.01 ini paham betul prihal terorisme, termasuk dalam hal taktis strategis penanggulangannya.
Bahkan ketika berdinas di kopassus, Prabowo yang dikenal dengan 08 ini telah menunjukkan bukti nyata pencapaian prestasinya saat memimpin satuan pasukan elit TNI-AD ini.
Di medan tempur, bersama pasukan Den 28 Kopassus yang dipimpinnya, Prabowo yang saat itu berpangkat kapten berhasil melumpuhkan dan menembak Nicolau Lobato, pimpinan puncak gerombolan Fretilin dalam sebuah pertempuran di lembah Mindelo, Timor Timur, 31 Desember 1978.
Sekembali dari bertugas di Timor Timur, karir Prabowo terus menanjak dan berkibar. Di tahun 1983, ia dipercaya sebagai Wakil Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teroris (Gultor) -- Kopassus.
Berikutnya, setelah menyelesaikan pelatihan anti teror "Special Forces Officer Course" di Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggungjawab sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara.
Pencapaian prestasi lainnya yang tak kalah gemilangnya dan mendapat pujian dunia, ia tunjukkan dan dibuktikan atas keberhasilan satuan komando yang dipimpinnya dalam operasi pembebasan sandera peneliti Ekspedisi Lorentz di desa Mapanduma, kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya, yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel Yudas Koyoga, tahun 1996.
Dalam operasi pembebasan sandera ini selain peneliti asal Indonesia, terdapat pula empat peneliti warga Inggris, Jerman dan Belanda, yang disandera oleh OPM pimpinan Kelly Kwalik.
Atas pencapaian keberhasilannya saat mengkomandoi satuan pasukan elit Kopassus dalam operasi pembebasan sandera yang dikenal dengan peristiwa Mapanduma, pencapaian prestasi inipun disandingkan dengan drama kisah gemilang keberhasilan satuan pasukan elit Israel menangani aksi teror yang dilakukan oleh kolompok teroris dengan sasaran para atlet dan diplomat Israel dalam Olimpiade Munich -- Jerman, September 1972, yang dikenal dengan peristiwa "Black September".Â