Di sini saya sengaja menuliskan artikel ini dengan judul "Antara Anies Baswedan dan Jelang Hari Sumpah Pemuda". Tapi di sini saya tidak ingin mengomentari atau mengulas pajang lebar prihal pidato perdana Anies Baswedan usai pelantikannya sebagai Gubenur DKI Jakarta 2017 -- 2022 di Balai Kota DKI Jakarta, pada 16 Oktober, atas penyebutan istilah pribumi yang dinilai bernada rasis.
12 hari lagi, tepat pada tanggal 28 Oktober, kita akan mempertingatinya sebagai Hari Sumpah Pemuda. Dari judul "Antara Anies Baswedan dan Jelang Hari Sumpah Pemuda" kita pun dingatkan oleh sebuah momentum historis bernama Sumpah Pemuda bahwa kita adalah satu, kita adalah satu saudara yang terlahir dari rahim Ibu Pertiwi.
Dengan semangat Sumpah Pemuda, kita pun diajak menemukan kembali jati diri kita dari pelajaran peristiwa bersejarah Konggres Pemuda Indonesia II, 28 Oktober 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda; bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu -- Indonesia, yang juga ditandai dengan lahirnya lagu Indonesia Raya, yang kita dijadikan sebagai lagu kebangsaan bangsa Indonesia.
Bagaimana kita diingatkan oleh kenangan momentum historis sumpah para pemuda yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang diketuai Sugondo Joyopuspito dan kawan-kawan, bersama oraganisasi kepemudaan lainnya;Â Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Kaum Betawi, dan Pemuda Indonesia, bersatu pada dalam satu semangat yang sama; Indonesia Raya.
Dari momentun ini pula melahirkan peristiwa sejarah yang dipelopori kaum muda yaitu Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, berikrar dalam satu semangat persatuan dan janji;
     Kami putra-putri Indonesia
      Bertanah air satu, tanah air Indonesia.
      Berbangsa satu, bangsa Indonesia
      Berbahasa satu, bahasa Indonesia
Sehingga tidak alasan lagi bagi kita untuk meretakkan dan mempolarisasikan bangunan persaudaraan kita sebangsa dan setanah air dengan mengangkat kembali sentimen-sentimen bernada rasis seperti penyebutan istilah pribumi. Begitupun tak ada pembenaran bagi siapa pun untuk mengangkat dan menghidup-hidupkan kembali sentimen-sentimen rasis ini, apalagi sampai digunakan demi kepentingan politik pramatis.
Di tengah keragaman suku, budaya, bahasa dan identitas lainnya bahwa kita adalah bangsa yang diper-satu-kan oleh simbol burung garuda bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika.
Dari Bhinneka Tunggal Ika kita pun dipersatukan oleh lagu kebangsaan yang tak pernah berubah dan masih sama yaitu Indonesia Raya. Semua ini telah mempersatukan dan menyatukan kita bahwa di tengah keberagaman kehidupan berbangsa dan bernegara dengan satu semangat bahwa kita adalah satu.
Akhirnya dengan mengangkat spirit Sumpah Pemuda judul bukan sekedar dimaksudkan untuk menggugah kembali romantisme herois sejarah masa lalu. Tapi bagaimana momentum historis tersebut menjadi mata rantai warisan kebudayaan yang tetap hidup dan mengilhami spirit kebangsaan kita seirama dengan gerak dinamika perubahan dan perkembangan zaman.
Marilah dari sejarah kita belajar banyak hal dari masa lalu, termasuk sejarah perjuangan bangsa, maupun warisan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dari sejarah kita belajar dan bercermin untuk menemukan kembali jati diri kita sebagaimana yang dikumandangkan dalam spirit Sumpah Pemuda.
Alex Palit, citizen jurnalis komunitas "Ngopi Dulu Biar Tidak Salah Paham dan pendiri jaringan pewarta independen "Anti Hoax", penulis buku grup rock legendaris God Bless berjudul "God Bless and You: Rock Humanisme" (2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H