Mohon tunggu...
Petrus Septianus Sasi
Petrus Septianus Sasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa di Universitas Mercu Buana Nama : Petrus Septianus Sasi NIM : 41322010008 Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak , M. Si. Universitas Mercu Buana Meruya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi Indonesia

15 Desember 2023   15:27 Diperbarui: 15 Desember 2023   15:27 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama: Petrus Septianus Sasi

NIM: 41322010008

Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi & Etik UMB

Judul: Diskursus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

Kejahatan korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dalam rangka mendapatkan keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Bentuknya dapat beragam, mulai dari suap, nepotisme, hingga penggelapan dana publik. Ini adalah kejahatan yang umumnya dilakukan oleh individu di dalam pemerintahan atau sektor bisnis.

Korupsi di Indonesia tidak hanya menjadi masalah hukum, tetapi juga mengakar dalam budaya dan struktur sosial. Faktor-faktor historis, ekonomi, dan politik telah menciptakan lingkungan yang mendukung praktik korupsi. Sejarah pemerintahan otoriter, ketidaksetaraan ekonomi, dan sistem politik yang rentan terhadap praktik korupsi menjadi penyebab utama.

Edwin Hardin Sutherland adalah seorang sosiolog Amerika Serikat yang dikenal dengan teori asosiasi diferensialnya. Teori ini menyatakan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi sosial dan individu yang cenderung melakukan kejahatan adalah individu yang telah menerima lebih banyak pesan positif tentang kejahatan daripada pesan negatif. Edwin Sutherland lahir di Gibbon, Nebraska, pada tanggal 13 Agustus 1883. Ia berasal dari keluarga yang religius dan berpendidikan. Ayahnya, George Sutherland, adalah seorang akademisi yang menjabat sebagai kepala departemen sejarah di Ottawa College (Kansas).

Sutherland menempuh pendidikan tinggi di University of Chicago, di mana ia mempelajari sosiologi dan ilmu politik. Ia memperoleh gelar doktornya pada tahun 1913.

Setelah lulus dari University of Chicago, Sutherland mengajar di berbagai universitas, termasuk William Jewell College, University of Illinois, dan Indiana University. Ia menjabat sebagai profesor sosiologi di Indiana University dari tahun 1935 hingga kematiannya pada tahun 1950. Sutherland adalah salah satu kriminolog paling berpengaruh dalam sejarah. Ia telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang kejahatan dan perilaku kriminal.

Kontribusi Sutherland yang paling penting adalah teori asosiasi diferensialnya. Teori ini telah digunakan untuk menjelaskan berbagai bentuk kejahatan dan telah menjadi dasar bagi banyak penelitian dan kebijakan di bidang kriminalitas.
Teori asosiasi diferensial.

dokpri
dokpri

Teori asosiasi diferensial adalah teori yang menyatakan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi sosial. Individu yang cenderung melakukan kejahatan akan terpapar dengan norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku tersebut.

Teori ini dikemukakan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1939. Sutherland berpendapat bahwa perilaku kriminal tidak disebabkan oleh faktor-faktor biologis atau psikologis, melainkan oleh faktor-faktor sosial.

Menurut Sutherland, individu yang melakukan kejahatan telah mempelajari norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku tersebut. Norma-norma dan nilai-nilai tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti keluarga, teman, lingkungan kerja, dan media massa.

Sutherland berpendapat bahwa individu yang terpapar dengan norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku kriminal lebih cenderung untuk melakukan kejahatan. Hal ini dikarenakan individu tersebut akan lebih menganggap bahwa perilaku kriminal adalah hal yang wajar dan dibenarkan.

Sebaliknya, individu yang terpapar dengan norma-norma dan nilai-nilai yang menentang perilaku kriminal akan lebih cenderung untuk tidak melakukan kejahatan. Hal ini dikarenakan individu tersebut akan lebih menganggap bahwa perilaku kriminal adalah hal yang salah dan merugikan.

Sebagai contoh, seorang anak yang tumbuh di keluarga yang korup akan lebih cenderung untuk melakukan korupsi. Hal ini dikarenakan anak tersebut akan terpapar dengan norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku korupsi, seperti kepercayaan bahwa korupsi adalah hal yang wajar dan orang kaya berhak mendapatkan perlakuan khusus.

Sebaliknya, seorang anak yang tumbuh di keluarga yang jujur akan lebih cenderung untuk tidak melakukan korupsi. Hal ini dikarenakan anak tersebut akan terpapar dengan norma-norma dan nilai-nilai yang menentang perilaku korupsi, seperti kepercayaan bahwa korupsi adalah perbuatan dosa dan merugikan masyarakat.

Pembagian Norma-Norma dan Nilai-Nilai oleh Sutherland

Sutherland membagi norma-norma dan nilai-nilai tersebut menjadi dua kategori, yaitu:

  • Norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku kriminal, seperti:

    • Kepercayaan bahwa korupsi adalah hal yang wajar
    • Kepercayaan bahwa orang kaya berhak mendapatkan perlakuan khusus
    • Kepercayaan bahwa hukum dapat ditipu
  • Norma-norma dan nilai-nilai yang menentang perilaku kriminal, seperti:

    • Kepercayaan bahwa korupsi adalah perbuatan dosa
    • Kepercayaan bahwa korupsi adalah perbuatan yang merugikan masyarakat
    • Kepercayaan bahwa hukum harus ditegakkan

Sutherland berpendapat bahwa individu yang terpapar dengan norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku kriminal akan lebih cenderung untuk melakukan kejahatan. Sebaliknya, individu yang terpapar dengan norma-norma dan nilai-nilai yang menentang perilaku kriminal akan lebih cenderung untuk tidak melakukan kejahatan.

Teori asosiasi diferensial penting untuk dipahami agar kita dapat memahami fenomena kejahatan korupsi. Teori ini menjelaskan bahwa kejahatan korupsi tidak terjadi begitu saja, melainkan dipelajari melalui interaksi sosial.

Dengan memahami teori ini, kita dapat memahami faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya korupsi. Hal ini penting untuk dilakukan agar kita dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan korupsi.

Salah satu keterbatasan teori asosiasi diferensial adalah sulit untuk membuktikan secara empiris. Teori ini hanya menjelaskan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi sosial, tetapi tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana proses pembelajaran tersebut terjadi.

Keterbatasan lain dari teori asosiasi diferensial adalah sulit untuk memprediksi siapa yang akan melakukan kejahatan. Teori ini hanya menjelaskan bahwa individu yang cenderung melakukan kejahatan akan terpapar dengan norma dan nilai yang mendukung perilaku tersebut, tetapi tidak menjelaskan secara spesifik siapa individu tersebut.

Meskipun memiliki keterbatasan, teori asosiasi diferensial tetap merupakan teori yang penting untuk memahami fenomena korupsi. Teori ini dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang sifat korupsi dan dapat digunakan untuk mengembangkan strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi.

dokpri
dokpri

Faktor-faktor yang dapat menjelaskan mengapa norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku korupsi lebih dominan di Indonesia antara lain:

  • Kultur patrimonial, yaitu budaya yang menempatkan hubungan pribadi dan keluarga di atas kepentingan umum. Kultur patrimonial ini dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi demi kepentingan pribadi atau keluarga.
  • Sistem birokrasi yang korup, yaitu sistem birokrasi yang diwarnai oleh praktik-praktik korupsi. Sistem birokrasi yang korup dapat membuat individu lebih mudah untuk melakukan korupsi.
  • Kemiskinan dan ketimpangan sosial, yaitu kondisi yang dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi demi mendapatkan keuntungan ekonomi.

Kultur patrimonial

Kultur patrimonial adalah budaya yang menempatkan hubungan pribadi dan keluarga di atas kepentingan umum. Dalam budaya ini, individu lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau keluarga daripada kepentingan umum.

Kultur patrimonial dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi demi kepentingan pribadi atau keluarga. Misalnya, seorang pejabat pemerintah dapat menggunakan kekuasaannya untuk memberikan keuntungan kepada keluarganya atau orang-orang yang dekat dengannya.

Sistem birokrasi yang korup

Sistem birokrasi yang korup adalah sistem birokrasi yang diwarnai oleh praktik-praktik korupsi. Sistem birokrasi yang korup dapat membuat individu lebih mudah untuk melakukan korupsi.

Dalam sistem birokrasi yang korup, individu yang memiliki koneksi atau relasi dengan pejabat atau pegawai birokrasi akan lebih mudah untuk mendapatkan keuntungan dari sistem birokrasi. Hal ini dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi demi mendapatkan keuntungan tersebut.

Kemiskinan dan ketimpangan sosial

Kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah kondisi yang dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi demi mendapatkan keuntungan ekonomi.

Individu yang hidup dalam kemiskinan dan ketimpangan sosial akan lebih mudah untuk tergoda melakukan korupsi demi mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih baik. Misalnya, seorang pejabat pemerintah dapat menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan suap dari pengusaha demi mendapatkan keuntungan ekonomi.

Mengapa Kejahatan Korupsi Menjadi Fenomena di Indonesia?

Berdasarkan teori asosiasi diferensial, kejahatan korupsi dapat menjadi fenomena di suatu negara jika norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku tersebut lebih dominan daripada norma-norma dan nilai-nilai yang menentangnya.

Kejahatan korupsi telah menjadi isu yang mendalam di Indonesia, mencoreng moralitas dan merugikan perekonomian serta keadilan sosial. Edwin Sutherland, seorang sosiolog kriminal terkemuka, mengembangkan konsep "white-collar crime" yang mencakup tindakan ilegal oleh individu di dalam institusi. Artikel ini akan membahas apa yang dimaksud dengan kejahatan korupsi, mengapa fenomena ini begitu merajalela di Indonesia, dan bagaimana konsep Edwin Sutherland dapat membantu kita memahami dan mengatasi masalah ini.

Faktor-faktor di atas dapat menjelaskan mengapa norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku korupsi lebih dominan di Indonesia. Faktor-faktor ini dapat menjadi akar permasalahan korupsi di Indonesia. Untuk mencegah dan menanggulangi korupsi, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengubah norma-norma dan nilai-nilai tersebut.

Diskursus Sutherland dapat digunakan untuk mengembangkan strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Strategi tersebut dapat difokuskan pada tiga hal, yaitu:

  • Peningkatan nilai-nilai moral dan etika. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan, sosialisasi, dan penegakan hukum. Seperti pendidikan, Pendidikan merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai moral dan etika. Pendidikan tentang nilai-nilai moral dan etika dapat diberikan di sekolah, perguruan tinggi, dan masyarakat. Sosialisasi, Sosialisasi juga dapat digunakan untuk meningkatkan nilai-nilai moral dan etika. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media massa, kampanye sosial, dan kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan masyarakat. Juga Penegakan hukum. Penegakan hukum yang tegas juga dapat membantu meningkatkan nilai-nilai moral dan etika. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan hukuman bagi pelaku korupsi.
  • Peningkatan akuntabilitas. Hal ini dapat dilakukan melalui reformasi birokrasi, penguatan pengawasan, dan peningkatan transparansi. Reformasi birokrasi, Reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan memperbaiki struktur birokrasi, meningkatkan transparansi, dan meningkatkan pengawasan. Penguatan pengawasan. Pengawasan yang kuat dapat membantu memastikan bahwa individu-individu yang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi tidak melakukannya. Peningkatan transparansi. Transparansi dapat membantu mencegah korupsi dengan memberikan informasi kepada masyarakat tentang aktivitas-aktivitas pemerintah dan swasta.
  • Pembatasan kesempatan. Hal ini dapat dilakukan melalui reformasi sistem, penguatan pengawasan, dan peningkatan hukuman. Reformasi sistem, Reformasi sistem dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem yang rentan terhadap korupsi, seperti sistem pengadaan barang dan jasa, sistem perizinan, dan sistem keuangan. Penguatan pengawasan, Pengawasan yang kuat dapat membantu memastikan bahwa individu-individu yang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi tidak melakukannya. Peningkatan hukuman, Hukuman yang tegas dapat membantu mencegah korupsi dengan memberikan efek jera bagi pelaku.

Upaya-upaya untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan korupsi dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu upaya preventif dan upaya represif.

Upaya preventif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi. Upaya ini bertujuan untuk mengubah norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung perilaku korupsi menjadi norma-norma dan nilai-nilai yang menentang perilaku tersebut.

Berikut adalah beberapa upaya preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan korupsi:

  • Membangun budaya antikorupsi, yaitu budaya yang menempatkan kejujuran dan integritas sebagai nilai-nilai yang utama. Budaya antikorupsi dapat dibangun melalui berbagai kegiatan, seperti pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi.
  • Memperkuat sistem birokrasi, yaitu dengan meningkatkan profesionalisme dan transparansi birokrasi. Sistem birokrasi yang profesional dan transparan akan membuat lebih sulit bagi individu untuk melakukan korupsi.
  • Mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial, yaitu dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan dan ketimpangan sosial dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi demi mendapatkan keuntungan ekonomi.

Upaya represif adalah upaya yang dilakukan untuk menindak pelaku korupsi. Upaya ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku korupsi dan mencegah terjadinya korupsi di masa depan.

Berikut adalah beberapa upaya represif yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan korupsi:

  • Memperkuat penegakan hukum, yaitu dengan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum yang kompeten dan profesional akan lebih mampu untuk menindak pelaku korupsi secara efektif.
  • Meningkatkan efektivitas pengawasan, yaitu dengan memperkuat pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan yang efektif akan dapat mencegah terjadinya korupsi.
  • Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemberantasan korupsi, yaitu dengan meningkatkan dukungan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Dukungan masyarakat yang kuat akan dapat memberikan tekanan kepada pelaku korupsi untuk tidak melakukan korupsi.

Upaya-upaya preventif dan represif perlu dilakukan secara simultan dan berkesinambungan untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan korupsi secara efektif.

dokpri
dokpri

Konsep Edwin Sutherland tentang kejahatan "white-collar" membawa pemahaman yang mendalam tentang karakteristik dan akar penyebab korupsi.

Memahami Sifat Kejahatan "White-Collar".

Memahami sifat kejahatan "White-Collar" merupakan hal mendasar untuk memahami seluk-beluk jenis aktivitas kriminal ini. Diciptakan oleh sosiolog Edwin Sutherland pada akhir tahun 1930-an, istilah "White-Collar crime" menunjukkan pelanggaran tanpa kekerasan dan bermotif keuangan yang biasanya dilakukan oleh individu yang memiliki posisi kepercayaan dan otoritas dalam bisnis, lembaga pemerintah, atau organisasi lainnya. Untuk memahami sifat kejahatan kerah putih, kita harus mengeksplorasi karakteristik, motivasi, dan dampak yang lebih luas yang ditimbulkannya terhadap individu dan masyarakat.

1. Karakteristik "White-Collar crime":

"White-Collar crime" dibedakan dari sifatnya yang tanpa kekerasan dan sering kali ditandai dengan penipuan, penyembunyian, dan penyalahgunaan kepercayaan. Tidak seperti kejahatan jalanan seperti perampokan atau penyerangan, kejahatan kerah putih biasanya canggih, melibatkan transaksi keuangan yang kompleks. Penipuan, penggelapan, perdagangan orang dalam, dan kejahatan bermotif keuangan lainnya adalah contoh yang umum terjadi.

2. Motivasi di Balik White-Collar crime:

Keuntungan finansial adalah motivasi utama di balik White-Collar crime. Pelaku, yang sering kali merupakan profesional atau individu yang memiliki posisi otoritas, mengeksploitasi akses mereka terhadap sumber daya dan informasi untuk memperkaya diri sendiri. Namun, motivasi dapat melampaui faktor moneter dan mungkin termasuk keinginan untuk status, kekuasaan, atau pemeliharaan gaya hidup tertentu.

3. Dampak terhadap Individu dan Masyarakat:

White-Collar crime memiliki konsekuensi di luar kerugian moneter. Korban dapat mengalami tekanan emosional, kerusakan reputasi, dan, dalam kasus yang parah, menghadapi kebangkrutan atau pengangguran. Selain itu, kejahatan ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap institusi, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan skandal perusahaan atau korupsi publik. Dampak sosial ini menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah komprehensif untuk mencegah, mendeteksi, dan menuntut White-Collar crime.

4. Kompleksitas dan Tantangan Deteksi:

Mendeteksi dan menuntut White-Collar crime menimbulkan tantangan yang signifikan karena kompleksitasnya. Pelanggaran ini sering kali melibatkan transaksi keuangan yang rumit, nuansa hukum, dan struktur perusahaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dalam forensik keuangan. Upaya kolaboratif antara penegak hukum, badan pengawas, dan lembaga keuangan sangat penting untuk menyelidiki dan menangani kejahatan kerah putih secara efektif.

5. Kerangka Peraturan dan Hukum:

Lingkungan peraturan dan hukum secara signifikan mempengaruhi kejahatan kerah putih. Pengawasan peraturan yang lemah dan penegakan hukum yang lemah dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pelanggaran tersebut. Memperkuat kerangka kerja peraturan, meningkatkan transparansi, dan memastikan akuntabilitas merupakan langkah penting dalam mencegah dan memerangi White-Collar crime.

6. Budaya Perusahaan dan Standar Etika:

Budaya organisasi memainkan peran penting dalam membentuk perilaku. Membangun budaya perilaku etis, transparansi, dan akuntabilitas dalam bisnis dan institusi sangat penting untuk mencegah kejahatan kerah putih. Perusahaan dapat menerapkan program pelatihan etika, membuat mekanisme pelaporan pelanggaran, dan meningkatkan kontrol internal untuk mencegah kegiatan terlarang.

Sebagai kesimpulan, memahami sifat White-Collar crime melibatkan pengenalan karakteristik, motivasi, dan dampak yang lebih luas yang ditimbulkannya terhadap individu dan masyarakat. Dengan memperhatikan elemen-elemen ini, para pembuat kebijakan, lembaga penegak hukum, dan organisasi dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mencegah, mendeteksi, dan menuntut kejahatan White collar, yang berkontribusi pada lanskap bisnis dan kelembagaan yang lebih transparan dan beretika.

Menganalisis Faktor Budaya

Dalam perspektif Edwin Sutherland, budaya organisasi dan budaya politik memiliki peran penting dalam memahami terjadinya korupsi. Konsep "white-collar crime" yang dikembangkan oleh Sutherland menekankan bahwa pelaku kejahatan korupsi seringkali berasal dari kalangan profesional dan elit dalam organisasi atau struktur politik. Berikut adalah bagaimana budaya organisasi dan budaya politik berkontribusi pada terjadinya korupsi, dilihat dari perspektif Sutherland:

1. Budaya Organisasi:

a. Toleransi Terhadap Praktik Koruptif: Budaya organisasi yang toleran terhadap praktik koruptif dapat menciptakan lingkungan di mana pelaku merasa bahwa tindakan korupsi dapat diterima atau bahkan dianggap sebagai norma. Jika atasan atau rekan sekerja tidak menghukum atau menentang praktik koruptif, individu mungkin merasa lebih leluasa untuk melibatkan diri dalam tindakan serupa.

b. Ketidaksetaraan dalam Akses dan Kesempatan: Jika ada ketidaksetaraan dalam akses dan kesempatan di dalam organisasi, hal ini dapat menciptakan dorongan bagi individu untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara yang tidak etis. Budaya yang memperbolehkan pembagian sumber daya dan peluang secara tidak adil dapat memicu perilaku koruptif.

c. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Budaya organisasi yang kurang transparan dan tidak mengedepankan akuntabilitas memberikan ruang bagi praktik korupsi untuk berkembang. Ketika keputusan dan tindakan tidak dapat diperiksa secara terbuka, individu dapat dengan mudah terlibat dalam kegiatan yang merugikan tanpa takut terhadap konsekuensi.

2. Budaya Politik:

a. Patronase dan Nepotisme: Dalam budaya politik yang dipenuhi oleh praktik patronase dan nepotisme, individu mungkin mendapati bahwa cara tercepat untuk meraih keberhasilan politik adalah melalui jaringan hubungan pribadi dan pemberian keuntungan kepada orang-orang terdekat. Hal ini dapat menciptakan sistem yang memungkinkan terjadinya korupsi.

b. Praktik Suap dan Klientelisme: Dalam budaya politik di mana praktik suap dan klientelisme dianggap sebagai strategi yang sah untuk memenangkan dukungan atau mempertahankan kekuasaan, korupsi dapat berkembang secara sistematis. Individu yang terlibat dalam politik mungkin merasa bahwa memberikan atau menerima suap adalah bagian dari permainan politik yang lazim.

c. Ketidakstabilan Politik: Budaya politik yang ditandai oleh ketidakstabilan politik dapat menciptakan peluang bagi praktik korupsi. Pergantian pemerintahan yang sering atau ketidakpastian politik dapat memunculkan situasi di mana individu memanfaatkan kekosongan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.

Dari perspektif Sutherland, budaya organisasi dan budaya politik yang mendukung atau membiarkan terjadinya korupsi dapat membentuk landasan bagi praktik-praktik ilegal ini. Melalui pemahaman mendalam tentang faktor-faktor budaya ini, langkah-langkah pencegahan dan perbaikan dapat diambil untuk mengubah norma-norma yang mendukung korupsi dan membangun lingkungan yang lebih transparan dan etis.

Menelaah Aspek Ekonomi

Sutherland menekankan bahwa faktor ekonomi, seperti ketidaksetaraan kekayaan, dapat memicu kejahatan ekonomi. Di Indonesia, kesenjangan ekonomi yang besar dan kurangnya akses kesempatan ekonomi dapat menjadi pemicu korupsi. Reformasi ekonomi dan distribusi yang lebih adil perlu diimplementasikan.

Menerapkan Reformasi Hukum dan Kelembagaan

Perspektif Edwin Sutherland yang menekankan perlunya reformasi hukum dan kelembagaan untuk mengatasi kejahatan korupsi memiliki relevansi yang besar, terutama dalam konteks Indonesia. Berikut adalah beberapa poin yang menjelaskan urgensi reformasi tersebut:

1. Penegakan Hukum yang Tegas:

  • Perlunya penegakan hukum yang tegas adalah kunci dalam memberantas praktik korupsi. Hukuman yang efektif dapat memberikan sinyal bahwa pelanggaran hukum korupsi tidak akan ditoleransi dan dapat mempengaruhi perilaku pelaku korupsi potensial.

2. Independensi Lembaga Anti-Korupsi:

  • Keberhasilan lembaga anti-korupsi bergantung pada independensinya dari tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu. Dengan memastikan lembaga anti-korupsi bekerja secara bebas dan transparan, peluang bagi intervensi politik yang merugikan dapat diminimalkan.

3. Sistem Peradilan yang Efektif:

  • Sistem peradilan yang efektif adalah kunci dalam menjamin bahwa kasus-kasus korupsi ditangani secara adil dan cepat. Proses peradilan yang lambat dan rentan terhadap manipulasi dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

4. Keterlibatan Masyarakat Sipil:

  • Partisipasi aktif masyarakat sipil adalah elemen penting dalam proses reformasi. Masyarakat sipil dapat berperan sebagai pengawas, penggerak opini publik, dan penyedia informasi yang berharga. Keterlibatan mereka dapat mendorong akuntabilitas dan membantu memerangi korupsi.

5. Pendidikan Hukum dan Kesadaran Masyarakat:

  • Reformasi juga harus mencakup upaya peningkatan pendidikan hukum di masyarakat. Kesadaran hukum yang tinggi dapat membuat masyarakat lebih kritis terhadap perilaku koruptif dan lebih proaktif dalam melaporkan kasus-kasus yang mencurigakan.

6. Penguatan Kerjasama Internasional:

  • Sutherland juga menekankan pentingnya kerjasama internasional dalam menanggulangi kejahatan korupsi. Reformasi harus mencakup upaya untuk meningkatkan kolaborasi dengan lembaga-lembaga internasional dan negara-negara lain guna mengatasi korupsi yang melibatkan unsur lintas batas.

7. Pembentukan Kultur Pencegahan Korupsi:

  • Reformasi juga harus menciptakan budaya pencegahan korupsi. Ini melibatkan pembentukan nilai-nilai integritas, transparansi, dan akuntabilitas di seluruh sektor masyarakat, baik di tingkat individu, organisasi, maupun pemerintah.

8. Peningkatan Teknologi dan Inovasi:

  • Pemanfaatan teknologi dan inovasi dalam sistem hukum dan penegakan hukum dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam mendeteksi dan menanggulangi korupsi. Ini termasuk penerapan teknologi untuk memantau transaksi keuangan, whistleblowing online, dan audit digital.

Melalui langkah-langkah reformasi ini, diharapkan Indonesia dapat memperkuat sistem hukum dan kelembagaan dalam upaya pencegahan dan penanganan korupsi. Dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk masyarakat sipil, dapat diciptakan fondasi yang lebih kokoh untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan bebas dari korupsi.

Mempromosikan Pendidikan dan Kesadaran

Pentingnya pendidikan dan kesadaran dalam mencegah kejahatan, khususnya korupsi, merupakan konsep yang diakui dan ditekankan oleh Edwin Sutherland. Dalam konteks Indonesia, memperkuat pendidikan anti-korupsi dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konsekuensi korupsi adalah langkah strategis untuk membentuk masyarakat yang lebih etis dan pencegah kejahatan. Berikut adalah beberapa poin yang dapat diakui berdasarkan perspektif Sutherland:

1. Pengetahuan tentang Konsekuensi Korupsi:

  • Pendidikan anti-korupsi harus mencakup pemahaman mendalam tentang konsekuensi korupsi bagi individu, organisasi, dan masyarakat secara keseluruhan. Menyadarkan masyarakat akan dampak negatif korupsi dapat membantu membentuk penilaian moral dan etika yang kuat.

2. Mekanisme Pelaporan yang Mudah Diakses:

  • Masyarakat perlu diberdayakan dengan pengetahuan tentang cara melaporkan tindakan korupsi secara aman dan tanpa takut represalias. Mekanisme pelaporan yang mudah diakses, transparan, dan dapat diandalkan perlu dipromosikan untuk mendorong partisipasi aktif dalam memberantas korupsi.

3. Inklusi Pendidikan Anti-Korupsi dalam Kurikulum Sekolah:

  • Menyelipkan materi pendidikan anti-korupsi dalam kurikulum sekolah merupakan langkah yang esensial. Dengan cara ini, nilai-nilai integritas, transparansi, dan akuntabilitas dapat ditanamkan sejak dini, membentuk sikap yang menolak korupsi di kalangan generasi muda.

4. Peran Pendidik sebagai Pembimbing Moral:

  • Pendidik memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral siswa. Pelatihan bagi guru dan staf sekolah mengenai pendidikan anti-korupsi dapat membantu mereka memfasilitasi diskusi dan aktivitas yang membangun kesadaran terhadap bahaya korupsi.

5. Kampanye Publik dan Sosialisasi:

  • Kampanye publik dan sosialisasi secara luas perlu dijalankan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi. Media massa, platform online, dan kegiatan sosial dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menggugah rasa tanggung jawab kolektif dalam memberantas korupsi.

6. Penguatan Peran Lembaga Pendidikan:

  • Lembaga-lembaga pendidikan, termasuk universitas dan sekolah menengah, dapat berperan sebagai pusat pembelajaran anti-korupsi. Kerja sama dengan lembaga pemerintah, LSM, dan sektor swasta dapat meningkatkan dampak program-program anti-korupsi.

7. Pengembangan Materi Pendidikan yang Relevan:

  • Materi pendidikan anti-korupsi harus disusun dengan konteks lokal dan relevan dengan situasi di Indonesia. Hal ini dapat melibatkan studi kasus korupsi yang nyata, diskusi etika, dan simulasi peran untuk membangun pemahaman yang mendalam.

Dengan memasukkan pendidikan anti-korupsi dalam kurikulum sekolah dan meningkatkan kesadaran masyarakat, Indonesia dapat membentuk generasi yang lebih kritis, etis, dan berkomitmen untuk memerangi korupsi. Pendidikan bukan hanya tentang peningkatan pengetahuan tetapi juga pembentukan karakter yang kuat untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya mengetahui, tetapi juga bertindak melawan kejahatan korupsi.

Melalui pendekatan Edwin Sutherland terhadap white-collar crime, kita dapat memahami dan mengatasi fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang sifat, penyebab, dan solusi untuk korupsi, kita dapat bersama-sama membangun masyarakat yang lebih adil, transparan, dan bersih dari praktik-praktik koruptif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun