Mohon tunggu...
Petrus Punusingon
Petrus Punusingon Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Trainner

Trainner - Teacher - Influencer - Public Speaker - Marketer - Designer - Photographer - IT Consultan - Early Education Certified Trainner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Anak Menjadi Pemimpin Bijaksana: Tanamkan Adab, Bukan Amarah

5 Oktober 2024   09:34 Diperbarui: 5 Oktober 2024   09:39 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Koleksi Sevenbafs School

Selama lebih dari satu dekade, saya telah terlibat dalam dunia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), menyaksikan berbagai pola dan gaya didikan orang tua terhadap anak-anak mereka. Setiap keluarga memiliki pendekatan yang berbeda dalam membesarkan buah hati, namun satu hal yang selalu muncul adalah kebingungan para orang tua dalam menentukan cara mendidik yang tepat. 

Melalui berbagai kegiatan parenting yang saya selenggarakan di Sekolah, saya sering kali mendengar pertanyaan serupa: bagaimana sebaiknya mendidik anak? Kebingungan ini menjadi pintu masuk untuk mengeksplorasi strategi pendidikan anak yang tidak hanya efektif, tetapi juga sejalan dengan perkembangan emosi, kognitif, dan sosial mereka.

Pertanyaan-pertanyaan ini menggarisbawahi bahwa mendidik anak bukanlah tugas yang sederhana, dan tidak ada satu metode yang cocok untuk semua. Tantangan ini menuntut pendekatan yang lebih mendalam, baik bagi orang tua maupun pendidik, agar mereka dapat membentuk lingkungan yang mendukung pertumbuhan anak secara holistik.

Banyak orang tua kadang merasa jengkel ketika anak-anak mereka yang masih kecil sering meminta ini-itu dengan nada memerintah di tengah kesibukan atau dalam kondisi yang tidak tepat. Namun perlu di pahami bahwa Anak usia 1-7 tahun seringkali bertindak seolah-olah mereka adalah "raja kecil" di rumah, memerintah tanpa henti. Namun, sebelum kita merasa kesal atau bahkan marah, penting bagi kitasebagai orang tua  untuk memahami bahwa di balik perilaku ini, ada potensi besar yang sedang tumbuh---potensi untuk menjadi pemimpin. Para ahli perkembangan anak mendukung pandangan ini, dengan menekankan pentingnya membimbing anak secara positif tanpa memadamkan naluri alami mereka. 

Naluri Memimpin Sejak Usia Dini

Anak usia 1-7 tahun terlihat seperti raja kecil yang memerintah di rumah. Namun, perlu dipahami bahwa perilaku ini adalah refleksi dari naluri memimpin yang muncul sejak usia dini. Jean Piaget, seorang ahli psikologi perkembangan, menekankan bahwa anak pada usia ini berada dalam tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap praoperasional, di mana mereka mulai memahami konsep peran, perintah, dan kepemimpinan dalam cara yang sederhana. Menurut Piaget, anak-anak sedang belajar berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka dan mencoba "menguasai" lingkungannya. Ini adalah fase alami di mana mereka sering kali belum mengembangkan pemahaman penuh tentang sopan santun atau cara berbicara dengan lebih halus.

Amsal 22:6 mengajarkan, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu." Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya memberikan pendidikan dan arahan yang benar kepada anak-anak, termasuk dalam hal kepemimpinan. Setiap anak memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin di masa depan, dan tugas kita sebagai orang tua adalah membimbing mereka dengan kasih sayang dan kesabaran.

Tugas kita sebagai orang tua dan pendidik adalah mengarahkan naluri memimpin ini dengan cara yang tepat. Setiap anak memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin di masa depan, baik dalam keluarga, organisasi, maupun di masyarakat. Menurut Dr. Laura Markham, seorang psikolog klinis dan penulis buku Peaceful Parent, Happy Kids, anak-anak yang cenderung memerintah sebenarnya sedang mencari kendali atas situasi mereka. Respons kita, katanya, seharusnya bukan dengan kemarahan tetapi dengan empati dan batasan yang lembut, yang membantu mereka mengembangkan keterampilan kepemimpinan yang sehat.

Dampak Negatif dari Bentakan dan Hukuman

Ketika kita merespons perilaku anak dengan kemarahan, bentakan, atau hukuman, kita berisiko mematikan naluri memimpin yang alami dalam diri mereka. Alfie Kohn, seorang penulis dan pakar pendidikan, dalam bukunya Unconditional Parenting menekankan bahwa menghukum anak hanya akan membuat mereka takut dan patuh secara sementara, tetapi tidak mengajarkan mereka untuk memimpin dengan bijak atau memahami tindakan mereka. Kohn menyarankan bahwa membentak anak akan menciptakan rasa ketakutan dan menghambat pengembangan kepercayaan diri, sehingga anak tidak belajar bagaimana memimpin dengan cara yang sehat.

Sebaliknya, jika kita merespons dengan kesabaran dan memberikan arahan yang positif, kita akan membantu anak mengasah naluri kepemimpinannya. Efesus 6:4 juga mengingatkan kita sebagai orang tua untuk mendidik dengan kasih, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Firman ini menegaskan pentingnya memberikan arahan yang lembut dan bijaksana dalam mendidik anak, tanpa menggunakan kekerasan atau kemarahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun