Di gereja-gereja, kita mendengar pengumuman Gembala terkait pengumpulan dana untuk pembangunan gedung gereja, aula dan rumah pastoran. Umat OAP yang sudah hidup miskin dipaksa atas nama Tuhan Allah untuk mengumpulkan uang demi pembangunan gedung fisik.
Di sisi lain, jemaat OAP yang hidup miskin dan melarat, baik di kota-kota maupun di kampung pelosok tidak mendapatkan perhatian serius dari para gembala. Kita jarang mendengar pengumuman penggalangan dana solidaritas untuk kawanan domba di kampung terpencil.Â
Orang-orang miskin tidak mendapatkan tempat di hati para Gembala di tanah Papua. Gembala dan kawanan domba sedang terpisah jauh. Keduanya, hanya sekedar berada di dalam gedung gereja pada perayaan hari Minggu, atau kebaktian lainnya. Selebihnya, masing-masing berjalan sendiri.
Masa Adven tahun 2022 ini, semestinya menggerakkan para Gembala untuk lebih peduli pada jemaat yang miskin dan menderita di kota-kota dan kampung-kampung terpencil. Karya sosial dan pelayanan kepada orang miskin harus mendapatkan tempat di hati para Gembala. Tanpa kehadiran dan karya nyata di tengah kehidupan orang miskin, maka Gereja Papua tidak akan berakar kuat dan berbuah sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus.
Mengarahkan Hati ke Kampung Pelosok di Tanah Papua
Kita menyaksikan dan mengalami bahwa saat ini OAP tidak mengalami perkembangan signifikan. Berapa penduduk OAP di tanah Papua, yang saat ini telah menjadi enam provinsi: Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat dan Papua Barat Daya? OAP tinggal di mana?
Kampung adalah tempat hidup dan berpijak jemaat OAP. Semestinya, ke sanalah para Gembala mengarahkan hatinya, tetapi kenyataan memperlihatkan pelayanan lebih fokus di kota-kota. Kita melihat para Gembala telah terkontaminasi dengan cara kerja dunia ini: fasilitas harus lengkap, ada mobil, motor, listrik, jaringan internet dan lain-lain. Kalau tidak ada fasilitas-fasilitas tersebut, para Gembala tidak betah tinggal di kampung-kampung untuk melayani jemaat.
Di kampung-kampung, ada pelayanan tetapi tidak maksimal. Pastor dan Pendeta hanya datang memimpin ibadah pada hari Minggu atau hari lain yang ditentukan dan pulang ke pastoran, yang biasa terletak di ibu kota kecamatan. Selebihnya jemaat di kampung-kampung mengurus hidupnya sendiri.
Di kampung-kampung, kita melihat sekolah-sekolah dasar tutup. Bahkan ada sekolah yang dikelola oleh Gereja, seperti Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolah Katolik (YPPK), Yayasan Pendidikan Gereja-Gereja Injili (YPPGI) terbengkalai. Pada situasi seperti itu, kita juga melihat berapa Pastor dan Pendeta yang mau peduli? Malah ada Pastor dan Pendeta yang bilang, "sekolah tutup bukan urusan kami, karena kami jaga umat, bukan urus sekolah!"
Demikian halnya, pelayanan kesehatan di Puskesmas Pembantu (Pustu) di kampung tidak berjalan. Jemaat tidak bisa akses layanan kesehatan, tetapi berapa orang Pastor atau Pendeta yang mau peduli? Pastor dan Pendeta sibuk memimpin ibadah pada hari Minggu dengan khotbah yang bagus sekali tentang Tuhan Allah, tetapi jemaat menderita, tidak bisa sekolah dan tidak bisa berobat, tidak mendapatkan perhatian apa pun.
Saat ini, jemaat OAP tidak mendapatkan tempat terbaik di hati para Gembala di tanah Papua. Pastor dan Pendeta punya hati tidak terbuka dan peka pada penderitaan jemaat OAP di kampung terpencil. Situasi semacam ini membuat jemaat tidak merasakan dan mengalami belas kasih Allah. Pewartaan di mimbar itu tidak berdampak pada hidup OAP karena hanya sekedar kata di mulut, tak sampai menyentuh sukma dan tidak tidak menjadi nyata dalam tindakan.