Pekik penolakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB), khususnya tiga provinsi di tanah Papua: Papua Selatan, Papua Tengah dan Pegunungan Tengah bergema keras di kalangan masyarakat "akar rumput," di wilayah adat Meepago, Lapago dan hampir di seluruh tanah Papua, kecuali Papua Selatan, yang sejak 12 Februari 2002, 20 tahun silam, elit politiknya mendeklarasikan pembentukan provinsi Papua Selatan. Gema penolakan orang asli Papua (OAP) terhadap pembentukan DOB di Papua itu tidak dihiraukan oleh pemerintah NKRI di Jakarta. Hal ini terjadi lantaran, sejumlah elit OAP, baik yang saat ini masih berkuasa di pemerintahan, DPR Papua dan DPR-RI maupun yang sudah tidak berkuasa lagi mendukung pemekaran provinsi di Papua.
Kita melihat bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) tetap membahas dan menetapkan tiga provinsi baru di tanah Papua.Â
Pada 27 Juni 2022, Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) DOB di tanah Papua telah menetapkan provinsi Papua Selatan yang terdiri atas kabupaten Merauke, Asmat, Boven Digoel dan Mappi, dengan kota Merauke sebagai ibu kota provinsi Papua Selatan.Â
Provinsi Papua Tengah terdiri atas kabupaten Nabire, Mimika, Paniai, Dogiyai, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak dan Deiyai dengan Nabire sebagai ibu kota provinsi Papua Tengah. Provinsi Pegunungan Tengah terdiri atas, kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Tolikara, Yahukimo, Yalimo, Nduga, Mamberamo Tengah dan Pegunungan Bintang beribu kota di Wamena, Jayawijaya.
Kita bertanya, "siapa punya kepentingan dengan pemekaran provinsi di tanah Papua? Orang Asli Papua (OAP) dapat apa dari pemekaran provinsi di Papua?"
Kita harus mengakui dengan jujur bahwa pemekaran tiga provinsi di tanah Papua merupakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) demi mempertahankan Papua tetap berada di dalam rumah NKRI. Kita menyimak pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang mengatakan bahwa pemekaran provinsi di Papua berdasarkan analisis data intelejen dan kepentingan nasional. "Kita kan dasarnya data intelejen. Kemudian, data-data lapangan kita ada. Situasi nasional," tutur Tito Karnavian sebagaimana dimuat dalam media Kompas online, 30 Oktober 2019.
Elit politik Papua menyambut keinginan penguasa NKRI untuk memekarkan provinsi di tanah Papua dengan sukacita. Kita melihat para elit Papua, menggandeng tokoh adat, paguyuban Nusantara dan pemimpin agama, terutama pimpinan Gereja untuk mendukung pemekaran provinsi di tanah Papua.
Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC secara terang-benderang mendukung pembentukan provinsi Papua Selatan. "Kita belajar dari provinsi Papua Barat. Setelah pemekaran, mereka maju," tuturnya pada 21 Mei 2022. Ia menambahkan bahwa pemekaran provinsi Papua Selatan demi kemanusiaan. Karena itu, dirinya selaku Uskup Agung Merauke dan juga Uskup Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM mendukungnya.
Penguasa NKRI dan elit Papua berasumsi bahwa pemekaran provinsi di Papua merupakan langkah tepat untuk menjangkau dan melayani masyarakat. Imajinasi hidup sejahtera menjadi landasan membangun Papua.Â
Data-data penelitian tentang Papua tidak pernah digunakan dalam perencanaan pembangunan dan penyelesaian permasalahan Papua. Bahkan pemekaran provinsi di Papua tidak mengedepankan data-data kajian ilmiah, melainkan analisis data intelejen, seperti yang diutarakan oleh Tito Karnavian.
Kita bertanya, "kalau elit politik bilang pemekaran provinsi di Papua merupakan langkah yang tepat untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, maka bagaimana dengan pemekaran kabupaten dua puluh tahun silam? Bukankah kabupaten yang dimekarkan itu tidak mengalami kemajuan, termasuk dalam mengurus rumah tangganya sendiri?" Kita melihat kabupaten-kabupaten di Papua yang dimekarkan itu tidak menjadi lebih baik. Pelayanan pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat kampung tidak menjadi lebih baik!
Pemekaran provinsi di tanah Papua akan berdampak buruk bagi OAP! Kita harus mengakui bahwa selama 20 tahun otonomi khusus (Otsus) Papua, 2001-2022, penguasa Jakarta dan elit lokal Papua, Gubernur dan Bupati/Walikota, tidak menyiapkan sumber daya manusia (SDM) OAP! Selama 20 tahun Otsus, berapa anak asli Papua menjadi dokter, dokter spesialis, dokter gigi, mantri, bidan, guru, ahli pertanian, ahli peternakan, ahli perkebunan, dll?
Kita dapat melihat di kabupaten-kabupaten pemekaran, ada berapa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), Puskesmas, Pustu terbaik, yang menerapkan manajemen pengelolaan terbuka dan jujur? Ada berapa distrik (kecamatan), yang benar-benar menerapkan fungsi bimbingan dan pengawasan terhadap unit layanan di distrik?Â
Kita juga melihat di kampung-kampung, ada berapa kampung yang menerapkan tata kelola pemerintahan kampung secara terbuka dan jujur? Ada berapa Bupati, yang mau melaksanakan perintah Undang-Undang Desa untuk melaksanakan pemilihan kepala kampung secara langsung?
Kita menyimak, selama Otsus, 2001 sampai saat ini, OAP tidak menjadi lebih baik. Pemekaran kabupaten, distrik dan kampung tidak berdampak pada perbaikan kualitas hidup OAP. Kekinian, pemekaran tiga provinsi di tanah Papua akan semakin menambah beban penderitaan OAP. Sebab, suka atau tidak suka, OAP dipaksa melepaskan tanah ulayat dan hutan alam untuk pembangunan perkantoran dan perumahan.Â
Selain itu, OAP juga harus melepaskan/menjual tanahnya, demi menampung kaum imigran yang datang ke provinsi baru itu. OAP memikul semua penderitaan ini atas nama NKRI, sebuah Negara imajinasi, yang memaksakan kehendaknya dengan cara-cara kekerasan dan militeristik demi mencapai tujuan penguasaannya atas Papua.
Penguasa NKRI dan elit lokal Papua memaksakan pemekaran tiga provinsi di tanah Papua, siapa akan menjadi pejabat dan penguasa di ketiga provinsi tersebut? Orang asli Papua pasti menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Sekda, Kepala Dinas/Badan, tetapi akan selalu dipengaruhi oleh para 'pembisik' yang memiliki kapasitas dan modal.Â
Selain itu, para pejabat tersebut juga tunduk pada segala macam bentuk peraturan di NKRI yang tidak memberikan perlindungan pada manusia dan alam Papua. Pada titik ini, kepentingan masyarakat OAP 'akar rumput' akan terabaikan.
Pemekaran provinsi di Papua demi mewujudkan cita-cita kesejahteraan rakyat, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemanusiaan OAP hanya akan tinggal dalam imajinasi belaka! Sebab, OAP tetap terkapar di dalam ketakberdayaannya selama tinggal di dalam rumah NKRI yang tak pernah mencintainya dengan hati, tetapi sekedar 'membius' segelintir OAP dengan uang, jabatan dan kekuasaan demi penguasaan sumber daya alam Papua. Akibatnya, tatkala 'bius' menguap, maka pekik Merdeka akan berkumandang kembali! Kita perlu ingat bahwa pemekaran provinsi di tanah Papua, tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan Papua dan Indonesia.
Kita menyadari, meskipun mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat di tanah Papua, pemekaran tiga provinsi di tanah Papua tetap dipaksakan pemerintah NKRI.Â
OAP akan mengalami dampaknya! Pasti ada dampak baik (positif), misalnya lahirnya pusat pertumbuhan ekonomi baru, perhatian terhadap dunia pendidikan, kesehatan dan ekonomi OAP (mungkin) lebih baik sedikit dari sekarang!Â
Tetapi, sudah pasti dampak negatif mendominasi seperti membanjirnya kaum imigran, ruang gerak OAP semakin terbatas, OAP semakin terpinggirkan, depopulasi OAP akan terjadi secara sistemik. Apabila tidak ada perlindungan khusus, kita dapat memastikan bahwa pemekaran provinsi ini, akan berdampak sangat buruk yaitu  OAP beserta dengan adat-istiadatnya punah lantaran didominasi oleh kaum imigran!
Hari ini, 30 Juni 2022 pemerintah NKRI mengumumkan Undang-Undang pembentukan tiga DOB di tanah Papua, provinsi Papua Selatan, provinsi Papua Tengah dan provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Di Merauke, kemarin, 29 Juni 2022, Sekretaris Daerah (Sekda) kabupaten Merauke, Ruslan Ramli mengeluarkan imbauan agar masyarakat Merauke mengikuti pawai menyambut hadirnya provinsi Papua Selatan. Tetapi, pagi hari ini, 30 Juni 2022, Sekda, Ramli mengeluarkan surat pembatalan pawai tersebut.
Apa pun alasan di balik pemekaran provinsi di Papua, kita akan selalu bertanya, "apakah pemekaran provinsi ini akan menjadi berkat bagi OAP: bertumbuh, bertambah banyak memenuhi muka bumi Papua, hidup sehat, mengenyam pendidikan berkualitas, memiliki ekonomi yang mapan, ataukah pemekaran provinsi ini akan menjadi kutuk yang melenyapkan generasi OAP beserta dengan adat-istiadat, budaya dan alamnya saat ini dan di masa depan?" Hanya waktu yang akan menjawabnya!
Â
[Sentani, 30 Juni 2022; 12:30 WIT].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H