Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ke Mana Arah Gereja Papua?

5 Februari 2022   18:35 Diperbarui: 5 Februari 2022   18:39 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Injil Masuk di Moor. Dokpri.

Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan," (Yohanes 10:10)

Hari ini, 5 Februari 2022, kita merayakan Hari Pekabaran Injil (HPI) ke-167 tahun. Dari literatur sejarah Gereja Papua, kita mengenal dua sosok Ottow dan Geissler, yang pada 5 Februari 1855 menginjakkan kaki di pulau Mansinam, Manokwari. Keduanya, datang dari Eropa membawa Yesus dan Injil bagi orang Papua. Kehadiran keduanya, sekaligus menandai lahirnya Gereja Papua.

Orang Papua dibaptis, "Dalam Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus," oleh Ottow dan Geissler serta para misionaris yang datang kemudian. Orang Papua menjadi anak-anak Allah dan masuk dalam persekutuan warga Gereja. Yesus dan Injil menjadi "cahaya baru" yang menuntun perziarahan hidup dan masa depan orang Papua.

Kekinian, setelah 167 tahun orang Papua menerima Yesus dan Injil serta memasuki "rumah Gereja Papua" apakah orang Papua menjadi lebih baik? Bagaimana kondisi hidup kawanan domba dan gembala di dalam "rumah Gereja Papua?" Ke mana arah Gereja Papua saat ini dan ke depan?

Orang Papua Menderita dan Mati dalam Nama Yesus

Para misionaris Eropa membaptis orang Papua. Mereka juga berupaya agar orang Papua yang telah dibaptis itu, selain mendapatkan pelajaran iman akan Allah Tritunggal, tetapi juga mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Karena itu, para misionaris membuka sekolah berpola asrama, klinik kesehatan, pertanian dan peternakan.

Zaman misionaris Eropa, jauh berbeda dengan Papua saat ini. Kita melihat di kampung-kampung, orang Papua tidak mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang memadai. Para Pastor dan Pendeta, yang telah membaptis orang Papua mengetahui dan mengalami situasi buruk itu, tetapi memilih diam.

"Pit, tugas kami adalah memelihara iman umat!" tutur seorang Pastor, ketika kami berdiskusi di Agats, pada 7 Oktober 2019 silam. Di dalam hati saya bertanya, "Apa artinya memelihara iman umat?" Saya menemukan, pada bulan September 2017, SD YPPK Santo Antonius Padua Yepem tutup. Demikian halnya, Puskesmas Pembantu (Pustu) Yepem tutup! Tetapi, setiap hari Minggu, Pastor merasa aman-aman saja memimpin Misa di Yepem. Sungguh ironis!

Itu hanya salah satu kisah tragis dari ribuan kisah penderitaan orang asli Papua. Kisah-kisah muram itu tidak akan terjadi kalau para Gembala sungguh-sungguh menghayati panggilan dan perutusan mereka untuk melayani orang Papua.

Kita merenung dan bertanya, "Pastor dan Pendeta berkhotbah tentang Kerajaan Allah di tengah-tengah sekolah dasar yang tutup, Pustu yang tutup, tidak ada pelayanan pendidikan dan kesehatan, maka Kerajaan Allah macam apa yang mereka wartakan kepada jemaat yang menderita itu?" Seyogianya, Kerajaan Allah menyapa kebutuhan dasar hidup manusia. Bukankah Injil mengisahkan Yesus yang mengajar, memberi makan, menyembuhkan dan membebaskan?

Kita melihat bahwa pelayanan Pastor dan Pendeta saat ini tidak menyentuh kebutuhan dasar warga jemaat. Pastor dan Pendeta membaptis orang Papua. Kemudian, mereka memimpin ibadah pada hari Minggu atau hari raya atau pada saat duka dan perayaan syukur! Selebihnya, umat berjalan sendiri!

Pastor dan Pendeta membaptis orang Papua kemudian menelantarkannya. Padahal, pembaptisan memiliki konsekuensi merawat! "Anda harus merawat pertumbuhan iman, tetapi juga kehidupan jasmani orang-orang Papua yang telah dibaptis itu!" Sebab, bagaimana mungkin Pastor dan Pendeta membaptis orang Papua, kemudian menelantarkannya? Apa artinya orang Papua menerima pembaptisan dan menjadi anak-anak Allah, tetapi tetap hidup melarat bahkan tidak sekolah dan mati karena gizi buruk?

Kita mengalami bahwa kematian terlalu dekat pada orang Papua. Orang tua, anak-anak muda, anak-anak balita mati sia-sia. Kemudian, Pastor dan Pendeta datang memimpin ibadah. Mereka mulai mengutip kitab Ayub 1:21 "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!" 

Padahal, orang Papua mati karena buruknya pelayanan pendidikan, kesehatan dan ekonomi! Tetapi, Pastor dan Pendeta selalu bilang, "Tuhan punya rencana atas hidup dan mati kita!" Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan anak-anak-Nya dan membiarkan mereka mati muda? Bukankah Pemazmur bilang, "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun?" (Mazmur 90:10a).

 

Gembala dan Domba Masih Sebatas Relasi Fungsional

Idealnya, Gembala dan domba tinggal di dalam satu "rumah Gereja."  Antara Gembala dan kawanan domba tidak ada jarak yang memisahkan. Tetapi, di Papua jauh berbeda. Di kota-kota, Gembala tinggal di rumah pastoran bagus sekali. Kawanan domba, yang hidup sederhana dan miskin, tetap tinggal di dalam ketidak berdayaan mereka.

Demikian halnya, di kampung-kampung, Pastor dan Pendeta hanya melayani pada hari minggu. Kemudian, mereka pulang ke rumah pastoran, yang terletak di pusat distrik. Ada juga rumah pastori di kampung dan pos pelayanan. Pendeta tinggal di sana.

"Tinggal bersama" antara Gembala  dan kawanan domba tampak mahal. Sebab, kita menjumpai Gembala lebih banyak mengurus urusan fisik: bangun gedung gereja, bangun pastoran, bangun pagar gereja dan lain-lain. Manusia orang Papua yang telah dibaptis kurang mendapatkan perhatian serius. Dampaknya, kita melihat kawanan domba tercerai-berai dan terjerumus ke dalam perbuatan yang merusak diri mereka sendiri seperti mengonsumsi minuman alkohol, seks bebas, isap lem aibon dan lain-lain.

Kita ingat kisah di jalan ke Emaus. Dua murid bilang, "tinggallah bersama kami!" (bdk. Lukas 24:29). Seruan serupa ada di dalam lubuk hati orang Papua. Pastor dan Pendeta tidak cukup membaptis orang Papua. Mereka perlu tinggal bersama kawanan domba orang Papua yang telah dibaptis itu. Dengan tinggal bersama, Gembala dan domba saling mengenal satu sama lain sehingga pelayanan rohani dan jasmani bisa tepat sasaran dan kena konteks pergumulan dan kebutuhan kawanan domba.

Selama ini, kita mengalami relasi Gembala dan kawanan domba sebatas relasi fungsional. "Saya Pastor dan Pendeta. Anda umat/jemaat!"   Ada jarak di antara Gembala dan kawanan domba. Keduanya, tidak saling mengenal sehingga tindakan pastoral tidak menyentuh pergumulan dan kebutuhan kawanan domba!

Selain itu, karena tidak saling mengenal, acapkali kita mendengar, Pastor dan Pendeta suka bikin stigma, "umat/jemaat malas ke gereja, malas berdoa, dan berbagai stigma negatif lainnya!" Apabila Gembala dan domba sudah tinggal di dalam satu rumah Gereja, saling berjumpa dan saling berdiskusi, kita yakin bahwa jemaat akan lebih hidup. Gembala tidak akan banyak mengeluh lagi, melainkan memberikan motivasi kepada jemaatnya agar menjadi lebih hidup, bertumbuh dan berbuah lebat.

Apa pun alasannya, Gembala perlu hadir, ada dan menjadi gembala yang baik! (bdk. Yohanes 10:1-18). Orang Papua tidak menuntut banyak. Sebagai pribadi yang telah menerima Yesus, Injil dan Gereja, mereka mengharapkan Gembala yang mau datang dan tinggal dengan mereka. Gembala yang mau mendengarkan penderitaan mereka dan menyuarakannya.

Para Gembala di tanah Papua, Uskup, Pastor dan Pendeta memiliki pendidikan teologi yang memadai. Hendaknya, ilmu dan pengetahuan tersebut, mengantar mereka menjadi Gembala yang baik bagi kawanan domba orang asli Papua. Gembala yang tidak lagi mengedepankan relasi fungsional, melainkan relasi persaudaraan. Gembala dan domba, tinggal di dalam satu rumah yaitu "rumah Gereja Papua!" Di sana, tidak ada lagi saling melupakan dan mengabaikan! Di dalam "rumah Gereja Papua" Gembala dan domba berjuang membebaskan Papua dari segala penderitaannya!

Gereja Papua, Solidaritas Untuk Manusia Bukan Gedung

Kita bertanya, "Saat ini, Gereja Papua sedang berpihak pada si(apa)? Kita menyaksikan di kota-kota di Papua sedang berlangsung perlombaan pembangunan gedung-gedung gereja, baik di kalangan jemaat Katolik maupun Protestan! Bukan hanya gedung gereja saja yang dibangun, tetapi juga pastoran dan aula pertemuan. Jemaat diminta mengumpulkan derma untuk pembangunan gedung-gedung tersebut.

Semasa hidup dan karya-Nya, Yesus tidak membangun gedung apa pun. Ia sungguh-sungguh memperhatikan manusia! Ia memberikan perhatian lebih serius pada orang-orang sakit, lapar dan tertindas! Itu pilihan sikap dan tindakan Yesus. Jauh berbeda dengan situasi saat ini. Para Gembala, baik Pastor maupun Pendeta lebih fokus membangun gedung-gedung mewah atas nama Tuhan Allah!

Pada saat kita mengikuti ibadah di gereja, Pastor dan Pendeta cenderung meminta umat mengumpulkan dana pembangunan gedung-gedung gereja, pastoran dan aula pertemuan. Kita jarang mendengarkan seruan mengumpulkan dana solidaritas untuk pendidikan dan kesehatan warga jemaat di kampung-kampung terpencil. Kita bisa menyaksikan dengan mata kita. Di kota-kota di tanah Papua berdiri gedung gereja, pastoran dan aula megah. Pada saat bersamaan, ketika kita mengarahkan pandangan ke pelosok Papua, jemaat orang Papua melarat, terkapar dan menderita.

Kita berdoa dan berharap agar para Gembala di tanah Papua memperhatikan manusia orang asli Papua. Sebab, Gereja melalui Pastor dan Pendeta membaptis manusia orang Papua menjadi warga Gereja. Pastor dan Pendeta tidak membaptis benda-benda mati. Mereka membaptis manusia orang Papua. Karena itu, Pastor dan Pendeta harus mengutamakan/fokus memperhatikan manusia orang Papua yang telah dibaptis itu!

Kita berbicara tentang manusia orang asli Papua. Kita mengarahkan hati dan pikiran pada pendidikan dan pembinaan. Saat ini, pendidikan sekolah dasar di kampung-kampung rusak berat bahkan tutup, tetapi Gembala memilih diam saja! Seakan-akan tugas Pastor dan Pendeta hanya memimpin ibadah pada hari Minggu! Padahal, Gembala semestinya terlibat di dalam seluruh pergumulan hidup jemaat termasuk di bidang pendidikan!

Kita juga melihat asrama-asrama milik Gereja, sebagai tempat persemaian generasi Papua ditutup dengan berbagai alasan biaya dan pemerintah daerah sudah bangun asrama. Kalau Gereja melalui para Gembalanya, bilang tidak ada biaya urus pendidikan untuk orang Papua, tetapi mengapa mereka bisa membangun gedung-gedung gereja mewah? Kita bertanya, "sebenarnya, Gereja Papua hadir untuk manusia orang asli Papua atau untuk gedung-gedung gereja?"

Apa pun alasannya, para Gembala, Uskup, Pastor, Pendeta harus memperhatikan manusia orang asli Papua! Hentikan kebiasaan membangun gedung-gedung mewah! Tuhan Yesus tidak membutuhkan gedung-gedung gereja mewah! Arahkan pandangan dan hati pada orang asli Papua. Perhatikan manusia orang asli Papua! Sebab, setiap pribadi orang asli Papua yang telah dibaptis wajib dirawat, diperhatikan, bukan sebaliknya ditelantarkan!

Demikian halnya, tokoh umat, tua-tua adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda, Katekis dan segenap umat, perlu membangun diskusi dengan para Gembala terkait upaya bersama membangun Sumber Daya Manusia (SDM) orang asli Papua. Ketika sekolah dasar di kampung-kampung tutup, tua-tua adat perlu omong dengan Gembala, Pastor dan Pendeta untuk bersama-sama mencari jalan keluar, supaya sekolah bisa buka dan anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak!

Bukan hanya pendidikan! Kesehatan orang asli Papua juga perlu mendapatkan perhatian serius! Kita melihat bahwa di kampung-kampung pelosok Papua, Puskesmas Pembantu (Pustu) tutup, tetapi kita diam saja! Pada saat jemaat sakit, mereka akan berobat ke mana? Apabila kita mendiamkan kondisi semacam ini, siapa (lagi) yang akan peduli?

Ke depan, Gereja Papua melalui para Gembala dan kawan domba, umat Allah orang asli Papua perlu kembali ke visi Yesus dan Injil yaitu menyelamatkan manusia agar tidak ada yang tersesat dan hilang. Ketika kita berbicara tentang manusia, maka  tidak pernah luput dari pendidikan dan kesehatan! 

Maka, kita perlu menghentikan kebiasaan membangun gedung-gedung gereja, pastoran dan aula megah. Kita membangun SDM jemaat Allah melalui layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas. Kita perlu terlibat di dalam kedua bidang tersebut sesuai dengan kapasitas, peran dan tanggung jawab kita masing-masing. [Nabire, 05 Februari 2022; 19.34 WIT_Selamat merayakan HPI ke-167].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun