Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gereja Katolik Indonesia Jangan Menambah Luka Papua

23 Desember 2021   19:57 Diperbarui: 24 Desember 2021   05:16 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tanah Papua, ada lima keuskupan, yaitu keuskupan Agung Merauke, keuskupan Jayapura, Manokwari-Sorong, Agats dan Timika. Artinya, ada lima orang Uskup di tanah Papua. Setiap Uskup secara otonom bertanggung jawab atas umat Allah di wilayahnya. Meskipun demikian, lima Uskup tersebut dipersatukan dalam satu provinsi gerejawi. Karena itu, setiap tahun ada pertemuan para Uskup di tanah Papua untuk membahas berbagai karya pastoral di wilayah masing-masing dan karya yang dilaksanakan secara bersama-sama.

Selain itu, di setiap keuskupan, ada Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) dan atau Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKP-KC) yang dikelola oleh Ordo/Taraket. SKP dan SKP-KC bekerja mengadvokasi Papua secara menyeluruh (sipil politik, dan ekonomi, sosial, budaya, hutan alam). Maka, pemetaan permasalahan Papua dan upaya penyelesaian berbasis pastoral sudah tersedia. Kini, kita menunggu keberanian para Uskup di tanah Papua untuk menyuarakan usaha penyembuhan luka Papua secara nyata dalam kata-kata seruan dan dalam tindakan nyata di tengah kehidupan orang asli Papua. 

Para Uskup di tanah Papua perlu mengikuti jejak Uskup Herman Muninghoff dan Uskup John Saklil yang bersuara lantang atas pelanggaran hak asasi orang Papua. Keduanya telah memperlihatkan sikap dan tindakan berpihak pada orang Papua. Keduanya sekaligus menjadi model Uskup yang sangat dirindukan dan dibutuhkan di tanah Papua.

Para Uskup juga memiliki Pastor, yang berkarya di kota-kota sampai pelosok tanah Papua. Melalui para Pastor, Uskup mendapatkan laporan kondisi riil kawanan domba orang Papua. Berbekal informasi akurat dari para Pastor tersebut, hendaklah para Uskup bersuara lantang membela hak hidup orang Papua yang dicaplok atas nama apa pun!

Pada akhirnya, para Uskup di tanah Papua, perlu membuka diri terhadap permasalahan Papua. Uskup tidak lagi menjadi Uskup untuk urusan doktrin dan dogma saja, melainkan terlibat dalam penderitaan orang Papua. Papa titik ini, para Uskup perlu berinisiatif mengundang tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan, perwakilan mahasiswa melakukan dialog seputar upaya Gereja Katolik menyembuhkan luka Papua. Dengan demikian, Uskup mendapatkan tambahan informasi untuk menyuarakan kerinduan dan dambaan orang Papua kepada pemerintah Indonesia.

Kita menyadari bahwa untuk dapat menyembuhkan luka Papua, Gereja Katolik melalui para Uskup dan Pastor tidak bisa berjalan sendiri. Uskup dan Pastor perlu berjalan bersama umat Katolik Papua. Lazimnya seorang gembala, mesti selalu ada bersama kawanan dombanya. "Gembala dan domba harus berada di dalam satu kandang!" Sebab, luka Papua adalah luka kawanan domba yang membutuhkan penanganan intensif dari dalam!

Kalau Uskup dan Pastor berada di luar, tidak masuk ke dalam hidup dan pergumulan kawanan domba orang Papua, bagaimana mereka dapat merasakan dan mengalami penderitaan orang Papua? Untuk menyembuhkan luka Papua, Uskup dan Pastor harus berani masuk ke dalam ruang-ruang hidup Papua!

Apa saja ruang hidup Papua? Ruang sejarah politik dan ideologi Papua. Ruang pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya. Ruang sumber daya alam (hutan dan tambang). Ruang-ruang hidup Papua itu sedang terluka dan bernanah. Semua luka itu mendera Papua. Rumah hidup Papua penuh luka dan borok. Uskup dan Pastor harus masuk ke dalam rumah Papua seperti itu.

Penyembuhan luka Papua harus bermula dari dalam rumah dan ruang hidup Papua! Artinya, Gereja Katolik, melalui Uskup dan Pastor perlu belajar mendengarkan dan memahami setiap ruang hidup Papua. Kemudian, bersama-sama kawanan domba membersihkan dan membalut luka-luka pada tubuh Papua. Pada titik ini, dialog dan rekonsiliasi menjadi sangat penting dan perlu dilakukan dalam semangat mengobati, menyembuhkan dan memulihkan Papua.

Kita meyakini bahwa Roh Kudus membimbing para Uskup dan Pastor di tanah Papua agar dapat hidup dan berjalan bersama Papua: manusia, budaya, alam dan leluhur Papua. Kita mengakui bahwa Papua sedang terluka dan mengharapkan Gereja Katolik mengambil bagian dalam penyembuhannya. Penyembuhan Papua harus bermula dari dalam rumah dan ruang hidup Papua. Karena itu, Gereja Katolik, melalui Uskup dan Pastor harus masuk ke dalam rumah hidup Papua.

Di dalam rumah hidup Papua itulah, gembala dan domba tinggal bersama dan saling bicara tentang sukacita dan dukacita yang dialami sebagai manusia orang asli Papua! Tetapi, bagaimana kita dapat menyiapkan ruang dialog yang lebih luas di dalam rumah Papua, yang akan mengantar pada rekonsiliasi menuju pemulihan dan penyembuhan luka Papua? Sekali lagi, gembala dan domba perlu duduk bicara secara bersama-sama di dalam rumah Papua! [Nabire, 11 Desember 2021_Petrus Pit Supardi_Alumni STFT Fajar Timur, angkatan 2006].

[Tulisan ini sebelumnya, telah dimuat di media www.suarafajartimur.com, pada tanggal 21 Desember 2021.]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun