Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gereja Katolik Indonesia Jangan Menambah Luka Papua

23 Desember 2021   19:57 Diperbarui: 24 Desember 2021   05:16 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gereja Protestan dan Katolik, datang membawa Yesus dan Injil untuk Papua. Untuk menerima Yesus dan Injil, budaya warisan turun-temurun harus dilepaskan. Misionaris bilang benda-benda keramat itu sebagai berhala-berhala. Ungkapan-ungkapan penghormatan kepada alam dan leluhur perlahan-lahan dilepakan atas nama Yesus dan Injil.

Papua terluka! Sebab, harus melepaskan keyakinannya yang diwariskan turun-temurun. Tetapi, demi menjadi anak-anak Allah dan memasuki "rumah baru bernama Gereja," orang Papua rela melepaskan sebagian budayanya. Harapannya, dengan melepaskan sebagian budaya dan masuk ke dalam rumah Gereja, hidup harmoni warisan turun-temurun tumbuh subur dan berbuah lebat. Papua menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Apakah harapan itu menjadi kenyataan?

Selain misionaris Protestan dan Katolik, pemerintah Belanda juga datang ke Papua. Bersama dengan para misionaris, pemerintah Belanda membangun "peradaban modern" bagi Papua. Ada sekolah. Ada klinik kesehatan. Ada pertanian dan perkebunan. Ada pengeboran minyak.

Secara politik, pemerintah Belanda berjanji mempersiapkan kemerdekaan bangsa Papua. Hal ini tampak jelas pada tanggal 1 Desember 1961, dilaksanakan proklamasi kemerdekaan bangsa Papua. Pada saat itu, lagu tanah Papua berkumandang dan bendera Bintang Kejora berkibar di samping bendera Belanda.

Ironisnya, pada tanggal 19 Desember 1961, atau hanya delapan belas hari setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Papua, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Tri Komando Rakyat (Trikora). Isinya,   pertama, gagalkan pembentukan negara Papua. Kedua, kibarkan bendera merah putih di Papua Barat; ketiga, bersiap untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Papua terluka dari waktu ke waktu tanpa tahu kapan akan sembuh dan pulih? Gereja Protestan dan Katolik, pemerintah Belanda dan Indonesia, tidak mengobati luka Papua. Dampaknya, Papua semakin terluka dan hanya menyisakan air mata dan kematian. Kini, Papua lebih dekat pada kematian daripada kehidupan!

Mengapa Papua dilukai terus-menerus, baik oleh Gereja, secara khusus Gereja Katolik Indonesia maupun pemerintah Indonesia? Kita melihat bahwa sampai saat ini, sejak Gereja masuk di tanah Papua, 1855 dan Indonesia menguasai Papua melalui pelaksanaan Pepera 1969, Papua tidak pernah dilihat sebagai satu kesatuan bangsa, kultur dan ras melanesia, yang berhak mengatur diri, hidup dan masa depannya. Bahkan Indonesia, tidak pernah membuka diri untuk membicarakan Papua secara menyeluruh. Sebab, klaim "Papua sudah final di dalam NKRI!" mendominasi. Padahal, Pepera 1969 merupakan sebuah pembohongan publik karena hanya diikuti oleh 1.025 orang dari 800 ribuan lebih jiwa orang Papua saat itu.

Saat ini, pemerintah Indonesia mengedepankan pendekatan keamanan dalam menghadapi permasalahan Papua. Kita melihat, ribuan pasukan tentara, polisi dan intelejen membanjiri tanah Papua. Tetapi, apakah kehadiran pasukan keamanan Indonesia itu dapat menyelesaikan permasalahan Papua? Tidak! Justru menambah penderitaan Papua!

Di tengah situasi tersebut, Gereja Katolik (di) Papua berupaya bersuara melalui para Pastor yang berkarya di tanah Papua! Para Pastor Katolik menyuarakan agar permasalahan Papua dapat diselesaikan dengan cara-cara damai dan bermartabat, yaitu melalui dialog yang setara antara pemerintah Indonesia dan Papua. Berulangkali, seruan, konferensi pers dan laporan-laporan diterbitkan, tetapi tidak berdampak pada penyelesaian Papua secara menyeluruh! Sebab, sampai saat ini pendekatan keamanan dan intelejen masih diberlakukan di Papua. Ruang dialog masih tertutup rapat.

Sikap Diam Uskup dan KWI terhadap Penderitaan Papua

Pernyataan Kardinal Suharyo, bahwa "Sikap gereja Katolik yang resmi terhadap masalah Papua itu sangat jelas, yaitu mendukung sikap pemerintah, karena dijamin undang-undang internasional," sangat melukai hati orang asli Papua. Kalau Kardinal Suharyo, selaku pimpinan tertinggi Gereja Katolik di Indonesia berpendapat demikian, bagaimana dengan nasib dan masa depan orang asli Papua yang sedang mengalami operasi militer saat ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun