Di tepi pantai kampung Ayombai, pulau Moor,
tepat di bawah pohon ketapang yang tumbuh rindang,
bersebelahan dengan kantor kampung,
di dermaga sederhana itu,
Aku duduk memandang ke pulau Ratewi, kampung Arui
Laut sedang teduh
Suara burung berkicau merdu pada bukit berhutan hijau
Jiwa bertolak ke laut yang dalam
Â
Hidup ini, datang dari mana?
Hidup ini, siapa punya?
Hidup ini, untuk siapa?
Hidup ini, untuk apa?
Mengapa ada hidup?
Bagaimana mengisi hidup ini?
Apakah hidup identik dengan harta, jabatan dan kekuasaan?
Mengapa manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta benda dengan merusak alam dan menyingkirkan orang miskin?
Harta benda di dunia ini untuk siapa?
Mengapa manusia terlalu fokus mencari harta di dunia ini?
Mengapa manusia suka menumpuk harta bagi dirinya sendiri?
Bukankah semua harta dunia ini akan lenyap?
Cahaya mentari menyapa laut yang teduh,
menerangi insan yang berjejal di jalan perziarahan,
Aku pun bertanya padanya,
"hidup ini untuk siapa?"
Mengapa manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta yang akan lenyap?
Mengapa manusia mengabaikan harta abadi?
Â
Angin pagi membawa sejuta tanya pada sukma
Melebur bersama dalamnya samudra pasifik
Tak ada jawaban tersirat melintas dalam relung jiwa
Membisu bersama samudra dan bukit di pulau Moor
Seketika ombak memecah kebisuan pagi
Terdengar bisikan halus pada sukma
"Masukilah rumah hidupmu, dirimu sendiri!"
"Di sana, temukan jawaban atas pertanyaanmu!"
Hidup ada di dalam diri bukan di luar,
Sukma jiwa rumah hidup
Semua bermula lubuk hati
Kekal abadi sejak semula
Kampung Ayombai, Pulau Moor,
25 Juni 2021; 06.35 WIT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H