Seorang Uskup, pada dirinya mengemban  kepenuhan imamat Kristus. Ia mewakili Kristus di dunia ini. Seluruh hidup dan karya Uskup menghadirkan kembali Kristus yang lahir di Betlehem (simbol perendahan diri Allah), Kristus yang merayakan perjamuan terakhir bersama para Rasul (simbol penyerahan diri kepada Allah dan sesama) dan Kristus yang tersalib (simbol pengorbanan). Ketiga peristiwa besar dalam hidup Yesus itu merupakan amanat yang diemban langsung oleh seorang Uskup tanpa syarat apa pun.
Pada malam perjamuan terakhir, Yesus berpesan kepada para Rasul-Nya. Â "Jadi, jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. (Yohanes 13:13-16).
Yesus telah menanggalkan keistimewaan-Nya sebagai Anak Allah. Ia rela mencuci kaki para Rasul-Nya. Sebuah tindakan yang mengajarkan kepada para Rasul tentang sikap rendah hati. Hanya orang-orang rendah hati yang mampu mengenal dan memahami kehendak Allah baginya. Karena itu, Yesus minta para Rasul untuk bersikap rendah hati melalui tindakan nyata membasuh kaki sesama.
Yesus, anak Allah bisa mencuci kaki para Rasul, mengapa para pengganti dan penerus-Nya tidak bisa melakukannya? Â Sebagai penerus takhta Santo Petrus, Uskup sebagai pimpinan Gereja lokal seyogianya menghadirkan dirinya sebagai gembala yang baik bagi kawanan dombanya tanpa kecuali.
Uskup merupakan gembala utama. Para imam mengambil bagian dalam tugas penggembalaan yang kepenuhannya ada pada diri seorang Uskup. Para imam mengambil bagian dalam tugas penggembalaan yang diemban oleh Uskup. Â Karena itu, pada saat tahbisan, setiap imam berjanji untuk selalu taat kepada Uskup.
Selain mencuci kaki, Yesus juga berkata, "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya." (Yohanes 10:11). Yesus membuktikan kata-kata-Nya itu dengan menjalani penderitaan mengerikan mulai dari taman Getsemani, di rumah Pilatus sampai di bukit Kalvari. Ia wafat seperti penjahat di kayu salib. Yesus menanggung penderitaan itu dengan sabar, tanpa mengeluh.
Sebagai orang pilihan Allah, yang dikhususkan menjadi gembala utama di Keuskupan Agung Merauke, apakah Mgr. Niko telah menjadi gembala yang mau membasuh kaki para imamnya? Apakah ia mau mendengarkan nasihat, saran, kritik dari rekan sepelayanannya? Apakah ia telah mengambil bagian penuh dalam setiap pergumulan, dukacita dan kegembiraan para imamnya? Apakah ia telah menciptakan ruang perjumpaan intim dengan para imamnya? Apakah ia telah menghadirkan diri sebagai Bapa yang baik hati, yang mengasihi anaknya yang telah berdosa?
Sebagai gembala utama umat Allah di Keuskupan Agung Merauke, apakah Mgr. Niko telah mengarahkan pandangannya kepada kaum paling rentan: orang-orang miskin dan masyarakat adat yang hak ulayatnya dicaplok oleh perusahaan sawit? Apakah ia telah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pelayanan pendidikan bagi warga Gereja, orang asli Papua yang digembalakannya? Apakah ia mengambil bagian penuh dalam upaya memperbaiki kesehatan warga Gereja, orang asli Papua yang tinggal di kampung-kampung terpencil?
Sebagai gembala utama, keteladanan sebagai wakil Kristus merupakan hal utama yang dirindukan oleh segenap kawanan domba. Umat Allah selalu merindukan sosok Uskup yang rendah hati. Uskup yang mau hadir, mendengarkan keluh kesah mereka dan menyuarakan jerit penderitaan mereka. Apakah selama 15 tahun menjadi Uskup Agung Merauke, Mgr. Niko telah menjawab kerinduan umat Allah itu? Ataukah sebaliknya, ia lebih sibuk mengurus bisnis yang seharusnya ditangani oleh orang-orang profesional?
Berdasarkan surat pernyataan para imam Diosesan Keuskupan Agung Merauke, surat Pastor Fabi, Pr, berkumpulnya umat di taman ziarah Hati Kudus Yesus dan video Pastor Eko dan Pastor Fabi memasuki rumah ziarah Hati Kudus Yesus, tampak bahwa Mgr. Niko tidak menjawab kerinduan umat Allah Keuskupan Agung Merauke. Ia tidak menjadi bagian penuh dalam kehidupan umat Allah di Merauke. Bahkan para imamnya sendiri tidak merasakan keintiman dengannya seperti seorang Bapa dengan anak-anaknya sehingga mereka berani mengeluarkan surat pernyataan tersebut. Â
Memulai (lagi) Tanpa Menoleh ke Belakang
Peristiwa pembebasan tugas Mgr. Niko sebagai Uskup Agung Merauke menjadi momentum refleksi bersama, bukan saja Mgr. Niko tetapi juga segenap pelayan Allah, para Uskup dan para imam dimana saja mereka berkarya. Bahwa jabatan imamat, Uskup dan Pastor merupakan panggilan istimewa untuk melayani dengan rendah hati, yang berkiblat pada Yesus Kristus, bukan pada ego diri sendiri. Karena itu, setiap Uskup dan imam, perlu dengan rendah hati membuka diri terhadap setiap karya Roh Kudus yang hadir dalam diri sesamanya dan alam semesta, yang membisikan hal-hal baik untuk kebaikan bersama.