Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kisah Sedih Anak-anak SD Inpres Yuni

28 Juli 2019   16:12 Diperbarui: 28 Juli 2019   16:27 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kepala sekolah jarang datang ke kampung Yuni. Guru-guru juga sama. Mereka tinggal di Agats. Di Yuni, hanya ada Ibu Hasriani, guru honor dari Dinas Pendidikan yang buka sekolah," tutur kepala kampung Yuni, Paulus Maneksei, pada Rabu, (15-05-2019).

Terik cahaya matahari tidak menyiutkan nyali kami untuk menyusuri sungai Sorep. Setelah selesai pertemuan di Buatkwar, kami melanjutkan perjalanan ke kampung Yuni. Kami tiba di Yuni pukul 12.05 WIT.

Kami menuju rumah kepala kampung Yuni, Paulus Maneksei. Kami duduk di teras rumah. Di teras itulah, kami berbagi kisah tentang kondisi kampung Yuni, pengelolaan SD Inpres Yuni dan pelayanan kesehatan. Kader kampung Yuni, Lewi Yiarpits dan beberapa warga kampung turut hadir dan duduk bersama kami di teras rumah. 

Secara khusus, kami berdiskusi tentang kondisi SD Inpres Yuni. Kepala kampung Yuni, Paulus Maneksei mengisahkan kondisi sekolah yang sangat memprihatinkan lantaran kepala sekolah, Tipen Wenda dan para guru jarang datang ke Yuni untuk mengajar anak-anak kampung Yuni.

"Kepala sekolah, pak guru Tipen Wenda jarang datang ke Yuni. Sekolah ini sudah terlantar bertahun-tahun. Anak-anak tidak bisa bersekolah dengan baik karena tidak ada guru yang menetap dan mengajar di sini," tutur Paulus dengan raut wajah sedih.

Paulus menjelaskan bahwa selama ini hanya Ibu Hasriani, guru honor dari Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat yang mengajar anak-anak. Guru-guru lain tidak tinggal di Yuni. Mereka tinggal di Agats. "Selama ini, hanya Ibu Hasriani yang buka sekolah. Guru lain tidak ada," tutur Paulus. 

Usai pertemuan di teras rumah Paulus, kami pergi ke SD Inpres Yuni. Kondisi sekolah sangat memprihatinkan. Halaman sekolah kotor. Pintu ruang guru dan kelas tidak terkunci. Di sepanjang koridor sekolah penuh dengan kotoran anjing. Aroma busuk menyengat hidung.

Ruang guru berantakan dan kotor. Meja, kursi, lemari dan buku tidak tertata rapi. Demikian halnya, ruangan kelas tampak kotor. Plafon sudah mulai rusak. Kursi dan meja berantakan. Kondisi fisik sekolah memprihatinkan karena tidak terawat.

WC dalam kondisi rusak berat dan tidak diperbaiki. Dokpri.
WC dalam kondisi rusak berat dan tidak diperbaiki. Dokpri.

Ada satu unit WC dalam kondisi rusak parah. WC tersebut tidak diperbaiki, melainkan dibiarkan terlantar. Ada pula satu unit rumah guru berbentuk kopel. Kondisi rumah guru memprihatinkan (mulai kusam) karena jarang ditempati dan termakan usia.

SD Inpres Yuni memiliki enam (6) orang guru. Mereka terdiri atas, Tipen Wenda sebagai kepala sekolah. Sedangkan lima (5) orang guru lainnya yaitu Kaleb Asinkem, Abida Mangera, Hasriani, Riswan dan Basri. Meskipun ada enam orang guru, hanya Ibu Hasriani yang aktif mengajar.

"Selama ini, saya mengajar sendiri. Waktu libur Paskah, saya lihat di sini tidak ada perayaan Paskah sehingga saya suruh anak-anak masuk sekolah. Jadi, sekarang kami sudah libur," tutur Hasriani.

Dalam keterbatasannya, Hasriani berupaya mengajar semampunya. Ia berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Ia berusaha untuk mengajar anak-anak Yuni meskipun hanya seorang diri. Ia tidak patah semangat. 

Melihat kondisi SD Inpres Yuni membuat napas terasa sesak. Bagaimana dengan masa depan anak-anak kampung Yuni? Apa yang akan terjadi pada orang Yuni di masa depan kalau anak-anak tidak bisa bersekolah?

Catatan Kritis

Penulis bersama Pastor Vesto, Pr dan kader kampung Yuni di depan sekolah. Dokpri.
Penulis bersama Pastor Vesto, Pr dan kader kampung Yuni di depan sekolah. Dokpri.

Saya yakin bahwa sekolah dasar merupakan "pintu" menuju masa depan. Apabila anak-anak mendapatkan pendidikan berkualitas di bangku sekolah dasar, mereka akan bertumbuh menjadi anak-anak yang cerdas intelektual dan spiritual. Di masa depan, mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang berintegritas, berlaku jujur dan adil. Sebab, sejak masa kecil, mereka memperoleh pendidikan berkualitas.

Tetapi, kondisi pendidikan di SD Inpres Yuni sangat memprihatinkan. Guru sebagai panutan bagi anak-anak justru menunjukkan sikap yang bertolak belakang dengan panggilan hakiki guru. Sejenak kita berefleksi dan bertanya: "Mengapa para guru di SD Inpres Yuni menelantarkan anak-anak tanpa merasa bersalah sedikitpun? Bagaimana mungkin para guru tidak melaksanakan tugas mendidik anak-anak di kampung Yuni, tetapi tetap menerima gaji?"

Kisah sedih di SD Inpres Yuni menambah daftar panjang penderitaan anak-anak Papua yang tidak bisa mengakses pendidikan dasar berkualitas. Anak-anak Papua menjadi terbelakang bukan karena mereka malas, melainkan mereka hidup pada era manusia saling mengabaikan. Anak-anak Papua tidak mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan dasar berkualitas lantaran para guru tidak mau mengajar dengan berbagai alasan.

Kondisi ruang guru. Dokpri.
Kondisi ruang guru. Dokpri.

Kenyataan lain yang miris dan menyakitkan adalah meskipun sekolah tidak berjalan, tetapi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tetap cair. Laporan pertanggungjawaban keuangan (LPJ) BOS sangat bagus sehingga lolos verfikasi tanpa catatan.

Dana BOS cair dan laporan sangat bagus, tetapi sekolah rusak berat. Contoh konkret di SD Inpres Yuni. Kita patut bertanya, dana BOS digunakan untuk apa? Sebab, tidak ada perbaikan apa pun di sekolah tersebut.

Kondisi SD Inpres Yuni  yang sangat memprihatinkan itu menunjukan bahwa kepemimpinan di sekolah dasar sangat menentukan arah sekolah mau ke mana? Kalau kepala sekolah bertanggung jawab pasti sekolah sangat bagus sebagaimana SD YPPK St. Martinus de Pores Ayam. Tetapi, kalau kepala sekolah tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, maka kondisinya seperti yang ada di SD Inpres Yuni.

Untuk menyelamatkan generasi Asmat di masa depan, maka pemerintah daerah Kabupaten Asmat perlu mengangkat kepala sekolah dasar yang berkualitas dan berintegritas: jujur dan mau melayani anak-anak di kampung terpencil. Demikian halnya, Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat harus berani memberikan sanksi tegas kepada para guru yang lebih suka tinggal di kota Agats.

Koridor depan sekolah dihiasi kotoran binatang. Dokpri.
Koridor depan sekolah dihiasi kotoran binatang. Dokpri.

Di atas semua itu, para guru di kabupaten Asmat, terutama guru-guru yang malas tinggal di tempat tugas, di kampung-kampung terpencil harus segera bertobat! Kembalilah ke kampung dan laksanakan tugas sebagai guru untuk mendidik generasi orang Asmat. Jadilah guru yang setia, jujur dan berintegritas.

Para guru di Asmat, terutama guru yang suka malas mengajar camkanlah bahwa masa depan Asmat berada di pundakmu. Setiap guru memikul tanggung jawab mencerdaskan generasi Asmat. Apabila guru malas mendidik anak-anak Asmat di kampung-kampung terpencil, masa depan Asmat akan suram. Generasi Asmat akan mengalami kehilangan masa depan, karena tidak memperoleh pendidikan dasar berkualitas. Mereka akan orang-orang yang buta huruf dan minim keterampilan hidup.

Para guru perlu menyadari bahwa Tuhan Allah, alam semesta dan leluhur orang Asmat sedang meneropong mereka. Setiap guru yang rajin mendidik anak-anak Asmat akan menuai berkat berlimpah. Mereka akan mengalami kesehatan dan rejeki berlimpah. Mereka juga akan mengalami kebahagiaan dalam hidup ini.

Rumah guru kopel yang tidak ditempati sehingga tampak mulai kusam. Dokpri.
Rumah guru kopel yang tidak ditempati sehingga tampak mulai kusam. Dokpri.

Tetapi, setiap guru yang malas mengajar dan setiap bulan menerima gaji tanpa mengeluarkan keringat untuk mendidik anak-anak Asmat akan menuai badai dan penderitaan tidak berkesudahan. Mereka akan menderita sakit, keluarga mereka tidak akan mengalami damai sejahtera. Sebab, alam semesta dan leluhur Asmat tidak akan berdiam diri menyaksikan pembodohan pada generasi Asmat yang berlangsung tanpa henti di kampung-kampung terpencil saat ini.

Setiap guru, yang saat ini mengabdi di Asmat sesungguhnya sedang menorehkan sejarah hidup mereka. Di masa depan, mereka akan diingat sebagai guru yang baik atau guru yang tidak baik. Setiap tutur kata, perilaku hidup dan relasi guru dengan warga kampung akan terekam dalam ingatan anak-anak dan warga kampung. Berbagai kenangan itu akan diceritakan turun-temurun. Karena itu, setiap guru yang sedang mengabdi di Asmat, terutama yang bertugas di pedalaman supaya menorehkan sejarah hidup yang baik, setia melayani dengan hati bersih sehingga mereka dikenal dan dikenang oleh warga kampung sebagai guru yang jujur, setia melayani dan mendidik anak-anak, bukan sebaliknya dikenal dan dikenang sebagai guru yang malas dan suka pencuri dana BOS. [Agats, 28 Juli 2019].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun