Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Yustinus Kaize dan Sekolah yang Reot di Bine

10 Mei 2019   15:08 Diperbarui: 10 Mei 2019   17:51 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru Yustinus Kaize di depan rumahnya di Bine, Selasa, (09-04-2019). |Dokumentasi pribadi

"Saya 'karantina' anak-anak kelas 6 di saya punya rumah. Mereka ada sepuluh orang tinggal dengan saya supaya bisa persiapan ikut ujian nasional. Kalau saya tidak 'karantina' mereka, nanti mereka ikut orangtua pergi cari gaharu di hutan sehingga tidak ikut ujian nasional," tutur kepala SD Inpres Bine, Yustinus Kaize, Selasa, (09-04-2019).

Cuaca cerah. Pada siang hari, Selasa, (09-04-2019), pukul 12.11 WIT, kami tiba di kampung Bine. Sebelumnya, kami mengunjungi kampung Sogoni. 

Pada saat kami tiba, suasana di kampung Bine tampak ramai. Warga masyarakat yang biasa tinggal di dusun untuk mencari gaharu ramai-ramai kembali ke Bine untuk mengikuti pemilihan umum yang akan berlangsung pada 17 April 2019. Ada beberapa pos partai dibangun lengkap dengan atribut partai.

"Anak, Bapa baru pergi pasang jaring," tutur istri kepala SD Inpres Bine, Mama Frederika Ganadi. Mama Ganadi salah satu guru di SD Inpres Bine, tetapi sudah pensiun. Kini, ia menanam gaharu. Selain itu, ia tetap mengabdikan diri untuk mengajar anak-anak di Bine. 

Beberapa saat kemudian, guru Yustinus Kaize datang ke sekolah. Kami berbagi pengalaman tentang kondisi SD Inpres Bine. Kondisi bangunan SD Inpres Bine sangat memprihatinkan.

"Ini bangunan (gedung tua). Selama ini, kami tetap pakai, tetapi kalau angin, kami ke luar karena takut roboh," tutur guru Yustinus.

Saat ini, Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat telah membangun dua ruang kelas baru. Ruang kelas inilah yang dipakai untuk proses belajar mengajar. "Kalau angin kencang, kami biasa pindah ke ruang kelas baru. Kami gabung anak-anak semua di ruang kelas yang baru itu," tutur guru Yustinus sambil menunjuk ke dua ruang kelas yang baru dibangun itu.

Ia berharap pemerintah daerah kabupaten Asmat segera membangun baru atau melakukan rehab atas gedung tua yang sudah mulai reyot ini. "Saya harap tahun depan pemerintah bisa bangun baru atau rebah ini gedung, tuturnya penuh harap.

Guru Yustinus berencana akan bikin sekat ruang kelas. "Saya sekat ruang kelas baru ini. Jadi, satu ruang bisa dapat dua kelas," tambahnya.

SD Inpres Bine tidak memiliki WC, Perpustakaan, ruang kepala sekolah. Hanya ada ruang guru di gedung tua yang hampir roboh itu. Demikian halnya, buku-buku guru dan siswa sangat terbatas.

Ia juga berkomentar tentang tidak ada rumah guru. "Kami di SD Inpres Bine hanya ada satu kopel ini. Saya tinggal di rumah ini bersama guru lainnya," tuturnya. Ia berharap pemerintah segera bangun rumah guru sehingga guru bisa tinggal dan mengajar anak-anak.

Satu-satunya rumah guru SD Inpres Bine yang ditempati Guru Yustinus Kaize. |Dokumentasi pribadi
Satu-satunya rumah guru SD Inpres Bine yang ditempati Guru Yustinus Kaize. |Dokumentasi pribadi

Mengenai kehadiran guru, guru Yustinus mengakui bahwa para gurunya jarang berada di Bine. "Saya sendiri di sini. Guru-guru muda lainnya tidak mengajar. Mereka mau menjadi pegawai tetapi tidak mau kerja," kisahnya.

Ia menambahkan bahwa sejak Januari-April 2019 hanya dirinya bersama guru Laurensius dari Amanamkai yang mengajar. Guru honor dan kontrak tidak mengajar karena belum terima gaji. 

Sedangkan siswa SD Inpres Bine berjumlah 159 orang. Dari jumlah tersebut kelas 6 SD ada 10 orang. "Anak kelas 6 ada 10 orang. Mereka akan ikut ujian kelulusan di Atsj," tutur guru Yustinus. Ia menjelaskan bahwa dirinya juga sudah pergi ke rumah-rumah warga dan mendata anak usia sekolah yang akan masuk kelas 1 SD. 

"Saya sudah data anak-anak kampung yang akan masuk kelas 1 SD. Jumlahnya ada 29 orang," tutur guru Yustinus sambil memperlihatkan daftar nama yang dipegangnya.

Di tengah berbagai tantangan itu, guru Yustinus tetap bersemangat mendidik anak-anak Asmat di kampung Bine. Ia menambahkan bahwa orangtua tidak peduli dengan pendidikan anak-anak. "Kalau di daerah lain, anak tidak ke sekolah, orangtua suruh anak ke sekolah, kalau di Asmat tidak demikian."

Ia menjelaskan bahwa untuk mendidik anak-anak harus terus-menerus memperhatikan anak-anak sejak SD sampai dengan SMA. Apabila guru tidak perhatikan, maka anak-anak akan putus sekolah. 

"Kalau kita mau anak-anak ini sekolah lanjut, kita harus urus mereka masuk SMP dan SMA. Kalau tamat SD terus kita kasih ijasah dan tidak perhatikan, mereka tidak akan sekolah lanjut. Jadi, saya bawa anak-anak yang mau masuk SMP dan SMA tinggal di saya punya rumah di Agats," tutur guru Yustinus yang tiba di kampung Bine sejak Agustus 1987 ini.

"Selama saya di Bine, saya dan Mama sudah urus sekitar dua puluh anak yang bisa tamat SMP dan SMA. Saat ini, sudah ada satu orang yang sedang kuliah di Makassar," tuturnya.

Ia menambahkan bahwa tahun lalu, dirinya mengurus dua siswanya untuk masuk di SMP Negeri 3 Agats, tetapi kepala sekolah tolak karena kursi dan meja terbatas. "Saya bawa saya punya anak dua orang, tapi ditolak karena kursi meja terbatas sehingga mereka dua sekolah di SMP biasa," jelasnya.

"Kalau kita tidak urus anak-anak Asmat, sejak SD, SMP sampai SMA, kita tidak akan dapat hasil apa-apa. Makanya, saya  dan Mama perhatikan anak-anak ini. Kami bawa mereka tinggal di Agats dan sekolah. Makan dan minum kami urus. Biasanya mereka punya kaka-kaka yang sudah kerja bantu urus makanan untuk anak-anak itu," kisahnya.

Guru Yutinus juga ada rumah di Atsj. Ia menampung anak-anak dari kampung-kampung seperti dari Fos dan Kaimo. "Saya tampung anak-anak tinggal di rumah di Atsj dan sekolah. Kalau saya ke Atsj saya bawa beras dan sagu untuk anak-anak," tuturnya.

Saat ini, di rumahnya di Bine, ia menampung sepuluh anak muridnya yang kelas 6 SD. Ia mendampingi mereka mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian nasional pada 23 April 2019 di SD Inpres Atsj.

"Saya 'karantina' anak-anak kelas 6 di rumah sini supaya mereka belajar dan siap ikut ujian. Kalau saya tidak tampung mereka di sini, nanti mereka ikut orangtuanya ke hutan untuk cari gaharu," tuturnya.

Guru Yustinus, bersama dengan operator sekolah, kepala kampung, dan ketua Bamuskam telah mengikuti pelatihan Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada 14-16 Mei 2018 dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada 18-22 Mei 2018 di SD Inpres Atsj dengan menghadirkan narasumber John Rahail, Tuning, Sutiyono, Suharto dan Veronika Indiastuti.

 Tetapi, setelah pelatihan tersebut, tidak ada perbaikan tata kelola lantaran guru tidak aktif mengajar. Selain itu, guru Yustinus lebih fokus mengajar anak-anak bersama istrinya, Mama Fransina. Dokumen sekolah seperti dokumen kurikulum, RPP, Silabus, SOP, profil sekolah, dan lain-lain tidak ada.

Catatan Kritis

Gedung SD Inpres Bine yang dibangun pada tahun 1980-an.  |Dokumentasi pribadi
Gedung SD Inpres Bine yang dibangun pada tahun 1980-an.  |Dokumentasi pribadi

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) di kampung Bine memprihatinkan. Kondisi fisik sekolah yang dibangun pada tahun 1980-an sudah reyot. Tahun 2018, Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat telah membangun dua ruang kelas. Apabila angin, maka semua siswa akan digabung di ke dua ruang kelas tersebut.

SD Inpres Bine juga tidak memiliki WC, tempat sampah, Perpustakaan, ruang guru, ruang kepala sekolah. Padahal, sejak dini, anak-anak diajarkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Tetapi, bagaimana guru bisa mengajarkan PHBS, sedangkan WC saja tidak ada? Tidak ada tempat sampah. PHBS macam apa yang akan disampaikan guru kepada anak-anak?

Selain itu, pemerintah kabupaten Asmat, melalui Dinas Pendidikan mengirim guru ke kampung tanpa menyiapkan rumah guru. Kalaupun ada rumah guru, sangat terbatas sehingga tidak bisa menampung semua guru. 

Misalnya, di kampung Bine, hanya ada satu kopel rumah guru. Semua guru tinggal di rumah sempit tersebut. Apabila tidak ada rumah guru, bagaimana guru bisa betah tinggal di kampung dan mengajar anak-anak? 

Pemerintah bicara bahwa guru harus tinggal di kampung, tanpa menyiapkan rumah guru sehingga para guru tetap tinggalkan tempat tugas mereka. Akibatnya, anak-anak tidak bisa mendapatkan pengajaran dari para guru.

Para guru yang ditempatkan di SD Inpres Bine tidak aktif mengajar. Hanya kepala sekolah, guru Yustinus Kaize dan istrinya, Mama Frederika Ganadi yang aktif mengajar. Mama Frederika sudah pensiun, tetapi karena guru lain tidak aktif sehingga dirinya harus tetap mengajar. Bagaimana membayangkan sekolah dasar di kampung tanpa guru? Apa yang akan terjadi pada anak-anak Asmat di masa depan?

Kondisi paling kritis adalah rendahnya tingkat kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak-anak. Orangtua membawa anak-anak ke hutan pada saat mencari gaharu. Demikian halnya, ketika mereka ke dusun untuk mencari makan, mereka membawa anak-anak. Akibatnya, anak-anak tidak bisa sekolah.

Permasalahan orangtua membawa anak-anak ke dusun merupakan permasalahan klasik, narasi lama yang terus terulang di Asmat. Orangtua membawa anak-anak ke dusun atau hutan karena dua alasan. 

Pertama, kalau mereka tinggalkan anak di kampung untuk sekolah, siapa akan memperhatikan makan dan minum anak-anak? Kedua, guru tidak ada di kampung sehingga sekolah tutup. Daripada, anak-anak terlantar di kampung mereka memutuskan membawa anak-anak ke dusun. Di sana, mereka mengajari anak-anak mencari makan.

Apa pun narasi pendidikan sekolah dasar di Asmat, orangtua memegang peran sentral dalam pendidikan anak-anak. Bagaimana menyadarkan orangtua supaya mengarahkan anak-anak pergi ke sekolah? Bagaimana menyadarkan orangtua bahwa setiap pagi, sebelum anak-anak ke sekolah mereka harus sarapan terlebih dahulu? Siapa bertugas menyadarkan orangtua tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak Asmat?

Pada titik ini, Gereja memiliki peran sentral. Gereja sebagai pihak yang telah membawa orang Asmat berjumpa dengan "peradaban baru" harus hadir dan menuntun kawanan dombanya, umat Allah serta mengarahkan anak-anak supaya sekolah. 

Gereja, melalui para gembalanya, Pastor, dan Pendeta harus hadir di kampung (stasi), berdiskusi dengan warga masyarakat (jemaat/umat), pemerintahan kampung, tua-tua adat (wayir) dan para guru untuk bersama-sama mencari jalan keluar terbaik supaya anak-anak bisa sekolah.

Proses belajar mengajar di kampung-kampung terpencil di Asmat, sebagaimana di SD Inpres Bine akan berjalan lancar apabila pemerintahan kampung, tua-tua adat, para guru, Pastor dan Pendeta bisa membangun kemitraan dalam pengelolaan sekolah dasar di kampung.

Apabila para pihak tersebut berjalan sendiri-sendiri, maka dapat dipastikan bahwa proses belajar mengajar tidak akan efektif. Karena itu, Gereja, melalui Pastor dan Pendeta harus pro aktif hadir di kampung (stasi) dan mendorong pemerintahan kampung, warga masyarakat, para guru untuk senantiasa menghidupkan sekolah dasar di kampung yang seringkali mati suri. [Agats, 9 April 2019].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun