Ia juga berkomentar tentang tidak ada rumah guru. "Kami di SD Inpres Bine hanya ada satu kopel ini. Saya tinggal di rumah ini bersama guru lainnya," tuturnya. Ia berharap pemerintah segera bangun rumah guru sehingga guru bisa tinggal dan mengajar anak-anak.
Mengenai kehadiran guru, guru Yustinus mengakui bahwa para gurunya jarang berada di Bine. "Saya sendiri di sini. Guru-guru muda lainnya tidak mengajar. Mereka mau menjadi pegawai tetapi tidak mau kerja," kisahnya.
Ia menambahkan bahwa sejak Januari-April 2019 hanya dirinya bersama guru Laurensius dari Amanamkai yang mengajar. Guru honor dan kontrak tidak mengajar karena belum terima gaji.Â
Sedangkan siswa SD Inpres Bine berjumlah 159 orang. Dari jumlah tersebut kelas 6 SD ada 10 orang. "Anak kelas 6 ada 10 orang. Mereka akan ikut ujian kelulusan di Atsj," tutur guru Yustinus. Ia menjelaskan bahwa dirinya juga sudah pergi ke rumah-rumah warga dan mendata anak usia sekolah yang akan masuk kelas 1 SD.Â
"Saya sudah data anak-anak kampung yang akan masuk kelas 1 SD. Jumlahnya ada 29 orang," tutur guru Yustinus sambil memperlihatkan daftar nama yang dipegangnya.
Di tengah berbagai tantangan itu, guru Yustinus tetap bersemangat mendidik anak-anak Asmat di kampung Bine. Ia menambahkan bahwa orangtua tidak peduli dengan pendidikan anak-anak. "Kalau di daerah lain, anak tidak ke sekolah, orangtua suruh anak ke sekolah, kalau di Asmat tidak demikian."
Ia menjelaskan bahwa untuk mendidik anak-anak harus terus-menerus memperhatikan anak-anak sejak SD sampai dengan SMA. Apabila guru tidak perhatikan, maka anak-anak akan putus sekolah.Â
"Kalau kita mau anak-anak ini sekolah lanjut, kita harus urus mereka masuk SMP dan SMA. Kalau tamat SD terus kita kasih ijasah dan tidak perhatikan, mereka tidak akan sekolah lanjut. Jadi, saya bawa anak-anak yang mau masuk SMP dan SMA tinggal di saya punya rumah di Agats," tutur guru Yustinus yang tiba di kampung Bine sejak Agustus 1987 ini.
"Selama saya di Bine, saya dan Mama sudah urus sekitar dua puluh anak yang bisa tamat SMP dan SMA. Saat ini, sudah ada satu orang yang sedang kuliah di Makassar," tuturnya.
Ia menambahkan bahwa tahun lalu, dirinya mengurus dua siswanya untuk masuk di SMP Negeri 3 Agats, tetapi kepala sekolah tolak karena kursi dan meja terbatas. "Saya bawa saya punya anak dua orang, tapi ditolak karena kursi meja terbatas sehingga mereka dua sekolah di SMP biasa," jelasnya.