Kisah hilangnya kota seribu papan di Agats merupakan cerminan ketidakadilan sosial di tengah kehidupan orang Asmat. Sebagai pemilik tanah, tuan tanah Asmat, orang Asmat perlu diberdayakan. Orang Asmat diberi ruang dan kesempatan untuk mengelola perekonomiannya. Orang Asmat dibekali dengan keterampilan memadai untuk mengelola ekonomi pasar.
Di sisi lain, orang Asmat sebagai manusia peramu belum menunjukkan kemauan untuk mengelola perekonomiannya secara profesional dan mandiri. Di kota Agats, kita dapat menjumpai orang Asmat menjual ikan segar, kemudian membeli kembali ikan goreng yang dijual oleh ibu-ibu pendatang. Kita menjumpai orang Asmat menjual sagu kepada tengkulak pendatang, kemudian mereka membeli kembali sagu itu, yang sudah dikemas dalam kantong plastik atau sagu bakar yang dijual oleh ibu-ibu pedagang. Kita juga menjumpai, mereka menjual pisang, lalu membeli pisang goreng.
Di Kota Agats, ada credit union Ndar Sesepok yang dikelola oleh Keuskupan Agats. Orang Asmat tidak banyak yang menabung di CU ini. Uang yang diperoleh dari hasil menjual ikan, sayur, kepiting, rajutan noken, langsung dipakai untuk membeli beras, kopi, gula, supermi dan lain sebagainya. Belum ada kemauan dan kesadaran untuk menabung. Kebiasaan menabung untuk masa depan keluarga belum terpikirkan.
Hilangnya papan di jalan-jalan protokol Kota Agats berdampak pada penyakit sosial klasik yakni beredarnya minuman keras (miras) dan prostitusi liar. Saat ini, orang mabuk sangat mudah dijumpai di Kota Agats. "Ada orang dalam di polisi dan tentara yang mengendalikan peredaran miras di Agats. Beberapa waktu lalu, Satpol PP tangkap penjual miras, tetapi karena yang menjual itu keluarganya pejabat di Asmat sehingga tidak bisa bikin apa-apa," tutur Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, Ayub Pakage, pada saat perjalanan menggunakan KM Tatamailau dari Agats ke Merauke, 8 Juli 2017 silam.
Minuman keras telah merusak generasi orang Asmat. Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika, Pastor Linus Dumatubun, Pr mengatakan saat ini orang Asmat suka sekali mengonsumsi miras. "Waktu saya ke kompleks YKPA, saya berpapasan dengan orang mabuk. Syukur mereka masih kenal saya," tuturnya saat memimpin ibadah di Gereja Katolik Syuru pada hari Minggu, 13 Agustus 2017.
Di sisi lain, kota Agats juga diperhadapkan pada prostitusi. Ada rumah sewa (kamar kos) di kota Agats yang dijadikan sebagai tempat transaksi seksual. Di sana perempuan penghibur menerima laki-laki hidung belang. Bukan hanya di rumah sewa, prostitusi juga berlangsung di warung makan. Apabila ada pelanggan yang hendak makan ditawari menu makan biasa atau perempuan penghibur.
Di jalan-jalan protokol di Kota Agats, tampak para penjual pakaian. Di antara tumpukan pakaian, biasanya terdapat koper kecil berisi obat-obat kuat untuk berhubungan seksual. "Mas ini dalam bentuk kopi. Harganya seratus ribu per saset. Banyak pelanggan pakai kopi ini," tutur seorang penjual pakaian pada saat saya berbagi cerita dengannya tentang kehidupan dunia prostitusi di Kota Agats pada pertengahan bulan Juni 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H