Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kota Agats, Hilangnya Kota Seribu Papan dan Segala Permasalahannya

20 Agustus 2017   13:17 Diperbarui: 29 Agustus 2017   13:29 3600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Asmat sedang memegang mainannya berdiri di atas jalan papan yang masih tersisa di salah satu sudut kota Agats, Asmat. (18/8/2017). Dok.Piter

Asmat sangat terkenal sebagai kota ukir. Pengukir Asmat memiliki bakat alamiah. Mereka mengukir tanpa membuat sketsa. Bentuk ukiran yang akan dikerjakan sudah terpatri dalam diri mereka. Motif dan bentuk ukiran yang dikerjakan merupakan simbol relasi manusia Asmat dengan sesama, alam dan leluhur.

Asmat pada umumnya juga terkenal sebagai kota seribu papan. Di setiap perkampungan, penduduk tinggal di atas rumah panggung. Infrastruktur jalan dan jembatan pun menggunakan papan. Tahun 2011, pertama kali saya tiba di Agats, saya masih menjumpai jalan-jalan di Kota Agats menggunakan papan. Jalan komposit hanya ada di depan kantor Keuskupan Agats. Kini, hampir seluruh jalan utama di Kota Agats dicor beton.

Julukan Asmat sebagai kota seribu papan ke depan akan tinggal kenangan. Generasi Asmat mendatang akan mendengar kisah sembari melihat foto-foto Asmat zaman dulu, tatkala orang-orang Asmat berjalan di atas papan.

Peralihan infrastruktur jalan dari jembatan kayu besi ke jalan komposit berdampak positif bagi kelangsungan keberadaan kayu besi di Asmat. Tetapi, di sisi lain, biaya pembangunan jalan komposit sangat mahal karena mendatangkan pasir, kerikil dan semen dari luar Asmat. Dana rakyat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur jalan. Siapakah yang menikmati jalan komposit ini? Entah! Yang pasti, orang Asmat kurang mendapatkan perhatian di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Anak-anak Asmat tidak mendapatkan asupan gizi, tidak bisa bersekolah. Perempuan Asmat yang sedang mengandung generasi Asmat terlantar, menderita gizi buruk. Ekonomi orang Asmat terpuruk. Orang Asmat hanya menjadi penikmat produk instan: beras, kopi, gula, rokok dan lain sejenisnya yang dijual di kios dan toko milik orang pendatang.

Jalan komposit di Kota Agats serentak pula mengundang hadirnya transportasi instan yaitu motor listrik. Di sepanjang jalan protokol Kota Agats motor listrik lalu lalang. Sebagian besar pemilik motor listrik adalah para pedagang Bugis, Buton, Makasar, para pegawai negeri, polisi, tentara dan pengusaha. Anak-anak sekolah juga menggunakan motor listrik saat berangkat ke sekolah.

Selain motor listrik, kehadiran jalan komposit di Kota Agats berdampak pada maraknya toko, kios dan warung milik pendatang. Di sepanjang jalan protokol berdiri rumah toko (ruko) yang menjual berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Di antara deretan toko itu, tidak ada satu pun milik orang Asmat atau orang Papua lainnya. Semua milik kaum pendatang.

Hilangnya jalan papan di Kota Agats berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi dan budaya orang Asmat. Pada tataran permukaan relasi kaum pendatang dan orang Asmat berjalan normal dan aman. Jarang terjadi gesekan (pertengkaran), kecuali ada beberapa orang mabuk yang sering membuat ulah, tetapi tidak menimbulkan kericuhan.

Di bawah alam sadar, kehadiran orang pendatang yang mengusai semua aspek kehidupan sosial dan ekonomi orang Asmat rentan terhadap gesekan sosial. Orang Asmat melarat di atas tanahnya. Sementara, orang pendatang dengan keuletan, keahlian dan ketekunan yang dimiliki hidup berlimpah harta kekayaan. Situasi semacam ini bisa memantik konflik sosial.

Mengapa tidak ada satu pun orang Asmat memiliki toko atau kios di Kota Agats? Sejauh ini, belum ada peraturan daerah yang mengatur dan melindungi perekonomian orang Asmat. Sistem pasar masih didominasi kaum pendatang. Orang Asmat, terutama kaum perempuan sekadar menjual ikan, kepiting, sayur dan rajutan noken. Selebihnya, dikuasai oleh kaum pendatang.

Di sisi lain, laki-laki Asmat dimanfaatkan tenaganya oleh para pengusaha pendatang untuk mendorong gerobak bermuatan barang-barang dari Pelabuhan Agats ke toko atau kios di Agats.

Jalan cor beton (komposit) di salah satu sudut kota Agats, pelabuhan Agats. (14/8/2017). Dok.Piter.
Jalan cor beton (komposit) di salah satu sudut kota Agats, pelabuhan Agats. (14/8/2017). Dok.Piter.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan komposit di Kota Agats atau bangunan fasilitas pemerintah yang dikerjakan kontraktor, semua menggunakan tenaga orang pendatang. Laki-laki Asmat sekedar mendorong gerobak berisi kayu, kerikil atau pasir. Pekerjaan lain dilakukan oleh orang pendatang.

Situasi semacam ini lumrah terjadi dan dijumpai di Kota Agats. Orang Asmat dikesampingkan dalam proses pembangunan di tanahnya sendiri. Mereka terempas sampai ke dasar sungai berlumpur. Mereka tidak berdaya menghadapi arus pembangunan yang tidak berpihak pada kehidupan mereka sebagai pemilik tanah Asmat. Dalam situasi semacam ini, peluang terjadinya gesekan dan konflik horizontal terbuka lebar. Karena itu, pemerintah perlu memperhatikan kesenjangan sosial ini dan bertindak cerdas dengan membuat peraturan untuk memproteksi kehidupan ekonomi orang Asmat.

Kisah hilangnya kota seribu papan di Agats merupakan cerminan ketidakadilan sosial di tengah kehidupan orang Asmat. Sebagai pemilik tanah, tuan tanah Asmat, orang Asmat perlu diberdayakan. Orang Asmat diberi ruang dan kesempatan untuk mengelola perekonomiannya. Orang Asmat dibekali dengan keterampilan memadai untuk mengelola ekonomi pasar.

Di sisi lain, orang Asmat sebagai manusia peramu belum menunjukkan kemauan untuk mengelola perekonomiannya secara profesional dan mandiri. Di kota Agats, kita dapat menjumpai orang Asmat menjual ikan segar, kemudian membeli kembali ikan goreng yang dijual oleh ibu-ibu pendatang. Kita menjumpai orang Asmat menjual sagu kepada tengkulak pendatang, kemudian mereka membeli kembali sagu itu, yang sudah dikemas dalam kantong plastik atau sagu bakar yang dijual oleh ibu-ibu pedagang. Kita juga menjumpai, mereka menjual pisang, lalu membeli pisang goreng.

Di Kota Agats, ada credit union Ndar Sesepok yang dikelola oleh Keuskupan Agats. Orang Asmat tidak banyak yang menabung di CU ini. Uang yang diperoleh dari hasil menjual ikan, sayur, kepiting, rajutan noken, langsung dipakai untuk membeli beras, kopi, gula, supermi dan lain sebagainya. Belum ada kemauan dan kesadaran untuk menabung. Kebiasaan menabung untuk masa depan keluarga belum terpikirkan.

Hilangnya papan di jalan-jalan protokol Kota Agats berdampak pada penyakit sosial klasik yakni beredarnya minuman keras (miras) dan prostitusi liar. Saat ini, orang mabuk sangat mudah dijumpai di Kota Agats. "Ada orang dalam di polisi dan tentara yang mengendalikan peredaran miras di Agats. Beberapa waktu lalu, Satpol PP tangkap penjual miras, tetapi karena yang menjual itu keluarganya pejabat di Asmat sehingga tidak bisa bikin apa-apa," tutur Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, Ayub Pakage, pada saat perjalanan menggunakan KM Tatamailau dari Agats ke Merauke, 8 Juli 2017 silam.

Minuman keras telah merusak generasi orang Asmat. Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika, Pastor Linus Dumatubun, Pr mengatakan saat ini orang Asmat suka sekali mengonsumsi miras. "Waktu saya ke kompleks YKPA, saya berpapasan dengan orang mabuk. Syukur mereka masih kenal saya," tuturnya saat memimpin ibadah di Gereja Katolik Syuru pada hari Minggu, 13 Agustus 2017.

Di sisi lain, kota Agats juga diperhadapkan pada prostitusi. Ada rumah sewa (kamar kos) di kota Agats yang dijadikan sebagai tempat transaksi seksual. Di sana perempuan penghibur menerima laki-laki hidung belang. Bukan hanya di rumah sewa, prostitusi juga berlangsung di warung makan. Apabila ada pelanggan yang hendak makan ditawari menu makan biasa atau perempuan penghibur.

Di jalan-jalan protokol di Kota Agats, tampak para penjual pakaian. Di antara tumpukan pakaian, biasanya terdapat koper kecil berisi obat-obat kuat untuk berhubungan seksual. "Mas ini dalam bentuk kopi. Harganya seratus ribu per saset. Banyak pelanggan pakai kopi ini," tutur seorang penjual pakaian pada saat saya berbagi cerita dengannya tentang kehidupan dunia prostitusi di Kota Agats pada pertengahan bulan Juni 2017.

Salah satu siswa SMP Negeri 2 Agats saat melintasi jalan beton (komposit) di kampung Syuru, kota Agats. (8/8/2017). Dok. Piter.
Salah satu siswa SMP Negeri 2 Agats saat melintasi jalan beton (komposit) di kampung Syuru, kota Agats. (8/8/2017). Dok. Piter.
Kota Agats, kota seribu papan berubah. Jalan papan telah tiada. Kini, jalan beton (komposit) menghiasi wajah Kota Agats disertai sejuta permasalahan ekonomi, sosial dan budaya. Geliat pembangunan menggerus tatanan budaya warisan leluhur orang Asmat. Melubernya kaum pendatang menjadikan orang Asmat terempas di atas tanah leluhurnya. Kini, orang Asmat menjadi budak di rumahnya sendiri. Mereka dikuasai oleh orang pendatang yang mengendalikan ekonomi di tanah Asmat. (Agats, 17 Agustus 2017; pukul 12.48 WIT)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun