Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sagu Bola, Kisah di Gubuk Orang Asmat

20 Agustus 2017   11:59 Diperbarui: 20 Agustus 2017   19:09 1749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore menjelang malam. Cuaca di kota Agats cerah. Sebelumnya, sejak pagi hujan mengguyur kota Agats. Suasana jalan sepi. Tidak banyak motor yang lalu lalang. Di Jl. Nusantara, area pembuangan akhir sampah, tampak anak-anak berlari ke sana ke mari. Mereka sedang bermain di atas jalan papan yang masih tersisa di kota Agats. Itulah kondisi kota Agats pada Jumat, (18/8), sehari setelah perayaan kemerdekaan Indonesia ke-72.

"Pa guru datang...pa guru datang," teriak beberapa anak ke arah saya yang sedang mengayuh sepeda. "Pa guru ko mau bikin?" tanya beberapa anak saat saya tiba di ujung jembatan, tepat di area pembuangan sampah.

"Saya mau bermain dengan kamu. Terus, nanti kita belajar sama-sama." "Iya pa guru," jawab mereka serentak. Lalu, kami berfoto bersama-sama. Salah satu anak yang lebih besar memegang HP saya dan memotret kami.

"Sekarang pa guru mau ke kaka Jok punya rumah. Nanti besok baru kita belajar sama-sama," tuturku. Kemudian, saya berlalu meninggalkan mereka. Saya pergi ke pondok-pondok kumuh yang berdiri tepat di area pembuangan sampah itu.

Jalan masuk ke gubuk-gubuk itu sangat sederhana. Tiang kecil dialas dengan papan yang tidak lebar. Saat berjalan mesti menjaga keseimbangan tubuh. Apabila tubuh tidak seimbang bisa jatuh ke dalam lumpur. Saya melewati jalan itu. "Pa guru, hati-hati, nanti jatuh," pesan seorang Mama yang berdiri di ujung jalan masuk itu. Mama ini baru pulang mencari kayu bakar.

Saat tiba di area perumahan itu, beberapa ibu menyapa, "Selamat sore pa guru." Sejenak saya berdiri memandangi gubuk-gubuk kumuh milik orang Asmat yang berasal dari kampung Sawa. Di sekeliling gubuk-gubuk itu tampak kumuh. Sampah bertebaran. Bau tak sedap menyengat. Di beberapa gubuk beratapkan terpal dan berdindingkan karung bekas itu, berkibar bendera merah putih.

Bendera Merah Putih itu tak seindah kondisi hidup orang Asmat di gubuk-gubuk sederhana ini. Orang Asmat-juga orang Papua lainnya-dipaksa mencintai Indonesia, tetapi mereka ditelantarkan. Mereka hanya menjadi pelengkap seperti lagu dari Sabang Sampai Merauke. Selebihnya mereka menderita karena kekerasan aparat keamanan (polisi, tentara), gizi buruk, HIV-AIDS, malaria, tidak bisa bersekolah, hutan rusak dan lain sejenisnya.

2-kaka-jok-sedang-mengukir-panel-cenderawasih-jpg-5999158a8d6c9929727a9ab2.jpg
2-kaka-jok-sedang-mengukir-panel-cenderawasih-jpg-5999158a8d6c9929727a9ab2.jpg
Saya masuk ke rumah kaka Jok. Lelaki berbadan kurus. Dia ahli mengukir. Ukirannya sangat rapi. Saat itu, dia sedang mengukir panel Cenderawasih yang saya pesan. "Pa guru, ini belum selesai. Kemarin saya ke lapangan lihat orang upacara 17 Agustus," tuturnya sambil memahat panel di hadapannya.

"Pa guru, ko mau makan sagu bola kah?" tanya kaka Jok. "Ya, saya mau makan," jawabku singkat. Kaka Jok menyuruh istrinya membakar sagu bola. Sambil menggendong anaknya, ia membelah kayu bakar dan memasang api di tungku. Ia mengambil segenggam sagu, lalu mencampurnya dengan sedikit air, kemudian membentuknya menjadi bulat seperti bola. Selanjutnya, sagu berbentuk bola itu diletakkan di atas tungku api yang menyala. Tidak lama sesudah itu, ia mengangkatnya. Ia membersihkan abu yang lengket di sagu itu dan menghidangkannya kepada saya. "Pa guru, ko makan sagu ini," ajak istri kaka Jok.

Saya mengambil sagu itu dan menyantapnya. Saya makan perlahan sambil bercerita. "Kaka, sagu enak sekali ya," pujiku pada istri kaka Jok. "Ya, sagu itu kami punya makanan, bukan beras," sahut kaka Jok sambil terus mengukir.

Saya menikmati sagu bola itu sampai habis. Tidak ada teh. Tidak ada kopi. Tidak ada air putih. Saya menahan haus.

Sejak ditawarkan makan sagu oleh kaka Jok, terlintas dalam benak saya, "Kalau saya menerima tawaran kaka Jok, berarti saya telah mengurangi jatah makan mereka. Kalau saya tidak menerima, rasanya saya orang lain, bukan bagian dari hidup mereka." Akhirnya saya menerima tawaran kaka Jok. Saya makan sagu bola.

Saat pertama kali menerima sagu dari tangan istri kaka Jok, saya benar-benar terharu. Perempuan sederhana, masih belia. Ia memiliki dua anak yang lahir berdekatan. Anak pertama 1,5 tahun dan anak kedua berusia 6 bulan. Jarak kelahiran keduanya sangat dekat. Istri kaka Jok bekerja keras mencari kayu bakar dan menyiapkan makan. Ia juga merawat kedua anaknya.

Kaka Jok mengukir. Ia menjual ukiran panel antara 100-200 ribu. Sering kali kalau tidak ada sagu di rumah, ia menjual murah sampai 50 ribu per panel.

Di tengah kesulitan hidup itu, mereka memberi saya makan sagu. Mereka memberi dari segala kekurangan dan dengan tulus ikhlas. Mereka menerima saya seperti keluarga mereka sendiri. Saya merasakan kehangatan cinta itu.

Pada saat makan sagu bola pemberian keluarga kaka Jok, terlintas dalam benak saya kehidupan orang-orang di luar sana yang berkelimpahan. Mengapa orang-orang yang diberkati dengan harta, kekayaan, jabatan sulit berbagi kepada orang-orang sederhana? Andai saja setiap orang yang menerima berkat, menyalurkannya kepada sesama, tentu kemiskinan tak melanda umat manusia.  Orang miskin menjadi tak berdaya karena sesamanya yang diberkati tidak mau berbagi atau memberkati. Orang menerima berkat, lalu menyimpannya untuk dirinya sendiri.

Saat ini saya tinggal di Agats, Asmat. Setiap hari saya berpapasan dengan anak-anak Asmat yang kekurangan gizi dan tidak bersekolah. Saya berjumpa dengan ibu hamil yang kekurangan gizi. Saya berjumpa dengan orang Asmat yang hidup di gubuk-gubuk sederhana. Pada saat bersamaan, saya juga berjumpa dengan para pejabat yang memiliki rumah bagus, motor dan berbagai fasilitas lainnya. Suasana kontras, antara orang Asmat yang miskin dan para pejabat yang kaya menghiasi wajah kota Agats.

Dalam situasi seperti ini, saya menghayati bahwa kehadiran saya di tanah Asmat merupakan kehendak Tuhan. Dia mengirim saya ke tanah Asmat untuk menyapa dan berbagi dengan orang Asmat, khususnya mereka yang tinggal di Distrik Agats: 12 kampung, 10 SD dan Puskesmas-Pustu. Untuk merekalah Tuhan mengirim saya. Karena itu, ada bersama mereka merupakan suatu kegembiraan besar.

Pengalaman di gubuk tua kaka Jok semakin menguatkan saya untuk menyapa dan melayani sesama, terutama orang Asmat. Saat berbincang dengan rekan sekerja, Sdr. Hendra, saya selalu berujar, "Kita dikirim Tuhan untuk melayani orang Asmat dalam proses pendampingan ini. Kita mesti bekerja sungguh-sungguh dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan, sesama, alam dan leluhur orang Asmat. Untuk orang Asmatlah kita datang ke tanah Asmat."

Saya berdiri bersama dua laki-laki Asmat di salah satu sudut gubuk di Jl. Nusantara, area pembuangan sampah, kota Agats. (18/8/2017). Dok.Piter
Saya berdiri bersama dua laki-laki Asmat di salah satu sudut gubuk di Jl. Nusantara, area pembuangan sampah, kota Agats. (18/8/2017). Dok.Piter
Gubuk tua kaka Jok dan juga gubuk-gubuk lainnya milik orang Sawa di Jl. Nusantara, area pembuangan sampah, Agats mengisahkan ketidakadilan sosial. Di gubuk-gubuk tua ini tinggal perempuan hamil, anak-anak balita, anak-anak usia sekolah yang tidak memiliki akses ke sekolah. Situasinya sangat menyedihkan. Sayangnya, tidak banyak orang mengarahkan pandangan ke tempat ini. Orang-orang beriman lebih suka ke rumah ibadah. Di sana, mereka berdoa dan menyembah sang Pencipta, sambil memunggungi orang-orang miskin. Padahal, sang Guru berkata, "Apa yang Anda lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, Anda melakukannya untuk Aku."

Dalam kehidupan sehari-hari, orang lebih mudah pergi ke rumah ibadah dan berdoa. Orang lebih suka menyumbang dana untuk pembangunan monumen dan rumah ibadah. Orang lebih mudah menyalami orang kaya, pengusaha dan pejabat. Orang lebih mudah pergi ke restoran dan mall. Orang sulit sekali menyapa kaum papah dan berkekurangan. Orang sulit sekali menyisihkan sedikit penghasilannya untuk orang-orang miskin.

 Pengalaman di gubuk tua kaka Jok mengingatkan kita semua untuk berbagi. Kita dipanggil untuk memberikan diri bagi sesama. Kita dipanggil untuk memberkati sesama. Artinya, kita mesti peduli pada sesama yang berkekurangan: kaum papah, orang miskin dan orang berkebutuhan khusus lainnya. Kitalah yang bertugas memperhatikan mereka. Tuhan sendiri akan menolong kita. Apakah kita siap untuk tugas tersebut?

Di gubuk tua kaka Jok, sebongkah sagu menjadi bola. Ia dibentuk oleh tangan sederhana perempuan Asmat. Di atas tungku bercampur debu, sagu bola itu masak. Saya menyantapnya. Saya belajar tentang pemberian diri. Itulah makna hidup kita sebenarnya: "memberikan diri bagi sesama." (Agats, 19 Agustus 2017; pukul 20.45 WIT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun