Sejak ditawarkan makan sagu oleh kaka Jok, terlintas dalam benak saya, "Kalau saya menerima tawaran kaka Jok, berarti saya telah mengurangi jatah makan mereka. Kalau saya tidak menerima, rasanya saya orang lain, bukan bagian dari hidup mereka." Akhirnya saya menerima tawaran kaka Jok. Saya makan sagu bola.
Saat pertama kali menerima sagu dari tangan istri kaka Jok, saya benar-benar terharu. Perempuan sederhana, masih belia. Ia memiliki dua anak yang lahir berdekatan. Anak pertama 1,5 tahun dan anak kedua berusia 6 bulan. Jarak kelahiran keduanya sangat dekat. Istri kaka Jok bekerja keras mencari kayu bakar dan menyiapkan makan. Ia juga merawat kedua anaknya.
Kaka Jok mengukir. Ia menjual ukiran panel antara 100-200 ribu. Sering kali kalau tidak ada sagu di rumah, ia menjual murah sampai 50 ribu per panel.
Di tengah kesulitan hidup itu, mereka memberi saya makan sagu. Mereka memberi dari segala kekurangan dan dengan tulus ikhlas. Mereka menerima saya seperti keluarga mereka sendiri. Saya merasakan kehangatan cinta itu.
Pada saat makan sagu bola pemberian keluarga kaka Jok, terlintas dalam benak saya kehidupan orang-orang di luar sana yang berkelimpahan. Mengapa orang-orang yang diberkati dengan harta, kekayaan, jabatan sulit berbagi kepada orang-orang sederhana? Andai saja setiap orang yang menerima berkat, menyalurkannya kepada sesama, tentu kemiskinan tak melanda umat manusia. Â Orang miskin menjadi tak berdaya karena sesamanya yang diberkati tidak mau berbagi atau memberkati. Orang menerima berkat, lalu menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Saat ini saya tinggal di Agats, Asmat. Setiap hari saya berpapasan dengan anak-anak Asmat yang kekurangan gizi dan tidak bersekolah. Saya berjumpa dengan ibu hamil yang kekurangan gizi. Saya berjumpa dengan orang Asmat yang hidup di gubuk-gubuk sederhana. Pada saat bersamaan, saya juga berjumpa dengan para pejabat yang memiliki rumah bagus, motor dan berbagai fasilitas lainnya. Suasana kontras, antara orang Asmat yang miskin dan para pejabat yang kaya menghiasi wajah kota Agats.
Dalam situasi seperti ini, saya menghayati bahwa kehadiran saya di tanah Asmat merupakan kehendak Tuhan. Dia mengirim saya ke tanah Asmat untuk menyapa dan berbagi dengan orang Asmat, khususnya mereka yang tinggal di Distrik Agats: 12 kampung, 10 SD dan Puskesmas-Pustu. Untuk merekalah Tuhan mengirim saya. Karena itu, ada bersama mereka merupakan suatu kegembiraan besar.
Pengalaman di gubuk tua kaka Jok semakin menguatkan saya untuk menyapa dan melayani sesama, terutama orang Asmat. Saat berbincang dengan rekan sekerja, Sdr. Hendra, saya selalu berujar, "Kita dikirim Tuhan untuk melayani orang Asmat dalam proses pendampingan ini. Kita mesti bekerja sungguh-sungguh dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan, sesama, alam dan leluhur orang Asmat. Untuk orang Asmatlah kita datang ke tanah Asmat."
Dalam kehidupan sehari-hari, orang lebih mudah pergi ke rumah ibadah dan berdoa. Orang lebih suka menyumbang dana untuk pembangunan monumen dan rumah ibadah. Orang lebih mudah menyalami orang kaya, pengusaha dan pejabat. Orang lebih mudah pergi ke restoran dan mall. Orang sulit sekali menyapa kaum papah dan berkekurangan. Orang sulit sekali menyisihkan sedikit penghasilannya untuk orang-orang miskin.
 Pengalaman di gubuk tua kaka Jok mengingatkan kita semua untuk berbagi. Kita dipanggil untuk memberikan diri bagi sesama. Kita dipanggil untuk memberkati sesama. Artinya, kita mesti peduli pada sesama yang berkekurangan: kaum papah, orang miskin dan orang berkebutuhan khusus lainnya. Kitalah yang bertugas memperhatikan mereka. Tuhan sendiri akan menolong kita. Apakah kita siap untuk tugas tersebut?