Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta Setengah (di) KM Tatamailau

4 Juli 2017   10:29 Diperbarui: 4 Juli 2017   10:43 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia menyediakan ruang untuk berkisah. Kisah itu bisa dialami melalui perjumpaan yang paling sederhana. Kisah tentang hidup, kini dan ke depan. Di balik kisah perjumpaan itu, tersirat makna yang memberikan daya untuk setia pada pilihan hidup dan karya yang dijalani. Semua itu tergantung pada daya refleksi masing-masing pribadi yang memiliki kisah itu.

Cuaca di kota Merauke cerah. Saya melangkahkan kaki menuju pelabuhan Merauke. Sesuai jadwal di tiket, KM Tatamailau, akan berangkat pada pukul 15.00 WIT. Ponakan saya, Paskalis mengantar saya ke pelabuhan. Sampai di sana, kapal belum sandar. Informasi yang diperoleh, kapal masih di muara, karena air masih surut. Bersama ponakan, kami menunggu di ruang tunggu. Itulah serpihan kisah hari ini, Jumat, 30 Juni 2017.

Ruang tunggu itu merupakan sebuah bangunan berukuran cukup besar. Bisa menampung ratusan penumpang yang hendak berangkat menggunakan kapal. "Om kalau musim liburan Natal, ruang ini penuh sesak," tutur ponakan saya. Ia bercerita berdasarkan pengalamannya tahun lalu saat mengantar omnya, Hendrik yang hendak berangkat ke Tual.  

Di ruang ini ada kamar pelayanan kesehatan. Tampak di depan bangunan itu, sebuah ambulance. Ruang ini dilengkapi televisi. WC dan kamar mandir berfungsi baik. Sayangnya, tempat duduk terbatas, sehingga sebagian besar penumpang tidak duduk di kursi. Mereka duduk di lantai tehel sambil bercerita satu sama lain. Saya dan ponakan duduk di lantai karena pada saat kami masuk, penumpang sudah banyak di dalam ruangan itu.

Pukul 17.00 WIT, stom kedatangan KM Tatamailau memecah kesunyian senja pelabuhan Merauke. Para penumpang berbondong-bondong menuju pintu ke pelabuhan, tempat kapal bersandar. Di kejauhan, tampak tangga telah diturunkan. Para penumpang pun bergegas turun. Di sini, kami mengantri di depan pintu menuju kapal.

Tidak lama menunggu, pintu pagar dibuka. Pintu itu sempit. Para penumpang saling berebut keluar. Satu persatu berjalan menuju kapal. Dari arah berlawanan para penumpang yang baru tiba berjalan meninggalkan pelabuhan. Para polisi mengatur penumpang untuk berjalan sesuai arah, datang dan pergi. Polisi kalah jumlahnya, ditambah tanpa alat pengeras suara sehingga para penumpang berjalan seenaknya.

Peristiwa menyedihkan terjadi di depan tangga naik ke kapal. Saya menyaksikan, manusia puluhan manusia berebut naik ke tangga kapal. Persis di depan saya ada beberapa anak kecil. Saya berusaha menghentikan langkah sambil menahan agar orang di belakang saya tidak serobot naik ke tangga. Dua orang polisi yang berdiri di dekat tangga membantu melerai kerumunan manusia di tangga ini. Beberapa anak kecil itu, bisa melangkah bebas bersama orang tuanya ke kapal.

Pukul 18.00 WIT, saya dan ponakan sudah berada di dalam kapal. Saya beli tiket ekonomi, seharga 223.000 sehingga kami mencari ruang di dek 3. Tidak sulit menemukan tempat tidur kosong karena Merauke merupakan pelabuhan terakhir. Penumpang ke Agats, Tual dan daerah lain tidak banyak. Di salah satu tempat tidur di dek 3 bagian depan inilah saya tidur.

Setelah mendapat tempat tidur, Paskalis berujar, "Om, bagaimana ya WC dan kamar mandinya?" Dia bergegas menuju WC dan kamar mandi. Tidak lama kemudian dia kembali dan berujar, "Om, parah." Begitulah kondisi KM Tatamailau, kapal tua yang fasilitasnya terbatas dan kondisinya hampir tidak layak digunakan. Ruangannya pengap, panas dan beraroma tidak sedap. Di dinding kapal bagian dalam, tampak kecoak berkeliaran.

Pukul 18.30 WIT, stom diikuti pemberitahuan bahwa kapal akan segera berangkat ke Agats. Paskalis segera meninggalkan kapal. Saya mengantarnya ke pintu keluar. Di sana, manusia berebutan turun.

Pukul 19.00 WIT, stom kembali berbunyi. Jangkar telah diangkat. Tali tambat di pelabuhan telah dilepas. KM Tatamailau  bertolak ke Agats. Di salah satu tempat tidur di dek 3, saya duduk sendirian. Saya 'menikmati' pengap, panas, aroma tak sedap. Saya tidak sendirian, di samping kiri, ada seorang ibu bersama empat enak. Di bagian depan ada seorang ibu bersama dua anaknya yang masih balita. Di bagian belakang ada seorang Bapak bersama istrinya. Kami bersama satu lorong.

Kondisi cuaca kurang bersahabat. Ombak besar. KM Tatamailau terombang-ambing menahan ganasnya gelombang laut Arafura. Ibu yang tidur di bagian depan saya, muntah berulang kali. Setiap kali muntah, ia berujar, "Cepat sampai kah...!" Saya menahan aroma tak sedap. Beberapa kali saya mengarahkan kepala ke tempat lain supaya tidak langsung menghirup udara bekas muntahannya itu.

Si ibu memiliki dua anak yang lucu. Mereka berlari ke sana ke mari tanpa tahu pada ibu mereka yang sedang menderita karena mabuk laut. Tidak jarang si ibu menegur kedua anaknya supaya diam dan jangan berlari.

Suasana di dalam KM Tatamailau terasa kurang nyaman. Beberapa kali saya keluar menatap malam. Di langit sana tidak ada bintang. Gelap. Di lorong-lorong kapal itu, tampak beberapa orang berdiri. Mereka berbagi cerita. Di lorong lain, beberapa orang duduk di atas tikar sambil bermain kartu.

Suasana batin terasa lega pada saat KM Tatamailau membunyikan stom, tanda tiba di pelabuhan Agats. Waktu menunjukkan pukul 05.10 WIT. Saya bergegas mengangkat tas dan pergi ke tangga turun. Di sana, sudah berjejer penumpang yang akan turun. Walaupun sudah menunggu lama di depan tangga, saya memilih bersabar sampai sebagian besar penumpang turun, barulah saya pun turun.

Pagi ini, cuaca di kota Agats mendung. Meskipun sudah pukul lima lewat, tetapi masih tampak gelap. Di pelabuhan Agats, saya berpapasan dengan seorang pengojek yang saya kenal. "Kaka, ojek kah?" tanyanya. Dia langsung mengangkat tas menuju motornya. Dia mengantar saya sampai di tempat saya tinggal, Jl. Dendeuw. Saya membayarnya 60.000.

Setengah Cinta

Kisah perjalanan dari Merauke ke Agats, Asmat mengingatkan kita-minimal saya- tentang cinta. Bagaimana (cara) kita menyatakan (mewujudkan) cinta kepada sesama? Bagaimana kita melayani sesama dengan cinta yang besar? Bagaimana kita memperlakukan sesama? Mengapa kita suka sekali mendahului, mau mengambil tempat terdepan dan mengabaikan sesama, terutama mereka yang paling rentan?

Di pintu keberangkatan menuju kapal dan di tangga naik ke kapal, orang (manusia) saling berebutan. Di tempat itu, manusia saling mengabaikan sesama. "Pokoknya, saya sampai terlebih dahulu di kapal. Di sana, saya mau pilih tempat yang paling aman buat saya dan keluarga." Saya berimajinasi seperti itu. Semoga tidak keliru.

Mengapa orang (manusia) tidak mempersilakan sesamanya untuk mendahului dirinya sesuai antrian yang ada? Mengapa manusia mengabaikan sesamanya? Ironisnya, yang diabaikan adalah anak-anak kecil. Kepada siapakah mereka akan mengharapkan perlindungan, jika orang tua (orang yang lebih dewasa) mengabaikan mereka?

Kejadian baku rebut tempat tidak hanya di kapal. Di pintu masuk bandara. Di pintu ke dalam pesawat. Bahkan di berbagai pesta, yang menghidangkan makan, orang berebut menjadi yang terdahulu.

Menyaksikan perilaku baku rebut semacam ini, kita perlu mempertanyakan kembali hakikat eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Apakah benar kita adalah makhluk sosial yang mengakui kesalingbergantungan kita? Kalau kita saling berpaut satu sama lain, mengapa kita saling mengabaikan? Inilah realitas nafsu menguasai yang ada pada diri manusia. Sebagai pribadi-pribadi yang terpanggil untuk berkarya di area perubahan sosial, kita perlu menata hidup kita agar menjadi pribadi yang mau mendahulukan sesama.

Pengalaman mulai dari ruang tunggu di pelabuhan Merauke, berdesakan ke kapal, di dalam kapal, sampai turun dari kapal mengingatkan saya pada ketidakikhlasan manusia untuk saling mencintai. Manusia saling berlomba untuk menjadi yang terdepan dengan mengabaikan sesamanya. Manusia tidak peduli lagi pada sesamanya.

Situasi semacam ini juga dapat dijumpai di dalam keluarga, lingkungan kerja, dan di tengah masyarakat kita. Kita patut berefleksi, "Apakah selama ini, saya mau menjadi yang terdepan dengan mengorbankan sesama? Apakah selama ini, saya sudah mendahulukan sesama ketimbang diri saya sendiri? Apakah selama ini saya sudah mencintai sesama: suami, istri, anak-anak, rekan kerja, dengan sepuh hati atau saya mempraktekkan sikap "cinta setengah" pada mereka?

Kisahkanlah "cinta penuh" pada sesama. Suatu cinta yang lahir dari ketulusan memberi dan mendahulukan sesama ketimbang diri kita sendiri. Suatu cinta yang tidak mengharapkan balasannya. Perhatikanlah sesama, terutama kaum paling rentan, orang miskin, kaum papah, anak gelandangan, para pengemis. Cinta kita mengalami kepenuhan, "cinta penuh" pada saat berbagi dengan mereka. Di sudut-sudut tempat kita tinggal, di pasar, di lorong-lorong kumuh,  di sanalah mereka menanti "cinta penuh" kita.

Dari "KM Tatamailau, panas dan pengap" itu, kita arahkan pikiran, hati dan budi kita kepada mereka: kaum paling rentan, miskin dan menderita. Kepada merekalah kita berikan "cinta penuh" bukan " cinta setengah".

Salam Perubahan. (Agats, 2 Juli2017, pukul 18.46 WIT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun