Pengalaman mulai dari ruang tunggu di pelabuhan Merauke, berdesakan ke kapal, di dalam kapal, sampai turun dari kapal mengingatkan saya pada ketidakikhlasan manusia untuk saling mencintai. Manusia saling berlomba untuk menjadi yang terdepan dengan mengabaikan sesamanya. Manusia tidak peduli lagi pada sesamanya.
Situasi semacam ini juga dapat dijumpai di dalam keluarga, lingkungan kerja, dan di tengah masyarakat kita. Kita patut berefleksi, "Apakah selama ini, saya mau menjadi yang terdepan dengan mengorbankan sesama? Apakah selama ini, saya sudah mendahulukan sesama ketimbang diri saya sendiri? Apakah selama ini saya sudah mencintai sesama: suami, istri, anak-anak, rekan kerja, dengan sepuh hati atau saya mempraktekkan sikap "cinta setengah" pada mereka?
Kisahkanlah "cinta penuh" pada sesama. Suatu cinta yang lahir dari ketulusan memberi dan mendahulukan sesama ketimbang diri kita sendiri. Suatu cinta yang tidak mengharapkan balasannya. Perhatikanlah sesama, terutama kaum paling rentan, orang miskin, kaum papah, anak gelandangan, para pengemis. Cinta kita mengalami kepenuhan, "cinta penuh" pada saat berbagi dengan mereka. Di sudut-sudut tempat kita tinggal, di pasar, di lorong-lorong kumuh, Â di sanalah mereka menanti "cinta penuh" kita.
Dari "KM Tatamailau, panas dan pengap" itu, kita arahkan pikiran, hati dan budi kita kepada mereka: kaum paling rentan, miskin dan menderita. Kepada merekalah kita berikan "cinta penuh" bukan " cinta setengah".
Salam Perubahan. (Agats, 2 Juli2017, pukul 18.46 WIT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H