Kondisi cuaca kurang bersahabat. Ombak besar. KM Tatamailau terombang-ambing menahan ganasnya gelombang laut Arafura. Ibu yang tidur di bagian depan saya, muntah berulang kali. Setiap kali muntah, ia berujar, "Cepat sampai kah...!" Saya menahan aroma tak sedap. Beberapa kali saya mengarahkan kepala ke tempat lain supaya tidak langsung menghirup udara bekas muntahannya itu.
Si ibu memiliki dua anak yang lucu. Mereka berlari ke sana ke mari tanpa tahu pada ibu mereka yang sedang menderita karena mabuk laut. Tidak jarang si ibu menegur kedua anaknya supaya diam dan jangan berlari.
Suasana di dalam KM Tatamailau terasa kurang nyaman. Beberapa kali saya keluar menatap malam. Di langit sana tidak ada bintang. Gelap. Di lorong-lorong kapal itu, tampak beberapa orang berdiri. Mereka berbagi cerita. Di lorong lain, beberapa orang duduk di atas tikar sambil bermain kartu.
Suasana batin terasa lega pada saat KM Tatamailau membunyikan stom, tanda tiba di pelabuhan Agats. Waktu menunjukkan pukul 05.10 WIT. Saya bergegas mengangkat tas dan pergi ke tangga turun. Di sana, sudah berjejer penumpang yang akan turun. Walaupun sudah menunggu lama di depan tangga, saya memilih bersabar sampai sebagian besar penumpang turun, barulah saya pun turun.
Pagi ini, cuaca di kota Agats mendung. Meskipun sudah pukul lima lewat, tetapi masih tampak gelap. Di pelabuhan Agats, saya berpapasan dengan seorang pengojek yang saya kenal. "Kaka, ojek kah?" tanyanya. Dia langsung mengangkat tas menuju motornya. Dia mengantar saya sampai di tempat saya tinggal, Jl. Dendeuw. Saya membayarnya 60.000.
Setengah Cinta
Kisah perjalanan dari Merauke ke Agats, Asmat mengingatkan kita-minimal saya- tentang cinta. Bagaimana (cara) kita menyatakan (mewujudkan) cinta kepada sesama? Bagaimana kita melayani sesama dengan cinta yang besar? Bagaimana kita memperlakukan sesama? Mengapa kita suka sekali mendahului, mau mengambil tempat terdepan dan mengabaikan sesama, terutama mereka yang paling rentan?
Di pintu keberangkatan menuju kapal dan di tangga naik ke kapal, orang (manusia) saling berebutan. Di tempat itu, manusia saling mengabaikan sesama. "Pokoknya, saya sampai terlebih dahulu di kapal. Di sana, saya mau pilih tempat yang paling aman buat saya dan keluarga." Saya berimajinasi seperti itu. Semoga tidak keliru.
Mengapa orang (manusia) tidak mempersilakan sesamanya untuk mendahului dirinya sesuai antrian yang ada? Mengapa manusia mengabaikan sesamanya? Ironisnya, yang diabaikan adalah anak-anak kecil. Kepada siapakah mereka akan mengharapkan perlindungan, jika orang tua (orang yang lebih dewasa) mengabaikan mereka?
Kejadian baku rebut tempat tidak hanya di kapal. Di pintu masuk bandara. Di pintu ke dalam pesawat. Bahkan di berbagai pesta, yang menghidangkan makan, orang berebut menjadi yang terdahulu.
Menyaksikan perilaku baku rebut semacam ini, kita perlu mempertanyakan kembali hakikat eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Apakah benar kita adalah makhluk sosial yang mengakui kesalingbergantungan kita? Kalau kita saling berpaut satu sama lain, mengapa kita saling mengabaikan? Inilah realitas nafsu menguasai yang ada pada diri manusia. Sebagai pribadi-pribadi yang terpanggil untuk berkarya di area perubahan sosial, kita perlu menata hidup kita agar menjadi pribadi yang mau mendahulukan sesama.