Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Asmat, Warisan Dunia yang Terabaikan

17 April 2017   09:55 Diperbarui: 17 April 2017   23:01 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papua sangat kaya akan sumber dayaalam dan budaya yang tidak dijumpai di wilayah lain di dunia ini. Raja Ampatterkenal dengan wisata alam yang menakjubkan. Merauke memiliki rumah semut danhamparan padang yang luas. Mimika kota emas. Gas alam melimpah di Bintuni. DanauSentani menghiasi wajah Jayapura. Lalu, Asmat kota terunik di dunia karena parapenghuninya tinggal di atas papan. Bukan itu saja, kebudayaan mengukir terkenalsampai ke benua Amerika dan Eropa. Itulah Asmat, warisan dunia yang kini sedangterlupakan. 

Asmat menjadi kabupaten definitifpada tahun 2002. Sebelum Asmat merupakan bagian dari Kabupaten Merauke. Sejakmenjadi kabupaten, Asmat berbenah. Pusat pemerintah dibangun di Agats. Di siniberdiri kantor pemerintahan Kabupaten Asmat. Seluruh bangunannya terbuat darikayu. Sebelumnya, semua jalan terbuat dari papan. Kini, di jalan-jalan protokoldi kota Agats sudah diganti dengan beton cor (jalan komposit).  

Transportasi di kota Agats adalahmotor listrik (motor cas). Motor listrik dimiliki oleh para pegawai negerisipil (PNS), TNI, Polri dan para pengusaha serta pedagang. Sedangkan orang asliAsmat yang hidup sederhana berjalan kaki. Sedangkan transportasi dari satukampung (desa) ke kampung lainnya menggunakan speed. Perahu dayung sudah jarangdijumpai di sekitar kota Agats. 

Di kota Agats, orang dapat menjumpailaki-laki Asmat yang menenteng ukiran di tangan dan menawarkannya kepada siapasaja yang dijumpai. Harga ukiran relatif murah. Biasanya panel ukuran kecilseratus ribu rupiah. Sering kali harga tersebut masih bias ditawar hingga tujuhpuluh lima ribu atau lima puluh ribu rupiah. Harga tersebut tak sebandingdengan waktu, pikiran dan tenaga yang dikeluarkan oleh para pengukir Asmat. 

Di tepi jalan, area tempat berjualanMama-Mama Papua, sering dijumpai juga rajutan noken (tas) yang terbuat daridaun sagu. Daun sagu dipintal kemudian dirajut menjadi noken yang dihiasidengan bulu kasuari. Harganya dua ratus lima puluh ribu. Harga noken ditentukanjuga oleh motif dan ukurannya. 

Kebudayaan mengukir Asmat sudahmendunia. Setiap bulan Oktober dilakukan festival budaya Asmat. Aneka ukiran,rajutan dan tarian ditampilkan. Ukiran terbaik akan dilelang. Hasil lelangmenjadi milik para pengukir. Festival ini biasanya diikuti oleh ratusan turis.

Di balik kebolehan mengukir Asmat,tersimpan sejuta nestapa. Orang asli Asmat hidup menderita. Mereka tinggal digubuk-gubuk sederhana (bevak), yang tak memenuhi standar layak huni. Di kotaAgats terdapat lima kampung, Bis Agats, Mbait, Syuru, Asuwetsy dan Kayet. KecualiBis Agats, yang dihuni juga oleh kaum pendatang, keempat kampung lainnyamerupakan penduduk asli Asmat. Mereka tinggal di rumah-rumah kumuh dan taklayak huni. 

Orang asli Asmat di kampung-kampungtersebut menjaring ikan. Hasil tangkapan ikan itu mereka jual. Uang hasil jualikan langsung dibelanjakan beras, kopi, gula, teh dan berbagai kebutuhan rumahtangga lainnya. Seketika uang tersebut berpindah ke tangan kaum pendatang yangmemiliki kios dan atau warung. Itulah siklus harian yang masih terjadi sampaisaat ini di tanah Asmat.

Kini, pemerintah mengalirkan danamiliaran rupiah ke kampung-kampung. Orang Asmat pun menerima dana tersebut,tetapi tidak membawa perubahan bagi kehidupan mereka. Orang Asmat tetapmenderita. Mereka masih tinggal di gubuk, tanpa air bersih, WC dan kamar mandi.Anak-anak Asmat masih menderita gizi buruk dan sebagian tidak bisa bersekolah.Pelayanan kesehatan pun tidak berjalan. Pada akhirnya, orang Asmatlah yangmenderita. Uang miliaran rupiah tidak mampu menyelesaikan penderitaan orangAsmat. 

Penderitaan orang Asmat ini jarangmendapat perhatian. Pemerintah sekedar melaksanakan proyek pembangunan tanpapendampingan dan pemberdayaan. Para pengusaha mengeruk keuntungan eksploitasisumber daya alam dan budaya. Kaum pendatang sekedar mencari keuntungan denganberdagang. Orang Asmat sebagai tuan tanah, pemilik hak ulayat menjadi penontonabadi. Merekalah yang menyumbang untuk kekayaan kaum pendatang yang berjualandi atas tanah Asmat. 

Di jalan-jalan protokol di kotaAgats, orang Asmat menjadi pendorong gerobak kayu bagi orang pendatang yanghendak membangun rumah. Mama-Mama Asmat berjualan ikan dan udang. Sedangkankios dan warung dikuasai oleh kaum pendatang. Hasil kerja keras orang-orangAsmat akhirnya bersarang di kantong kaum pendatang. Itulah pemandangan lumrahdi tanah Asmat. 

Siapa peduli pada situasi orang Asmatini? Tidak banyak yang peduli. Orang datang ke Asmat hanya untuk mengais rezekidi atas penderitaan orang Asmat. Pemerintah sekedar melakukan tugasnya. Paraguru sekedar mengajar, bahkan banyak yang tidak masuk kelas. Petugas kesehatansekedar hadir dan melakukan pelayanan seadanya. Para pedagang mencarikeuntungan berlipat ganda. 

Pesta budaya, yang diinisiasi olehGereja Katolik Keuskupan Agats dengan dukungan dana pemerintah Kabupaten Asmathanya menjadi ajang melupakan penderitaan orang Asmat. Orang bersukacita diatas ketidakberdayaan orang Asmat. Orang menikmati ukiran orang Asmat danmelupakan manusia Asmat yang menghasilkan ukiran tersebut. 

Dalam situasi semacam ini, segenappengagum budaya Asmat, di mana saja berada diundang untuk memberikan perhatiankepada orang Asmat. Perhatian pertama dan utama adalah peningkatan mutupendidikan dasar bagi anak-anak Asmat. Anak-anak Asmat perlu mendapatkanpendidikan dasar yang bermutu sehingga mereka dapat bersaing dengan anak-anakdi wilayah lain di negeri ini. Selain itu, anak-anak Asmat juga perlu dibekalidengan pendidikan dan keterampilan mengukir dan menganyam sehingga tidak punahditelan waktu dan kemajuan zaman ini.

(Agats, 17 April 2017;pukul 10.51 WIT).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun