Tablanusu memiliki pantai yang indah. Di tepi pantai sampai perkampungan ditutupi batu-batu bulat kecil. Air laut jernih. Udara bersih. Angin sore bertiup. Duduk di tepi pantai Tablanusu membuat diri merasa kecil di hadapan Sang Pencipta yang menempatkan alam indah ini. Jauh di lubuk hati, ada harapan agar keindahan ini tetap terpelihara dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang. (Tablanusu, 12 Oktober 2016; pukul 06.38 WIT)
Catatan Refleksi
Bencana alam merupakan momok yang menakutkan. Setiap pribadi berjuang menghindarinya. Komunitas masyarakat melakukan berbagai kegiatan untuk mengeliminir terjadinya bencana. Misalnya, penanaman pohon dan pembersihan selokan/parit. Berbagai kegiatan yang dilakukan itu  bertujuan agar manusia dan alam harmonis, selaras sehingga tidak terjadi bencana alam, yang menghancurkan manusia dan alam semesta.
Untuk mengenal potensi bencana di suatu wilayah dibutuhkan kajian yang mendalam. Itulah yang mendasari kami melakukan kajian risiko bencana di kampung Tablanusu. Masyarakat kampung, yang tergabung dalam kelompok kerja (Pokja) berdiskusi tentang berbagai ancaman bencana di kampung Tablanusu. Ada ancaman bencana banjir, longsor dan tsunami.
Pada saat proses kajian risiko bencana, peserta sebenarnya mau fokus pada kajian risiko bencana banjir. Alasannya, gunung sudah mulai gundul, apabila hujan air mengalir dengan deras dan menyebabkan banjir. Hal ini diperparah dengan telaga yang semakin mendangkal karena material dari gunung. Sayangnya, sejak awal telah ditetapkan bahwa fokus kajian kali ini dibatasi pada risiko tsunami.
Sebuah pembelajaran penting yang harus menjadi perhatian bersama adalah bahwa apabila hendak melakukan kegiatan perlu berbicara dengan masyarakat setempat. Apa yang paling mereka butuhkan? Apakah kajian risiko banjir, longsor atau tsunami? Jangan sampai pihak luar merasa lebih mengetahui daripada orang Tablanusu. Apabila hal semacam ini kurang diperhatikan, maka tidak akan kena konteks. Berbagai kajian dan fasilitasi akan tinggal menjadi dokumen ‘mati’.
Selama proses diskusi masyarakat terlibat aktif. Mereka berbicara tentang kondisi kampung mereka sejak dahulu kala sampai saat ini. Budaya lisan sangat kuat. Mereka berbagi cerita mengenai berbagai kisah yang diwariskan turun temurun. Misalnya, gempa bumi tahun tujuh puluan, tsunami Jepang dan banjir.
Selain itu, masyarakat juga mengetahui apa yang mesti dilakukan supaya kampung tetap aman dan terhindar dari bencana. Misalnya, menanam pohon, sosialisasi kebencanaan, perlunya peta risiko bencana di kampung, tata ruang kampung (penataan bangunan) dan penguatan kapasitas pemuda Gereja dalam menghadapi bencana. Artinya, masyarakat mengetahui cara paling cocok untuk mencegah dan atau menghadapi bencana alam sehingga kalau terjadi bencana alam masyarakat sudah siap.
Saya belajar bahwa bencana itu seperti pencuri. Ia datang tanpa kabar berita. Orang tidak tahu kapan datangnya dan berapa kekuatannya merusak manusia dan alam semesta. Karena itu, manusia perlu berjaga-jaga.
Cara berjaga-jaga yang paling sederhana dan efektif adalah memperlakukan alam sebagai saudara. Hentikan kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat. Sampah mesti diletakkan pada tempatnya. Sekali lagi sampah mesti diletakkan pada tempatnya, bukan dibuang! Selain itu, hentikan kebiasaan menebang pohon, menghancurkan bukit dan gunung. Hentikan kebiasaan menggunakan pukat harimau dan bom dalam mencari ikan di laut dan sungai. Sebaliknya, tanam dan rawatlah pohon. Bukit-bukit gundul mesti ditanami pohon.
Manusia perlu membangun relasi harmonis dengan alam semesta ini. Alam bukan objek eksploitasi. Alam adalah saudara, yang berasal dari Sang Pencipta yang satu dan sama. Karena itu, sudah selayaknya manusia tidak merendahkan alam semesta ini. Manusia perlu menempatkan alam sebagai rekan seperjalanan menuju keabadian bersama Sang Pencipta.