Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah di Kampung Tablasupa, Papua

26 Desember 2016   17:23 Diperbarui: 26 Desember 2016   17:40 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Kami tidak bawa uang untuk pembangunan fisik di kampung. Kami membawa ilmu untuk masyarakat kampung supaya mengetahui situasi kampungnya. Sebab, kampung Tablasupa ini masuk dalam kategori daerah rawan bencana. Ada gempa bumi, longsor, banjir dan tsunami. Kampung ini terletak di antara laut dan gunung. Apa lagi lingkungan alam sudah mulai rusak sehingga sangat rentan terhadap bencana alam,” tegas Leni Pasulu, Kepala Bidang Pencegahan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Jayapura.

Hari ini, Jumat, 7 September 2016. Pukul 04.00 WIT, saya bangun pagi. Doa singkat terucap dari bibir yang tak layak ini.Bersyukur atas anugerah hidup pada hari yang baru ini.Good News menjadi santapan pembuka di awal hari ini. Selanjutnya, saya mandi, makan dan mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor BPBD Kabupaten Jayapura.

Pukul 06.20 WIT, sebelum berangkat, saya dan ponakan Yuni Sances berdoa. Kami memohon perlindungan dan berkat Tuhan. Pukul 06.25 WIT, kami berangkat menggunakan motor. Saya mengantar Yuni ke SMA YPPK Teruna Bakti, Waena. Setelah menurunkan Yuni di halaman sekolah, saya melanjutkan perjalanan ke Sentani. Seperti biasanya, pagi ini lalu lintas mulai dari lingkaran Abe sampai tanjakan Aleale di Padang Bulan padat merayap. Perjalanan Abe-Waena yang seharusnya hanya tujuh menit, bisa menjadi lebih lama, sepuluh atau dua puluh menit tergantung pada padat atau lengangnya jalan. Tampak bahwa kota Jayapura semakin padat penduduk dan kendaraan bertambah banyak. Sementara infrastruktur jalan kurang memadai.

Pukul 07.00 WIT, saya tiba di kolose Antonius Padua, di belakang mall Borobudur, Sentani. Saya menitipkan motor di depan kantor Usaha Padua Mandiri dan berjalan ke area mall. Saya bermaksud jalan santai ke kantor BPBD di Gunung Merah. Pada waktu tiba di area mall, ada seorang bapa, kurir koran Cepos. Saya bertanya kepadanya, “Pade, ojek kah?” Ia menjawab, “Bisa. Ongkosnya, sepuluh ribu.” Saya punya uang tidak cukup. Sesaat kemudian, saya bilang, “Pade, tujuh ribu ya.” Ia menyetujuinya. Saya pun langsung naik ke motor dan kami menuju kantor BPBD Kabupaten Jayapura. Saya tidak mengenakan helm. Tampak di sepanjang jalan, polisi lalu lintas mengatur arus kendaraan supaya lancar dan tertib. Sayangnya, pengendara tanpa helm seperti saya dibiarkan lewat, tanpa adanya sanksi. Suatu kebiasaan yang tidak mendidik.

Saya turun di depan gapura masuk ke halaman kantor bupati Gunung Merah. Sudah pukul 07.17 WIT, tetapi belum ada aktivitas para pegawai. Hanya ada beberapa petugas kebersihan yang sedang menyapu di halaman kantor. Tampak juga beberapa pedagang di area parkir membereskan jualannya. Sambil menunggu kawan-kawan, saya duduk di area kantin yang terletak di halaman belakang kantor bupati. Kantin tanpa bangunan, hanya dilindungi oleh pepohonan yang rimbun. Tidak lama kemudian, saya berpindah untuk mencari tempat yang lebih nyaman, tetapi tidak ada tempat duduk atau ruang tunggu yang lebih baik, selain emperan kantor dan di bawah pohon. Akhirnya, saya memilih duduk di salah satu emperan kantor di antara pot-pot bunga yang mulai kering karena tidak pernah disiram. Setelah menunggu beberapa saat, pukul 07.30 WIT, kawan Teriben Kogoya dan Games Kogoya tiba. Kami tiga duduk di bawah pohon beringin. Tidak lama kemudian, pukul 07.40 WIT, kawan Priyo tiba. Kami berempat tetap duduk di bawah pohon beringin. Sesekali kami baku tanya, “kapan gaji cair?” Suatu pertanyaan yang tidak dapat kami jawab sendiri.

Pukul 07.55 WIT, Ibu Leni Pasulu, Marina dan kawan-kawan BPBD Kabupaten Jayapura tiba. Kami bergegas mengangkat barang-barang yang akan dibawa ke dalam mobil. Ada dua mobil, yaitu mobil BPBD yang kemudikan oleh Farid dan satu kijang inova, yang dikemudikan oleh om Noto.

Pukul 08.25 WIT kami berangkat ke Tablasupa. Saya, Terry, Games, Priyo, pa Abu dan pa Kadir ikut mobil kijang. Sedangkan Ibu Leni dan Marina ikut mobil BPBD. Perjalanan lancar. Hanya saja kondisi jalan tidak terlalu bagus. Aspal mulai rusak dan banyak lubang. Bukan itu saja, proses perbaikan jalan di Depapre belum selesai sehingga mobil proyek lalu-lalang mengangkut tanah untuk dipindahkan ke tempat yang lebih rendah. Tampak hutan dan rawa sagu di tepi jalan ditimbuni tanah yang digali dari bukit yang dibongkar untuk lintasan jalan.

Pada waktu melewati Depapre, beberapa kilo sebelum masuk ke kampung Tablasupa, tampak dua kelompok warga sedang memperbaiki jalan. Mereka menggunakan pasir, kerikil dan semen. Mereka tambal jalan yang rusak parah. Sekilas, pekerjaan ini mubasir. Sebab, pada saat hujan, jalan itu akan tertimbun tanah longsor dan tergerus air. Jalan akan rusak lagi. Anggaran yang besar dihabiskan untuk pekerjaan yang hanya bertahan satu atau dua minggu.

Pukul 09.25 WIT, kami tiba di kantor kampung Tablasupa. Kantor ini terletak di dekat jalan utama. Kami turun. Kantor masih sepi. Ada seorang bapak yang menerima kedatangan kami. Kami langsung memasang spanduk kegiatan. Sayangnya, spanduk terlalu panjang, ukuran 4x2 meter. Spanduk tidak bisa dipasang di dalam ruangan, karena ruangannya kecil. Karena itu, kami memilih memasangnya di depan kantor kampung Tablanusu.

Setelah memasang spanduk, kami menunggu kehadiran peserta. Pada saat bersamaan hujan turun deras. Uap tanah mengepul seperti asap. Kabut menutupi hamparan pegunungan Cyclop. Sesaat tampak putih, laut, gunung dan hutan tertutup kabut. Di ruangan balai kampung, kami setia menunggu redahnya hujan dan kehadiran peserta. “Kita tunggu peserta lain. Cuaca hujan begini, peserta tidak bisa datang cepat,” ungkap salah satu pegawai kampung Tablanusu yang sudah hadir sejak pagi.

Sambil menunggu kehadiran peserta, sebagian kami pergi minum teh yang telah disiapkan oleh keluarga yang rumahnya tepat di depan kantor kampung Tablasupa. Saya memilih teh hangat dan singkong kuning goreng. Saya sangat suka singkong goreng itu. Empuk. Teh hangat turut membangkitkan aura kagum pada alam Tablasupa yang indah. Di tengah derai hujan, tetesan air dari langit itu mendorong saya mendeskripsikan situasi saat itu dalam secarik kertas merah muda yang ada di saku baju.  Suatu ungkapan kekaguman, sekaligus mengundang segenap makhluk untuk saling mengasihi dan melayani, tanpa membeda-bedakan asal-usul dan latar belakangnya.

“Tablasupa mendung, lalu gelap/Hamparan pegunungan Cyclop tak tampak/Kabut putih bertebaran/Hujan sedang deras/Dingin menusuk kalbu/Darah tetap mengalir/Tak membeku/Sampai akhir/Di teras rumah ada kasih/Kasih itu rela berkorban/Mengampuni tanpa syarat/Kasih tak membeku/Di sini, langit Tablanusu kembali cerah/Cyclop tampak gagah perkasa/Laut bergelora/Bangkitlah/Berjalanlah tanpa menoleh/Kasih mendasarinya/Keadilan bersemi/Di sanalah gerbang keabadian untuk semua makhluk.” [Tablanusu, 7/10/2016;10.40 WIT]

Sepenggal refleksi, yang berkisah tentang hakikat manusia. Bahwa hidup bermakna sejauh manusia saling berbagi. Bukan soal segelas teh dan beberapa potong singkong goreng, tetapi soal keikhlasan memberi tanpa pamrih. Keikhlasan itulah  yang menambah nikmat pada segelas teh dan singkong goreng itu. 

Setelah minum dan menuliskan penggalan permenungan itu, saya bergegas ke balai kampung. Hujan masih turun. Rompi BNPB yang saya kenakan basah. Di balai kampung belum banyak orang. Kami masih setia menunggu. Pukul 11.30 WIT, hujan mulai redah. Peserta sudah berkumpul. Kami pun memulai kegiatan, “Fasilitasi Ketangguhan Masyarakat di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre”.

Di meja depan ruangan pertemuan kampung Tablanusu telah duduk Kepala Kampung, Ibu Salonika Kisiwaitouw, Sekretaris Distrik dan Ibu Lenny Pasulu. Saya berperan sebagai pembawa acara. Tanpa menggunakan mikrofon, saya memandu jalannya pembukaan kegiatan ini. Prosesnya dimulai dari salam pembukaan, doa yang dipimpin oleh fasilitator Games Kogoya, sambutan Sekretaris Distrik Depapre dan sambutan dari Ibu Leni Pasulu, mewakili Kepala BPBD Kabupaten Jayapura.

Sekretaris distrik, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa pihaknya bersyukur bahwa diberikan kesempatan untuk mengikuti fasilitasi ketangguhan masyarakat. Sebab, pada bulan-bulan September, Oktober, November dan Desember sering hujan dan longsor. Belakangan juga terjadi gempa berturut-turut. Ia berharap peserta bisa mengikuti kegiatan dengan baik, mulai dari Oktober sampai Desember. “Ini ilmu yang baik. Nanti ada pelatihan. Bapa/ibu harus mengikuti kegiatan ini dengan baik,” ungkapnya.

Sementara itu, kepala BPBD yang diwakili oleh Ibu Lenny Pasulu mengatakan bahwa kegiatan fasilitasi ini akan berlangsung sampai bulan Desember. Selama proses pendampingan dan fasilitasi tidak ada pembangunan fisik. Masyarakat dibekali dengan ilmu untuk mengenal lingkungannya. “Kami tidak bawa uang untuk pembangunan fisik. Kami membawa ilmu untuk bapa/ibu supaya mengetahui situasi di kampung ini. Sebab, daerah kita ini masuk dalam daerah rawan bencana. Ada gempa, longsor dan tsunami. Kampung ini terletak di antara laut dan gunung. Apa lagi lingkungan alam sudah mulai rusak sehingga sangat rentan terjadi bencana,” ungkapnya. Ia juga berharap agar warga masyarakat kampung Tablanusu menerima fasilitator dengan baik dan bisa belajar bersama-sama untuk mengenal lingkungannya.

Pukul 11.55 WIT, rangkaian acara pembukaan fasilitasi ketangguhan masyarakat selesai. Selanjutnya, fasilitator Priyo langsung memandu peserta untuk masuk ke dalam materi pengenalan program fasilitasi ketangguhan masyarakat di kampung Tablanusu. Priyo menjelaskan bahwa masyarakat perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. “Kalau ada bencana, kita sendiri harus bisa menolong dan menyelamatkan diri kita,” ungkapnya. Ia juga mengajak peserta untuk mengingat kembali lembaga yang pernah mendampingi warga kampung terkait kebencanaan. Selain itu juga peserta dan fasilitator sepakat bahwa pada pertemuan mendatang akan dilakukan di balai yang terletak di tepi pantai Amay. Eli Apaseray akan menyiapkan aula tempat pertemuan pada hari Selasa, 11 Oktober 2016 mendatang. Pada akhirnya, Priyo membacakan nama-nama peserta yang berjumlah dua puluh enam orang ditambah empat orang tokoh warga kampung Tablasupa.

Penjelasan, diskusi dan kesepakatan terkait proses fasilitasi bersama masyarakat berakhir pada pukul 12.50 WIT. Kami pun mengakhiri rangkaian kegiatan pembukaan ini dengan doa yang dipimpin oleh salah satu peserta yang merupakan majelis di kampung Tablasupa. Sesudah doa, kami pergi makan siang di rumah keluarga yang berada di depan kantor kampung Tablasupa. Ibu-ibu Persekutuan Wanita (PW) telah menyiapkan makanan yang lezat. Ada papeda, ikan kuah kuning, keladi tumbuk dan sayur pucuk labu santan. Kami menikmati makan siang ini dengan lahap. Ada kegembiraan dan sukacita di raut wajah kami.

Pukul 13.45 WIT, kami meninggalkan kampung Tablasupa. Kami melanjutkan perjalanan ke kampung Tablanusu. Kami bermaksud melakukan pertemuan dengan kepala Kampung Tablanusu untuk persiapan pelaksanaan pembukaan fasilitasi ketangguhan masyarakat yang akan dilaksanakan pada Senin, 10 Oktober 2016.

Pukul 14.05 WIT, kami tiba di kampung Tablanusu. Ini adalah pertama kali saya datang ke Tablanusu. Sebelum masuk kampung, kami melewati jalan terjal. Pada saat tiba, tampak di sepanjang jalan dan pantai batu-batu kecil tersusun rapi. Tampak pula sebuah telaga air tawar yang agak kabur.

Kami berhenti di depan rumah kepala kampung. Kami turun dan mengecek kepala kampung, tetapi beliau sedang pergi ke Sentani. Kami hendak pergi ke kantor kampung Tablanusu, tetapi ada beberapa ibu yang sedang menganyam noken menyapa kami. Kami bercerita dengan mereka. Tidak lama kemudian, istri kepala kampung, yang juga wakil ketua Persekutuan Wanita (PW) datang. Kami langsung berdiskusi dengannya terkait persiapan kegiatan fasilitasi pada Senin mendatang.

Ibu mengajak kami ke rumahnya. Di sana kami memantapkan semua rencana untuk kegiatan fasilitasi pada hari Senin, 10 Oktober 2016. Ibu Lenny Pasulu menyerahkan uang untuk belanja keperluan makan dan minum. Setelah semuanya beres, kami pamit dan kembali ke Sentani.

Pukul 14.30 WIT, kami pulang ke Sentani. Perjalanan ke Sentani cukup menantang. Kami harus melewati tanjakan Depapre yang cukup tinggi. Lebih mengkhawatirkan karena baru selesai hujan dan jalan sedang dalam pengerjaan sehingga belum semuanya aspal. Masih ada tanah, batu dan pasir di badan jalan. Walaupun demikian, berkat kemahiran om Noto, kami dapat melewati perjalanan yang menegangkan itu sampai tiba di kantor BPBD Gunung Merah, Sentani pada pukul 15.26 WIT.

Kami tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Kami berkumpul di ruang kerja Ibu Lenny. Kami membahas persiapan kegiatan fasilitasi minggu depan, 10-14 Oktober 2016, di kampung Tablasupa dan Tablanusu. Kami sepakat bahwa untuk konsumsi akan dipesan nasi bungkus di warung yang ada di Depapre. Farid akan menemani fasilitator di Tablanusu. Om Abu akan menemani fasilitator di Tablasupa. Haji akan menjemput pa Abu dan pa Kadir di Jayapura, Priyo di Tanah Hitam, Piter di Abepura, Games dan Terry di Mega, Waena. Pukul 08.00 WIT kami harus sudah berkumpul di kantor BPBD untuk selanjutnya berangkat ke kampung Tablanusu. 

Catatan Refleksi

Kisah perjalanan hari ini memberi inspirasi untuk bekerja lebih giat dan melakukannya dengan niat tulus, tanpa pamrih. Masyarakat di kampung, khususnya Tablasupa dan Tablanusu perlu mendapatkan suatu pemahaman kontekstual tentang kondisi lingkungan mereka yang sangat rawan terjadi bencana, baik banjir, longsor, gempa bumi maupun tsunami.

Sepanjang perjalanan pergi dan pulang, saya menyaksikan bahwa proses pembangunan jalan menuju Depapre telah merusak hutan, hutan/rawa sagu dan tanah di areal pembangunan jalan. Pembongkaran hutan dan gunung/bukit untuk membuka akses jalan yang dilakukan, tanpa mempertimbangkan keberadaan hutan sebagai penyangga utama kehidupan masyarakat Tablasupa dan Tablanusu bisa berakibat pada terjadinya bencana banjir dan longsor.

Masyarakat sebagai pemilik ulayat, sekaligus hidup di kedua kampung itu perlu mengetahui kondisi lingkungannya saat ini. Mereka sendiri perlu mencari alternatif terbaik untuk menjaga tanah, hutan, tempat-tempat keramat, air, udara yang ada di kampung mereka. Proses fasilitasi yang akan dilaksanakan bersifat membantu untuk memperdalam pengetahuan masyarakat tentang kondisi terkini kampung mereka. Karena itu, keberhasilan proses ini sangat tergantung pada kesadaran, niat dan kemauan masyarakat sendiri untuk menjaga kampungnya agar terhindar dari berbagai bencana alam yang tidak dikehendaki.

Saya mengalami bahwa pertama kali menginjakkan kaki di kampung Tablasupa dan Tablanusu, kami disambut dengan hangat, baik oleh pemerintah distrik maupun pemerintah kampung. Selain itu, peserta pelatihan pun antusias menerima kehadiran kami. Suasana akrab semacam ini memperlihatkan dengan jelas bahwa masyarakat memiliki semangat kekeluargaan dan persaudaraan serta kemauan untuk belajar. Mereka rindu untuk mendapatkan pengetahuan tentang berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga kampung agar terhindar dari berbagai bencana alam.

Masyarakat menerima kami dengan hangat. Walaupun kami berbeda suku, budaya, adat dan agama, tetapi persaudaraan mendasari perjumpaan itu. Persaudaraan universal, yang dilandasi oleh cinta kasih dan pelayanan telah mempertemukan kami yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda itu. Cinta kasih dan pelayanan itu telah melampaui ruang-ruang perbedaan di antara kami.

Selanjutnya, sebagai fasilitator, kami mengakui bahwa kami bukanlah mahaguru yang mengetahui segalanya tentang kebencanaan. Kami percaya bahwa masyarakat Tablanusu dan Tablasupa mengetahui kondisi kampung mereka, sekaligus memiliki kearifan lokal dalam membaca tanda-tanda alam. Karena itu, merekalah guru sesungguhnya.

Kami mau belajar bersama masyarakat kampung Tablanusu dan Tablasupa tentang mencintai alam semesta. Kami mau masuk ke dalam situasi hidup mereka dan mencoba memahami seraya berbagi pengalaman tentang cara-cara sederhana menjaga agar suasana di kampung tetap kondusif dan jauh dari bencana. Semua upaya ini diletakkan di atas dasar cinta kasih dan pelayanan. Kami percaya bahwa cinta yang besar, lahir dari ketulusan untuk berbagi dengan sesama. Karena itu, sebagai fasilitator, kami mau berbagi, memberi sekaligus menerima dari masyarakat kampung Tablanusu dan Tablasupa. (Abepura, 7 Oktober 2016; pukul 20.27 WIT).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun