Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah di Kampung Tablasupa, Papua

26 Desember 2016   17:23 Diperbarui: 26 Desember 2016   17:40 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Ibu mengajak kami ke rumahnya. Di sana kami memantapkan semua rencana untuk kegiatan fasilitasi pada hari Senin, 10 Oktober 2016. Ibu Lenny Pasulu menyerahkan uang untuk belanja keperluan makan dan minum. Setelah semuanya beres, kami pamit dan kembali ke Sentani.

Pukul 14.30 WIT, kami pulang ke Sentani. Perjalanan ke Sentani cukup menantang. Kami harus melewati tanjakan Depapre yang cukup tinggi. Lebih mengkhawatirkan karena baru selesai hujan dan jalan sedang dalam pengerjaan sehingga belum semuanya aspal. Masih ada tanah, batu dan pasir di badan jalan. Walaupun demikian, berkat kemahiran om Noto, kami dapat melewati perjalanan yang menegangkan itu sampai tiba di kantor BPBD Gunung Merah, Sentani pada pukul 15.26 WIT.

Kami tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Kami berkumpul di ruang kerja Ibu Lenny. Kami membahas persiapan kegiatan fasilitasi minggu depan, 10-14 Oktober 2016, di kampung Tablasupa dan Tablanusu. Kami sepakat bahwa untuk konsumsi akan dipesan nasi bungkus di warung yang ada di Depapre. Farid akan menemani fasilitator di Tablanusu. Om Abu akan menemani fasilitator di Tablasupa. Haji akan menjemput pa Abu dan pa Kadir di Jayapura, Priyo di Tanah Hitam, Piter di Abepura, Games dan Terry di Mega, Waena. Pukul 08.00 WIT kami harus sudah berkumpul di kantor BPBD untuk selanjutnya berangkat ke kampung Tablanusu. 

Catatan Refleksi

Kisah perjalanan hari ini memberi inspirasi untuk bekerja lebih giat dan melakukannya dengan niat tulus, tanpa pamrih. Masyarakat di kampung, khususnya Tablasupa dan Tablanusu perlu mendapatkan suatu pemahaman kontekstual tentang kondisi lingkungan mereka yang sangat rawan terjadi bencana, baik banjir, longsor, gempa bumi maupun tsunami.

Sepanjang perjalanan pergi dan pulang, saya menyaksikan bahwa proses pembangunan jalan menuju Depapre telah merusak hutan, hutan/rawa sagu dan tanah di areal pembangunan jalan. Pembongkaran hutan dan gunung/bukit untuk membuka akses jalan yang dilakukan, tanpa mempertimbangkan keberadaan hutan sebagai penyangga utama kehidupan masyarakat Tablasupa dan Tablanusu bisa berakibat pada terjadinya bencana banjir dan longsor.

Masyarakat sebagai pemilik ulayat, sekaligus hidup di kedua kampung itu perlu mengetahui kondisi lingkungannya saat ini. Mereka sendiri perlu mencari alternatif terbaik untuk menjaga tanah, hutan, tempat-tempat keramat, air, udara yang ada di kampung mereka. Proses fasilitasi yang akan dilaksanakan bersifat membantu untuk memperdalam pengetahuan masyarakat tentang kondisi terkini kampung mereka. Karena itu, keberhasilan proses ini sangat tergantung pada kesadaran, niat dan kemauan masyarakat sendiri untuk menjaga kampungnya agar terhindar dari berbagai bencana alam yang tidak dikehendaki.

Saya mengalami bahwa pertama kali menginjakkan kaki di kampung Tablasupa dan Tablanusu, kami disambut dengan hangat, baik oleh pemerintah distrik maupun pemerintah kampung. Selain itu, peserta pelatihan pun antusias menerima kehadiran kami. Suasana akrab semacam ini memperlihatkan dengan jelas bahwa masyarakat memiliki semangat kekeluargaan dan persaudaraan serta kemauan untuk belajar. Mereka rindu untuk mendapatkan pengetahuan tentang berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga kampung agar terhindar dari berbagai bencana alam.

Masyarakat menerima kami dengan hangat. Walaupun kami berbeda suku, budaya, adat dan agama, tetapi persaudaraan mendasari perjumpaan itu. Persaudaraan universal, yang dilandasi oleh cinta kasih dan pelayanan telah mempertemukan kami yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda itu. Cinta kasih dan pelayanan itu telah melampaui ruang-ruang perbedaan di antara kami.

Selanjutnya, sebagai fasilitator, kami mengakui bahwa kami bukanlah mahaguru yang mengetahui segalanya tentang kebencanaan. Kami percaya bahwa masyarakat Tablanusu dan Tablasupa mengetahui kondisi kampung mereka, sekaligus memiliki kearifan lokal dalam membaca tanda-tanda alam. Karena itu, merekalah guru sesungguhnya.

Kami mau belajar bersama masyarakat kampung Tablanusu dan Tablasupa tentang mencintai alam semesta. Kami mau masuk ke dalam situasi hidup mereka dan mencoba memahami seraya berbagi pengalaman tentang cara-cara sederhana menjaga agar suasana di kampung tetap kondusif dan jauh dari bencana. Semua upaya ini diletakkan di atas dasar cinta kasih dan pelayanan. Kami percaya bahwa cinta yang besar, lahir dari ketulusan untuk berbagi dengan sesama. Karena itu, sebagai fasilitator, kami mau berbagi, memberi sekaligus menerima dari masyarakat kampung Tablanusu dan Tablasupa. (Abepura, 7 Oktober 2016; pukul 20.27 WIT).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun