Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Paniai Berdarah, Potret Militerisme di Papua

8 Desember 2015   04:34 Diperbarui: 8 Desember 2015   13:25 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, Selasa, 8 Desember 2015, segenap rakyat Papua mengenang satu tahun kasus Paniai berdarah. Setahun silam, tepatnya hari Senin, 8 Desember 2014 militer Indonesia membantai (menembak mati) empat pelajar di Paniai. Hari ini genap satu tahun peristiwa itu terjadi, tetapi belum menemui titik terang. 

Berbagai dalih, argumentasi dan pembenaran dilontarkan oleh pemerintah Indonesia untuk menutupi kasus ini. Bagi kaum awam, kasus ini sudah terang benderang bahwa tentara yang melakukan penembakan. Alam dan leluhur serta segenap orang Papua adalah saksi atas peristiwa paling keji itu. Peristiwa di mana negara yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyatnya, justru menjadi mangsa paling keji. 

Mengapa senjata yang dibeli dengan uang rakyat, digunakan untuk menembak mati rakyat? Sulit menemukan jawabannya. Tetapi, tampak bahwa Indonesia tidak membutuhkan orang Papua. Indonesia hanya membutuhkan kekayaan sumber daya alam Papua. Orang Papua mau mati atau hidup bukan urusan pemerintah Indonesia. Bahkan kalau ada orang Papua yang berbicara menuntut keadilan harus dibungkam dan dibunuh atas nama kedaulatan Indonesia.

Kasus Paniai berdarah memperlihatkan dengan jelas bahwa rezim militerisme dan operasi militer masih berlangsung di tanah Papua. Kita dapat menyaksikan ribuan tentara, polisi, intelejen dan berbagai pasukan elit Indonesia ditempatkan di Papua untuk menghancurkan orang Papua. 

Kematian beruntun orang Papua yang dibunuh oleh militer Indonesia selalu tidak tersentuh proses hukum. Kasus Pania berdarah hanya satu kasus dari ribuan kasus yang dilakukan oleh militer Indonesia di tanah ini. Siapa mau lawan tentara Indonesia? Mereka memang dilatih untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Tatkala mereka melihat orang Papua sebagai musuh, maka ada legitimasi untuk membunuhnya. 

Kita belajar dari kasus Theys Hiyo Eluay. Para pembunuhnya mendapat kenaikan pangkat. Indonesia masih menganggap orang Papua sebagai musuh negara. Kalau tidak demikian, mengapa Indonesia mengirim ribuan pasukan militer ke tanah Papua? Kalau Indonesia menerima orang Papua sebagai bagian dari Indonesia, mengapa tidak mengirim guru dan mantri untuk mendidik dan memelihara kesehatan orang Papua? Mengapa Indonesia justru mengirim pasukan militer? Apa pendapat dan refleksi Indonesia tentang Papua dan orang Papua? 

Saya menemukan bahwa sampai detik ini, Indonesia masih menempatkan orang Papua sebagai musuh negara. Indonesia masih melihat bahwa orang Papua harus diindonesiakan. Karena itu, cara paling efektif adalah mengirim pasukan militer ke tanah Papua. 

Indonesia lupa bahwa pendekatan militer tidak pernah bisa menyelesaikan permasalahan Papua. Indonesia tidak mau belajar dari Timor Leste dan Aceh bahwa kekuatan militer tidak mampu menyelesaikan permasalahan. Indonesia semestinya melakukan pendekatan kemanusiaan terhadap orang Papua, bukan sebaliknya menerapkan militerisme di Papua.

Kasus Paniai berdarah, yang terjadi setahun silam, kini menjadi simbol kebangkitan rakyat Papua untuk melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh Indonesia di atas tanah Papua. Orang Papua mulai bersatu menuntut keadilan, bukan hanya terhadap kasus Paniai, melainkan juga kasus-kasus pembunuhan lainnya yang dilakukan oleh Indonesia. 

Kita menyaksikan bahwa militer Indonesia terlalu kejam. Mereka membunuh orang Papua seperti binatang. Lebih menyakitkan lagi, para pembunuh ini dilindungi. Buktinya, sampi saat ini para pembunuh dalam kasus Paniai berdarah setahun silam belum tersentuh hukum. Kasus-kasus pembunuhan lainnya juga sama. Padahal dalam kasus Paniai berdarah, para aktivis, termasuk komisi nasional hak asasi manusia (Komnas HAM) Indonesia sudah turun tangan melakukan investigasi, tetapi sampai saat ini negara bungkam. Belum ada tindak lanjut dan proses hukum terhadap para pelaku. 

Hari ini kasus Paniai berdarah genap satu tahun. Belum ada kepastian proses hukum terhadap para pelaku. Berbagai upaya dan aksi telah dilakukan untuk mengungkap kasus ini, tetapi belum menemui titik terang. Negara masih membisu. Negara melindungi para pelaku penembakan atas nama kedaulatan. Sampai kapan negara tetap diam? Apakah orang Papua mau dimusnahkan di atas tanahnya? 

Indonesia harus ingat bahwa perlakuannya yang keji terhadap orang Papua menunjukkan rendahnya martabat bangsa Indonesia. Bahkan kalau Indonesia tetap membunuh orang Papua, maka pada waktunya dunia internasional akan berteriak menyuarakan pengembalian kedaulatan rakyat Papua yang dicaplok oleh Indonesia, melalui Pepera 1969 yang tidak adil itu. Indonesia tidak bisa mempertahankan Papua untuk tetap berada dalam NKRI dengan cara membunuh orang Papua. 

Pada peringatan satu tahun kasus Paniai berdarah ini, Indonesia semestinya membuka diri dan memproses para pelaku penembakan. Kalau kasus ini tidak diselesaikan, maka akan menambah daftar panjang kasus pembunuhan terhadap orang Papua, yang tidak pernah diselesaikan. Indonesia akan semakin tersudut di dunia internasional terkait penghormatan terhadap hak asasi manusia. Bukan itu saja, kekejian Indonesia terhadap orang Papua telah membangkitkan semangat solidaritas dan persatuan yang kokoh untuk merebut kembali kedaulatan Papua.

[Abepura, 08-12-2015; pukul 06.14 WIT] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun