“Tidak ada satupun anak yang menghendaki dirinya dilahirkan ke dunia ini. Ana-anak adalah anugerah Pencipta, melalui laki-laki dan perempuan dewasa, yang saling mengungkapkan cintanya. Anak-anak tumbuh dan berkembang dalam keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab mendidik dan membesarkan anak-anak. Bukan sebaliknya, mengekploitasi anak-anak untuk kesenangan orang tua.”
Sejak berita hilangnya Angeline, gadis berusia delapan tahun di Bali, pada 16 Mei 2015 beredar di media sosial, perbincangan tentang anak melambung. Topik ini makin hangat, tatkala jenasanya ditemukan pada 10 Juni 2015 di lubang tumpukan sampah di belakang rumahnya. Televisi dan surat kabar, ramai bicara tentang anak dan kekerasan. Para pemerhati permasalahan anak tampil di televisi memberikan berbagai penjelasan dan argumen seputar permasalahan anak.
Si(apa) itu anak? Mengapa anak selalu menjadi sasaran empuk kekerasan? Mengapa ibu, tempat awal mula jabang anak terbentuk rela menjual bahkan membunuh anaknya? Mengapa ayah, yang memberikan spermanya sehingga terjadi pembuahan anak, justru tega memerkosa anaknya? Mengapa keluarga terdekat (ibu, ayah, kakak, om, tante) dan kerabat dekat lainnya sering melakukan kekerasan terhadap anak?
Anak tidak pernah minta dilahirkan. Anak lahir karena adanya ungkapan cinta antara laki-laki dan perempuan melalui sanggama. Walalupun kemajuan teknologi sudah bisa bikin anak manusia, misalnya teknik bayi tabung, dan lain sejenisnya, tetap saja sama yakni ada dua unsur yang asalnya dari laki-laki dan perempuan yaitu sperma dan ovum.
Kehadiran anak mestinya disyukuri. Anak menjadi rahmat bagi keluarga. Kalau anak diterima sebagai rahmat, sudah seharusnya ia dirawat dengan kasih sayang yang besar. Ia perlu mendapatkan makanan bergizi, dan pendidikan yang memadai.
Kerapkali, permasalahan orang tua menjadi sumber penderitaan anak-anak. Saat orang tua bertengkar atau bahkan bercerai, anak-anak terlantar. Demikian halnya, ketika ekonomi keluarga kurang beruntung, anak-anak menjadi pekerja, untuk menopang keluarga. Anak-anak menjadi sumber ekploitasi untuk kepentingan orang tua.
Anak-anak sering dijual, bukan saja karena retaknya keluarga dan himpitan ekonomi. Keluarga mapan dan serba berkecukupan pun menjual anak-anaknya melalui eksploitasi yang tidak disadari. Misalnya, memajang foto anak-anak di facebook, blackberry, dan lain-lain. Orang tua merasa gembira saat memamerkan anak-anaknya di media sosial. Mereka tidak sadar bahwa telah menjual anak-anaknya untuk dinikmati oleh manusia sejagat.
Anak-anak juga dipekerjakan secara tidak manusiawi. Misalnya, menjadi bintang iklan, film, pembawa acara, pengemis, dan lain-lain. Anak-anak dijadikan robot: “harus mengikuti kemauan orang tua”. Anak-anak terhimpit oleh berbagai desakan kepentingan orang tua.
Orang tua tega melakukan ketidakadilan ini terhadap anak-anak yang tidak berdaya. Padahal, anak-anak itu berasal dari dalam rahim mereka. Misalnya, Angelina diberikan kepada Margarith saat berusia tiga hari. Dan setelah hampir delapan tahun, Angelina dibunuh oleh ibu angkatnya itu. Kejadian ini sulit diterima dengan akal sehat, tetapi ini realitas yang sedang terjadi di negeri ini.
Untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak yang makin brutal ini, perlu penyadaran terhadap keluarga-keluarga sejak dini. Misalnya, saat pasangan hendak menikah perlu diberikan pembekalan dan pembinaan yang memadai, termasuk tentang perlindungan anak. Bila perlu dilakukan sosialisasi sejak dini untuk remaja SMA dan kalangan mahasiswa.
Perlu diberikan pemahaman kepada setiap orang bahwa anak-anak merupakan anugerah dari Pencipta. Ia menitipkannya di dalam rahim perempuan. Karenanya, anak-anak harus dirawat dengan kasih sayang dan cinta yang tulus-ikhlas. Anak-anak perlu bertumbuh dalam lingkungan yang bersih, sehat dengan gizi dan pendidikan yang memadai.
Keluarga-keluarga perlu menyadari bahwa orang tua bertanggung jawab penuh terhadap hidup dan masa depan anak-anak. Orang tua harus melindungi anak-anak dari unsur-unsur kekerasan, baik fisik maupun verbal. Bukan sebaliknya, orang tua justru mengekploitasi anak-anak untuk memenuhi keinginannya.
Di dalam keluarga, anak-anak perlu didengarkan, bukan menjadi objek pelampiasan permasalahan orang tua. Anak-anak berhak mendapatkan keadilan dan rasa aman. Semua itu bermula dari dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Anak-anak perlu tumbuh dan berkembang dalam mengaktualisasikan dirinya berdasarkan talenta, minat dan bakatnya, bukan berdasarkan keinginan orang tua. Sebagai orang tua, perlu memberikan nasihat dan petunjuk, tetapi tidak memaksa. Kalau orang tua memaksa, apa lagi dengan jalan kekerasan, hanya akan menimbulkan luka bagi anak. Akibatnya, anak-anak bertumbuh secara pincang.
Apa pun alasannya, hidup, tumbuh-kembang dan masa depan anak-anak adalah tanggung jawab orang tua. Menjadi apa seorang anak di kemudian hari, sangat tergantung pada pendidikannya yang diterima saat ini di dalam keluarganya. Kalau kita mau bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat, maka perlu memberikan perhatian serius terhadap anak-anak sejak dini. [Abepura, kamp Cina, Jl. Ayapo, No.30 Abepura, 08 Juli 2015; pk 06.25 WIT_Saat merenung tentang makna kehadiran anak-anak dalam keluarga-keluarga]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H