Mohon tunggu...
Petrus Bharoto Kesowo
Petrus Bharoto Kesowo Mohon Tunggu... Human Resources - Professional

Belajar Hukum dan senang seni menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

WFH dan PPJJ (Sebuah Catatan Ringan)

16 Maret 2022   15:08 Diperbarui: 16 Maret 2022   15:14 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di luar masalah tetek bengek sekolah yang pastinya akan sangat komplek masalahnya mulai dari yang bersifat administrative hingga akademik, kita juga harus segera kembalikan anak-anak kita ke luar rumah. Sudah terlalu lama anak-anak dikurung di dalam rumah. Beruntung bagi anak-anak yang orang tuanya sedikit cuek dan anak-anaknya dibebaskan untuk bermain. Banyak anak-anak yang karena alasan yang juga baik harus betah berada di dalam rumah tanpa keluar rumah seharian penuh dan setiap hari. Interaksi hanya dilakukan dengan orang tua, saudara dan anggota keluarga lainnya, serta yang pasti bergaul dengan gadgetnya. Alangkah terbatasnya dunia mereka.

Di sisi ini kita harus akui sisi gelap atau negative gadget bagi perkembangan mental anak-anak. Bagaimana tidak? Sekolah dengan metode daring masih ditambah keengganan untuk mengulang pelajaran yang sudah didapatkan. Gadget dipegang cenderung hanya untuk bermain game dan sarana hiburan lainnya. Tidak ada antusiasme untuk belajar. Tidak ada obrolan tentang pelajaran, PR, ulangan, dan lain-lain kenikmatan sebagai anak sekolah seperti seharusnya.

Hal yang mengejutkan bagi saya adalah ketika suatu kali saya sedang berada di rumah seorang kerabat, anaknya sedang bermain gadget dan tiba-tiba anak itu mengucapkan istilah yang tidak saya duga akan bisa keluar dari mulutnya. Dia menyebutkan istilah bersetubuh dalam Bahasa Jakarta. Anak sekecil itu, umur delapan tahun. Dia pasti tidak tau apa yang dia ucapkan itu, tapi istilah itu begitu fasih keluar sefasih dia mengucapkan istilah kotoran dan aneka binatang. Di kunjungan saya berikutnya kerabat saya ini sedang bermain bola di halaman belakang rumahnya bersama 3 anaknya. Lagi, sembari bermain bola yang penuh teriakan beberapa kali kata-kata itu plus umpatan-umpatan lainnya meluncur deras dari anak-anak ini. Mengherankan buat saya karena saat itu sama sekali tidak ada teguran dari orang tuanya, bahkan umpatan yang kurang lebih sama keluar juga dari mulut sang ayah.

Jika ada yang berpendapat bahwa ucapan-ucapan kotor itu hal biasa dan bukan karena pengaruh penguasaan gadget maka itu mungkin benar tapi tidak sepenuhnya benar, karena di lain ketika dan di lain tempat, saya bertemu lagi dengan anak-anak yang lain yang juga sedang bermain gadget. Mereka sedang menonton tayangan gamer yang sedang memainkan suatu permainan, dan dari mulut gamer itu keluar umpatan-umpatan seperti yang pernah saya dengar itu.

Itu aktifitas anak-anak yang saya tau namun saya paham juga bahwa belum tentu itu yang dialami semua anak. Saya yakin masih banyak anak-anak yang mau berprihatin dan disiplin dengan dunia belajar mereka. Ini tidak bisa digebyah uyah. Namun keprihatinan tentang anak-anak yang punya kecenderungan negative itu juga ada yang di tengah kesulitan belajar normal di kelas masih juga minim kehendak untuk mengimbanginya dengan belajar di rumah.

Jika kita merujuk pada norma maka kita akan membuka sedikit Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada pasal 4 dikatakan:

  • --
  • --
  • --
  • Pendidikan diberikan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran;
  • Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,  menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat;
  • Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Pada tiga ayat terakhir di atas jelas dikatakan tentang prinsip penyelenggaraan Pendidikan. Apa yang dilakukan dalam suatu system pembelajaran jelas tertulis di sana, terutama pada ayat (4) tentang keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreatifitas peserta didik. Lalu pada ayat (5) tentang mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung. Manakala Proses pembelajaran normal tidak memungkinkan maka diperlukan cara istimewa agar siswa tetap bisa dan mau belajar. Saya ingin memberikan pada MEMBANGUN KEMAUAN. Sungguh, membangun kemauan belajar benar-benar sulit.

Tidak perlu tafsir berlebih untuk menyimpulkan siapa saja yang berperan dalam proses pembelajaran bagi peserta didik. Jelas bahwa ini menjadi tanggung jawab bersama antara regulator sebagai penyelenggara Pendidikan, sekolah sebagai pelaksana di lapangan dan tentu saja orang tua peserta didik serta masyarakat luas.

Dari survey kecil-kecilan yang saya lakukan setelah melihat penyelenggaraan PJJ di sekitar tempat tinggal saya, saya masih berharap saya salah menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Pendidikan di masa pandemic ini bukan saja berjalan pincang tapi juga ngesot. Yang menjadi pokok keprihatinan adalah dengan pembelajaran normal yang tidak berjalan, tidak cukup ada upaya untuk menutup kekurangan itu. Saya kunjungi beberapa rumah kerabat dan teman (jangan khawatir, saya tetap menjalankan prokes) tidak pernah melihat atau mendengar percakapan tentang pelajaran. Jangankan tentang pelajaran dan kemudian belajar, tentang sekolah saja tidak pernah dibahas.

Suatu pagi saya sempat berbincang dengan seorang anak SMP. Saya tanyakan apakah pelajaran sudah full tatap muka dan dia menjawab belum, masih bergantian masing-masing seminggu, katanya. Lalu saya bertanya kembali berapa mata pelajaran satu hari. Dia menjawab hanya dua. Saya masih bertanya lagi berapa jam pelajaran masing-masing mata pelajaran? Dia menjawab dengan ragu, kayanya tidak sampai satu jam tiap pelajaran. Karena dia menjawab dengan ragu saya bertanya lagi, jam berapa masuknya? Dia jawab jam setengah tujuh (06.30). Ketika saya tanyakan jam pulangnya dia menjawab jam setengah sepuluh (09.30). Saya tanyakan pula apakah ada jam istirahat dan dijawab tidak ada. Itu kan hal mudah, berarti total jamnya adalah tiga jam dan dibagi dua mata pelajaran berarti masing-masing satu setengah jam (1 jam dan 30 menit). Berarti masing-masing mata pelajaran ditempuh selama dua jam pelajaran yang masing-masing empat puluh lima menit. Hal semudah itu, bahkan sesuatu yang dia jalani, apa yang dia lakukan sendiri dia tidak mengerti.

Sejujurnya saya justru melihat kenyamanan orang tua murid dan murid itu sendiri saat diberlakukan PPKM pada minimal level 3. Nyaman di rumah, tak perlu ke mana-mana. Saya tidak bermaksud tendensius, tapi kecenderungan itu ada. Ada sambutan gembira saat diberlakukan Work From Home (WFH) bagi pekerja dan Pembejalaran jarak jauh bagi siswa, seolah WFH dan PJJ sama dengan libur. Saya banyak mendengar cerita tentang berebut jadwal WFH sekaligus teriakan YYYEEEAAAYYY oleh anak-anak saat diberi tahu tentang pemberlakuan PJJ. Sebaliknya ada nada tidak puas seperti, YAAAHHH... udah ga ada WFH dan HHHMMMHHH besok udah masuk sekolah, lagi... Ini terjadi...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun