Mohon tunggu...
Petrus Bharoto Kesowo
Petrus Bharoto Kesowo Mohon Tunggu... Human Resources - Professional

Belajar Hukum dan senang seni menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

WFH dan PPJJ (Sebuah Catatan Ringan)

16 Maret 2022   15:08 Diperbarui: 16 Maret 2022   15:14 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Interaksi antar teman sekolah tak berhenti di pukul 12.45. Saat yang lain langsung menuju ke shelter kendaraan umum atau menuju parkiran sekolah atau lagi langsung menuju kendaraan yang menjemput, sebagian lainnya masih enggan beranjak dari tempatnya. Ada yang kumpul di lobby  dan ada yang pilih ke teras kelas. Ada saja hal yang dilakukan. Mulai dari buka-buka buku pelajaran lagi hingga hanya sekedar ngobrol becanda ringan. Barulah setelah perut merasa lapar, mereka akan menuju pulang.

Kegiatan Extra kurikuler adalah salah satu momen yang juga ditunggu oleh para siswa. Mengapa? Karena kegiatan extra kurikuler adalah saat bagi para siswa menjadi dirinya sendiri di sekolah. Biasanya sekolah menyediakan beberapa kegiatan extra kurikuler, mulai dari marching band, paduan suara, teater, tari, olah raga prestasi, komputer yang waktu itu masih sangat sederhana dibanding sekarang, bahkan baris berbaris dan siswa diberikan kebebasan memilih kegiatan yang disukai. Para siswa diberi kebebasan menentukan berdasarkan minatnya. Beda dengan pelajaran wajib di dalam kelas saat suka atau tidak suka harus "dimakan". Peminat sejarah harus mau belajar Kimia, peminat matematika harus tekun belajar sastra dan lain-lain.

Kegiatan OSIS juga tak kalah penting turut membentuk karakter dan kemampuan siswa di bidang non akademik, terutama belajar kepemimpinan. Saya sendiri cukup aktif di OSIS SMA dengan jabatan sebagai Sekretaris Bidang Perikehidupan Berbangsa dan Bernegara. Banyak kawan-kawan aktifis OSIS di sekolah saya dulu sangat menonjol kepemimpinannya, baik di lingkungan kerja maupun dalam pergaulan. Kami masih sering kumpul demi menjaga silaturahmi.

Yang mau saya sampaikan adalah interaksi positif antara guru dengan guru, guru dengan siswa, dan yang lebih penting interaksi siswa dan siswa. Tak jarang ada chemistry terjalin antar siswa beda gender dan akhirnya memutuskan untuk pacaran dan sejauh yang saya tau, itu baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan saya cenderung berpendapat, chemistry yang seperti ini energinya luar biasa besar. Siswa akan lebih sering belajar, mengerjakan PR, ulangan harus bagus, datang ke sekolah harus lebih pagi dan lain-lainnya. Malu dong kalau punya pacar di sekolah yang sama atau bahkan di kelas yang sama tapi prestasi akademiknya biasa-biasa saja atau bahkan jeblog?

Sekarang mari kita lihat keadaan sekarang? Dengan sekolah daring atau Pembelajaran Jarak Jauh, apakah yang didapatkan? Seratus persen atau tujuh puluh lima persen dari pengalaman menakjubkan yang saya urai di atas? Lima Puluh Persen? Kurang? Dua puluh lima persen? Entahlah, sulit mengukurnya.

Sewaktu keponakan saya mulai masuk sekolah beberapa waktu lalu saya sempat ledekin, saya bilang begini, "Sebelum berangkat buka dulu HPnya, buka aplikasi CARA BERKENALAN DENGAN TEMAN SEKOLAH". Tapi dia tidak bereaksi karena sibuk dengan persiapannya.

Jelas bahwa ada perjuangan berat yang harus dilalui anak-anak kita untuk mengejar ketertinggalan akademik mereka. Bukan hanya anak-anak sebenarnya, tapi juga para pengajar, dan inipun akan semakin berat jika tidak didukung oleh orang tua dan lingkungan serta tak lupa regulator di dunia Pendidikan. Banyak ketidaksempurnaan yang harus diperbaiki selama metode pembelajaran jarak jauh diterapkan.

Diakui atau tidak, itulah yang terjadi. Ada banyak hilang yang harus disambung ulang. Dari obrolan saya dengan beberapa teman guru ada beragam pendapat tentang kedalaman serapan dari metode PJJ ini. Saya obrolkan ini dengan beberapa teman pengajar, yang masing-masing aktif mengajar di strata yang berbeda dan di kota yang masing-masing berbeda. Rata-rata info yang saya dapat daya serap terhadap materi hanya mencapai di bawah 50% dengan dua orang di antara teman saya hanya mangamini tanpa menyebut angkanya. Dari 50% itu akan menjadi berada di kisaran 75% hingga 90% jika mengambil kelas privat atau les. Bahkan bisa mencapai 99% jika siswanya memang cerdas.

Dari obrolan itu pula saya mendapatkan banyak informasi tentang kendala-kendala pelaksanaan PJJ ini:

  • Handphone atau gadget atau gawai yang tidak support untuk melakukan pembelajaran jarak jauh ini. Memang dibutuhkan alat yang memadai untuk bisa mengikuti PJJ ini dan kita paham, belum semua orang tusa siswa memiliki kemampuan untuk menyediakan sarana ini, sehingga PJJ yang biasa menggunakan Google Meet, Zoom ataupun Google Class Room sudah harus terkendala di awal.
  • Tidak adanya paket data, ini alasan yang sering sekali muncul. Kita maklum, di masa susah seperti ini mungkin beras lebih diperlukan untuk dibeli dibanding paket data.
  • Berikutnya adalah susahnya signal/ sinyal. Di beberapa daerah memang masih diketemukan kendala signal ini. Di perkotaan tentu kendala signal terhitung minim, meski bukan berarti tidak ada kendala.
  • Dukungan orang tua. Saya sedikit terkejut bahwa kendala ini ada. Ada semacam masa bodoh, apakah anaknya mau belajar atau tidak. Ini pun saya tidak berani menyalahkan seratus persen kepada orang tua karena orang tua pasti punyA alasannya sendiri.
  • Fokus belajar si anak. Belajar dengan mengandalkan gawai di rumah tentu tidak semudah menghadapi guru dan buku di dalam kelas. Tentu kita bisa pahami itu semua.
  • Tugas dikerjakan oleh orang tua. Ini banyak terjadi. Beberapa cerita, tugas yang (tentu saja) diselesaikan di rumah dikerjakan dengan baik, semuanya rapi dan lengkap, tapi saat dilakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Si Siswa ternyata belum menguasai materi. Bahkan di jenjang SD ada siswa yang ternyata belum lancar menulis kendati nilai tugasnya bagus-bagus, jadi siapa yang mengerjakan tugas. Ini pun saya tidak mau menyalahkan orang tua 100%. Bisa jadi orang tua sudah lelah setelah seharian bekerja dan alih-alih mengajari anak mengerjakan tugas, biar cepat maka orang tua lah yang mengerjakan.

Tidak semua orang tua mampu untuk menitipkan anak-anak les, maka beruntunglah siswa  yang orang tuanya mampu dan mau memberikan tambahan waktu belajar di tempat les. Sementara bagi yang tidak bisa harus pasrah dengan kemampuan yang seadanya. Semoga saja mereka terus memelihara semangat juang mengejar apa yang mereka inginkan di masa depan.

Kembali ke angka prosentase serapan di atas, apakah angka prosentase ini valid sebagai hasil survey secara statistik sebelumnya saya juga tidak menjamin. Namun dengan sedemikian banyak permasalahn yang diungkapkan teman-teman pengajar, bisa jadi angka-angka itu benar adanya. Tapi bukan itu intinya, karena sebenarnya yang kita bahas di sini adalah pentingnya pendemi ini segera diakhiri agar anak-anak kita bisa segera kembali ke sekolah. Belajar sebagaimana seharusnya. Berteman sebagaimana mestinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun