Raja Ampat, hiduplah seorang nelayan sederhana bernama Pak Umar. Setiap hari, ia melaut dengan perahu kayu tua yang diwarisi ayahnya. Perahu itu tak hanya alat untuk mencari nafkah, tetapi juga warisan penuh cerita yang menjadi penghubung erat dengan ayahnya yang sudah tiada.
Di Arborek, sebuah kampung kecil diPak Umar adalah pria bersahaja, dengan kulit legam akibat terbakar matahari dan senyum ramah yang tak pernah luntur. Meski penghasilannya pas-pasan, ia memiliki satu impian besar: menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin, agar kelak mereka memiliki kehidupan yang lebih baik.
Pak Umar punya tiga anak: Siti, Arman, dan Nisa. Siti adalah anak tertuanya yang sedang duduk di bangku SMA. Ia bercita-cita menjadi guru agar bisa membantu anak-anak kampung memahami dunia lebih luas. Arman, anak keduanya, memiliki minat besar pada biologi dan bermimpi menjadi dokter. Sedangkan Nisa, si bungsu yang baru masuk sekolah dasar, bercita-cita menjadi ahli konservasi laut setelah mendengar cerita ayahnya tentang keindahan terumbu karang.
Setiap malam, setelah selesai membetulkan jaring ikan, Pak Umar duduk di beranda rumah kayunya. Di sana, ia sering berbincang dengan Siti sambil menatap laut.
"Siti, kau harus belajar sungguh-sungguh. Jangan seperti Bapak yang hanya tahu cara menangkap ikan," ujarnya dengan lembut.
"Tapi, Pak, aku ingin jadi guru di sini. Aku ingin membantu anak-anak di kampung ini belajar," jawab Siti mantap.
Pak Umar terdiam sejenak, hatinya bercampur antara bangga dan cemas. Biaya sekolah Siti sudah cukup berat, apalagi jika nanti Arman dan Nisa menyusul. Namun, ia tidak pernah mengeluh, memilih menyimpan kegundahannya di dalam hati.
Setiap pagi, ia pergi melaut sejak fajar. Laut Raja Ampat yang biru dan tenang menyimpan keindahan yang tak terlukiskan. Terumbu karang berwarna-warni, ikan-ikan eksotis yang berenang bebas, dan sinar matahari yang menembus air menciptakan panorama yang menenangkan. Namun, hasil tangkapannya semakin lama semakin sedikit. Nelayan modern dari luar kampung menggunakan alat tangkap canggih yang merusak ekosistem laut. Pak Umar mulai merasa perjuangannya semakin berat.
Suatu hari, saat hendak melaut, ia mendengar tentang pelatihan ekowisata yang diadakan oleh pemerintah setempat. Pelatihan ini bertujuan melatih warga mengenal keindahan bawah laut Raja Ampat sekaligus membuka peluang baru sebagai pemandu wisata.
Pak Umar, meski merasa ragu pada awalnya, memutuskan untuk bergabung. Ia tahu, ini adalah kesempatan untuk memberi masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Pada pelatihan itu, ia belajar tentang biota laut dan cara menjelaskan keindahan alam kepada wisatawan. Awalnya, Pak Umar merasa canggung. Ia takut salah bicara atau tidak bisa menjawab pertanyaan wisatawan. Namun, lambat laun, kepercayaan dirinya tumbuh. Dengan senyum tulus dan pengetahuannya yang semakin luas, ia menjadi salah satu pemandu wisata andalan di kampungnya. Pendapatannya meningkat, dan ia bisa menabung untuk biaya pendidikan anak-anaknya.