Mohon tunggu...
Petrus Rabu
Petrus Rabu Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Harapan adalah mimpi dari seorang terjaga _Aristoteles

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mungkinkah Tim Pemeriksa Kesehatan Calon Kepala Daerah Kena Cipratan "Mahar Politik"?

15 Januari 2018   23:05 Diperbarui: 15 Januari 2018   23:27 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: nasional.tempo.co

Proses pendaftaran calon kepala daerah baik provinsi maupun  kabupaten/kota yang diusung partai politik telah rampung dilaksanakan  oleh Komisi Pemilihan Umum. Untuk sementara tercatat 569 peserta calon  kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terdaftar di KPU. Selanjut  KPU akan melakukan tahapan pemerikasaan kesehatan dan penyampaian  hasil kini sedang berlangsung.

Sesuai peraturan KPU Nomor 1  Tahun 2017 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada  tahun 2018 maka tahapan ini berakhir tanggal 16 Januari 2018 terkait  penyampaian hasil pemeriksaan.Tahapan pemeriksaaan kesehatan  atau pemeriksaan medis ini penting dilakukan dan  merupakan hal hakiki  yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilukada sehingga hasil Pemilukada  ini benar-benar melahirkan pemimpin atau kepala daerah  baik provinsi  maupun kabupaten/kota yang sehat jasmani dan rohani.

Sehat  secara jasmani maksudnya secara fisik para calon kepala daerah atau  wakil kepala daerah tersebut jika terpilih tidak mengalami gangguan  kesehatan seperti cacat fisik dan menderita penyakit-penyakit tertentu  sehingga mampu menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan denga baik,  segar, fit dan energik. Bayangkan jika kepala daerah dan wakil kepala  daerahnya sakit-sakitan maka mustahil kepala daerah itu selalu hadir dan  ada ditengah-tengah masyarakat. Atau bisa jadi keuangan daerah hanya  dihabiskan untuk membiayai pengobatan sang kepala daerah atau wakil  kepala daerah.

Tidak saja fisik atau jasmani, secara psikis atau  rohani atau jiwa seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah  juga  harus sehat. Kepala daerah yang pikiran jernih dan segar untuk  berinovasi.  Dan bukan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang  mengalami gangguan mental atau gangguan psikologis lainnya. Masa rakyat  mau dipimpin orang gila atau tidak sehat jiwanya. 

Pemeriksanaan  ini juga penting agar para calon kepala daerah dan kepala daerah siap  kemenangan dan kekalahan sebagai konsekwensi dari sebuah pertarungan.   Dan bukan sebaliknya tidak terima kekalahan yang berujung pada stress  dan kegilaan.

Bagi saya inilah nafas pokok kenapa undang-undang  mengamanatkan agar para calon kepala daerah harus melewati tahapan  pemeriksaan medis atau kesehatan yang benar-benar teliti dan cermat.

Perintah  Undang-Undang ini pun diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum yang  secara tekninya dilaksanakan Tim Medis yang terdiri dari para dokter  dari berbagai latarbelakang ilmu kesehatan bahkan juga didalamnya  terdapat anggota dari Badan Narkotika Nasional/BNN.  Bukan tak beralasan  karena ini merupakan tim independen dan bebas dari kepentingan apapun.  Karena itu hasilnya pun diharapkan benar-benar bebas dari kepentingan  dan subyek interest/interest pribadi.

Namun ditengah maraknya  isu fenomena "mahar politik" saat pendaftatan pasangan calon atau paslon  memunculkan tanya, "Mungkinkah Fenomena Mahar Politik Terpecrik ke Tim  Pemeriksaan Kesehatan Pasangan Calon? Bukankah tim ini adalah tim  independen, bekerja sesuai kode etik dan prosedural? Masa bisa  dipengaruhi "mahar-maharan?" Ini adalah pertanyaan biasa. Bisa dijawab.  Bisa juga tidak. Tapi namanya politik bisa saja hal itu terjadi.

Untuk menjawabi hal ini dan tidak menjadi polemik yang panjang mari kita lihat fakta dan data berikut ini.

Masih ingatkah kita kasus Mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Nofiadi? Rabu,  17 Pebruari 2016, Ahmad Wazir Nofiadi, Bupati Ogan Ilir yang berpasangan dengan H.M. Ilyas Panji Alam, SH,. SE., MM selaku wakil  bupati maju dan mengucapkan sumpah janji sebagai Bupati Ogan Ilir masa  bhakti 2016-2021 dihadapan Gubernur Sumatera Selatan.

Majunya AW  Nofiadi yang merupakan putra mantan bupati Ogan Olir  H. Mawardi Yahya  tersebut pada  Pemilukada serentak Ogan Hilir 2015 bukan tanpa melalui  tahapan pemeriksaan kesehatan.   PKPU No 3/2013 tentang pencalonan, maka  KPU berkoordinasi dengan IDI, BNN dan Himpunan Psikologi Indonesia  untuk melakukan pemeriksaaan kesehatan para kontestan pemilukada. Dan  tentu Nofiadi melewati tahap ini.

Karena AW Nofiadi lolos bersama tiga calon bupati lain dan wakil bupati  lain untuk meramaikan pesta demokrasi di kabupaten OI kala itu. Bahkan  AW Nofiadi sukses meraih suara terbanyak dan berhak memimpin Kabupaten  OI bersama wakilnya H.M Ilyas Panji Alam, SH, SE, MM.

Sayangnya  satu bulan usai pelantikan oleh Gubernur Sulsel tepatnya tanggal 15  Maret 2016, AW Nofiadi tertangkap BNN karena sedang menggelar pesta  sabu. Akhirnya pun ditahan. 

Lain lagi dengan nasib Wakil  Bupati terpilih Grobongan, Edy Maryono yang berpasangan dengan Bupati,  Sri Sumarni terpilih untuk memimpin Grobongan pada pemilukada 2015. Sayangnya  Edy Maryono tak sempat merasakan indahnya saat dilantik menjadi wakil  bupati Grobongan karena tiga hari sebelum pelantikan tepatnya  tanggal  11 Maret 2016, Edy menghembuskan nafas terakhir lataran sakit jatung.  (Baca)

Dari  data-data ini tak salah jika saya memiliki praduga tak bersalah:   Pertama, bahwa fenoma mahar politik yang mewarnai perjalanan demokrasi  di tanah air, bukan tak mungkin merembes juga pada semua tahapan  pemilukada termasuk tahapan pemeriksaan kesehatan paslon.  

Kedua,praduga saya sangat kuat ketika menyimak kasus Mantan Bupati AW  Nofiafi. Mungkinkah tim medis lalai saat itu? Masih mungkinkah tim medis  yang punya berbagai latarbelakang ilmu baik dokter, ahli narkotika dan  psikologi memberikan rekomendasi kepada calon yang terlibat narkoba?  Ataukah ada pengaruh "mahar" politik disana?  Saya tidak tahu. Tapi  faktanya sebelum sebelum pelantikan AW Nofiadi ditangkap. 

Ketiga, untuk kasus ini dugaan saya sangat kecil karena Edy Maryono meninggal  karena sakit jantung. Tapi sekali lagi akal sehat saya bertanya. Kenapa  tim medis yang dilengkapi sarana yang memadai tak bisa mendeteksi gejala  awal soal penyakit jatung tersebut.  Jika saja mereka tidak lalai  mungkin saja mereka akan terus mendampingi paslon atau setidaknya  rekomendasi untuk perawatan rutin. Ataukah ada juga "mahar politik"  terpercik disana? 

Berkaca pada pilkada 2015 sebagai uraian  diatas, mungkinkah Tim Medis Pemeriksaan Kesehatan para Calon Kepala  Daerah yang berkompetisi pada Pemilukada 2018 kena cipratan "Mahar Politik"   juga? Yang kini lagi marak diberitakan media masa baik cetak maupun  elektronik. Semoga saja dugaan saya salah. Tapi benar atau salahnya nanti waktu yang membicarakan.

#Salam Demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun