Hegemoni parpol dalam penentuan calon pemimpin mengaburkan hal ini. Dampaknya banyak kepala daerah terjebak dalam kasus-kasus korupsi. Pelayanan publik terabaikan. Roda pembangunan dan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat berjalan di tempat.
"Selama tiga tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi ini sudah 33 kepala daerah yang terjerat korupsi, selama KPK ada sudah 351 kepala daerah yang tertangkap belum lagi anak dan istrinya,"  ujar Menteri Dalam Negeri, Cahyo Kumolo (sebagaimana dikutip Bisnis.com  26/9/2017).
Memang "mahar politik" bukan satu-satunya penyebab para kepala daerah terjebak dalam kasus korupsi. Tapi setidaknya proses perekturan awal juga menentukan hasil. Kata orang bijak awal baik maka hasil pun baik. Lao Tzu berkata perjalanan beribu-ribu mil ke depan berawal dari suatu langkah yang sederhana.
Kembali  ke masalah "mahar politik." Berdasarkan pengamatan riil penulis sebenarnya ada dua tipe "mahar politik" antara lain mahar langsung dan mahar tidak  langsung.Â
Mahar Langsung
Mahar langsung adalah mahar yang harus dibayar oleh calon pada saat pendaftaran. Kasus La Nyalla adalah termasuk dalam tipe ini. Mahar dalam tipe ini sebagai wujud komitmen politik untuk mendapatkan rekomendasi parpol. Tipe ini sebenarnya baik karena kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan. Parpol mendapatkan fresh money sedangkan calon mendapatkan rekomendasi.Â
Sayang tipe ini tidak mengakomodir kader-kader partai ataupun non partai yang berkualitas hanya karena minim materi. Yang diakomodir adalah kaum-kaum bermodal atau kaya secara finansial yang belum tentu kaya hati. Dampaknya lahirlah pemimpin yang tidak sesuai harapan masyarakat.
Mahar Tidak Langsung
Sebenarnya tipe ini sama dengan tipe pertama. Hanya saja mahar dalam tipe ini dibayar setelah calon terpilih sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah ataupun setelah menjadi anggota legislatif.Â
Hanya saja prakternya berbeda. Jika pada tipe pertama calon harus membayar sejumlah uang kepada parpol dalam bentuk fresh money tetapi dalam tipe kedua atau tipe tak langsung ada komitmen kedua belah untuk dibayar setelah calon terpilih dalam proses pemilihan. Masyarakat luas menamainya sebagai "politik balas budi."Â
Dalam  tipe ini calon terpilih tidak saja menyerahkan sejumlah uang kepada partai pengusung tetapi juga mengintervensi proses penyelenggaraan pemerintahan baik menentukan jabatan strategis dalam pemerintahan maupun  memintah "jatah" proyek atau kegiatan dengan dalih "balas budi."