Namun pada sisi lain pelaksanaan pesta demorasi atau pemililahan kepala daerah atau wakil kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten tetap menemukan kecurangan dan hasilnyapun mengabaikan kepentingan bersama yakni kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat pasca pelaksanaan pemilukada.Â
Kelemahan pemilukada secara langsung ini pernah diutarakan oleh juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Dodi Riatmadji. Â Sebagaimana yang dilansir Sindonews Tanggal 13 April 2014 menjelaskan dampak negatif dari pemilihan kepala daerah langsung adalah maraknya perilaku korupsi kepala daerah terpilih. "Pada disertasi Mendagri tersebut ada korelasi korupsi oleh kepala daerah dengan besarnya biaya pengeluaran dalam pemilukada (pemilihann umum kepala daerah)," kata Dodi Riatmadji. Â
Dodi juga memaparkan, ekses negatif lain pemilihan kepala daerah secara langsung sejak 2005, sedikitnya ada 327 kepala daerah yang terseret kasus hukum. Sebanyak 80 persen karena kasus korupsi. Dia menambahkan, dampak pemilihan kepala daerah langsung adalah rawan konflik horizontal. Menurutnya, banyak jiwa melayang sia-sia dampak pemilihan langsung tersebut. Â Hal lain kata Dodi marak terjadi mutasi pejabat. Lanjutnya, Kepala daerah terpilih biasanya menyingkirkan pejabat yang bukan pendukukugnya ketika proses pencalonan. Banyak mutasi pejabat tanpa pertimbangan.
Beberapa kenyataan dilapangan memperlihatkan masih ada ketimpangan dalam pelayanan pembangunan di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dan parahnya pada era demokrasi dimana rakyat menentukan pemimpinnya justru kasus korupsi terus meningkat dan menjadi borok yang ditakutkan. Sebagaimana borok pasti lambat laun akan memperkeruh suasana dan cita-cita dalam mewujudkan pembangunan daerah yang berasaskan pada kepentingan bersama.Â
Pada tahun 2009, Transparancy International Indonesia mengumumkan bahwa Indeks Peringkat Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2009 berada pada posisi 111 dari 180 negara di dunia.Â
Sedangkan untuk lingkungan ASEAN, Indonesia berada pada peringkat 5 dari 10 negara ASEAN yaitu Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand yang berada pada posisi 1-4, sedangkan Vietnam, Filipina, Kamboja, Laos, dan Myanmar yang menempati posisi 6-10. Data lain pasca pemilukada langsung adalah berasal dari hasil penelitian dari Governance Assessment Survey pada tahun 2006 di sepuluh provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa persepsi masyarakat tentang pelayanan publik masih sangat buruk. Yang lebih mengejutkan ialah bahwa sebagian besar responden mengatakan bahwa penyebab kegagalan usaha di daerah ialah birokrasi yang korup (41,7%), kepastian hukum atas tanah (33,1%), dan regulasi yang tidak pasti (25,2%). Informasi ini jelas menunjukkan bahwa pelayanan publik di daerah belum berhasil menjadi penggerak investasi.Â
Ini artinya apa? Kita gagal dalam melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kita gagal dalam menentukan pilihan dalam menentukan pemimpin bangsa dan daerah. Â
Lalu apa yang harus kita lakukan. Ingat 2018 kita akan meggelar pelaksanaan pemilukad tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.Â
Pesta Demokrasi 2018 dan Peran Penyelenggara Pemilu
Pertanyaan, apakah kita membiarkan hasil pemilukada 2018 sebagaimana yang diutarakan diatas. Bukan hal baru bahwa ambisi kekuasaan dan jabatan membuat paslon/pasangan calon kalap mata.