Mohon tunggu...
Petra Kristi Mulyani
Petra Kristi Mulyani Mohon Tunggu... Dosen - Associate Professor, Researcher, Civil Servant

Peneliti dalam bidang Curriculum and Instruction (Language, Literacies, and Culture). Dosen PGSD FIP Universitas Negeri Semarang. Alumni Southern Illinois University Carbondale (Ph.D.) dan the University of Arkansas (M.Ed.) di Amerika Serikat. Alumni beasiswa Fulbright DIKTI program doktoral dan USAID program master.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

"Sekolah Masa Pandemi" Akibatkan Siswa Sulit Belajar Membaca?

21 Desember 2021   22:55 Diperbarui: 21 Desember 2021   23:51 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dapatkah kita mengkambing-hitamkan model sekolah di masa pandemi sebagai faktor utama dan pertama penyebab siswa sulit belajar membaca? Apakah faktor lain kemudian dikesampingkan, ataukah tetap perlu menjadi pertimbangan?

Pandemi telah menjadi momok bagi hampir sebagian besar negara di seluruh penjuru bumi karena dampaknya yang mempengaruhi segala sektor kehidupan masyarakat. Sektor ekonomi, keamanan, kesehatan, bahkan pendidikan tidak luput dari serangan pandemi. Selama pandemi, peminimalan pembelajaran tatap muka telah merubah model pembelajaran yang telah dilakukan selama beberapa dekade terakhir. 

Manajemen pengelolaan pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan sarana tatap muka, kemudian dipaksa melakukan loncatan untuk diselenggarakan sebaliknya. Saat sebelum pandemi, siswa dapat langsung berinteraksi dengan guru dan teman. Sekarang pembatasan dilakukan dengan berbagai cara agar kegiatan pembelajaran tetap terlaksana, namun tidak mengakibatkan resiko iringan yang membahayakan keselamatan jiwa.

Sebagian pelaku sektor pendidikan merasa bahwa pandemi memberikan dampak yang sangat nyata. Pelaksanaan pembelajaran di luar ruang kelas dengan tanpa bimbingan langsung oleh guru sering dirujuk sebagai indikator pertama dan utama atas turunnya kualitas siswa. Pandemi ini kemudian membuat kalangan pelaku sektor pendidikan merasa bahwa pendampingan langsung oleh guru saat pertemuan tatap muka adalah kunci efektifitas and efisiensi proses belajar. Interaksi langsung antara guru dan siswa maupun antar sesama siswa dianggap menjadi faktor utama yang mendukung proses berpikir dan analisa berkesinambungan oleh siswa, yang kemudian menentukan level penguasaan pengetahuan dan keterampilan.

Dampak pandemi ini kemudian dirasa semakin nyata saat sebagian pelaku pendidikan menemui penurunan kemampuan membaca siswa. Kemampuan membaca siswa dirasa sangat berbeda dibandingkan saat sebelum pandemi melanda. Minimnya kesempatan bertatap muka dengan siswa sering membuat guru merasa tak berdaya dan tidak maksimal dalam mengumpulkan data kemajuan perkembangan siswa, mengkontrol pencapaian target kemampuan membaca siswa, maupun menganalisa dan mencipta solusi sesuai dengan problema kemampuan membaca dari masing-masing siswa. Untuk itulah maka pembelajaran non tatap muka ini sering menjadi kambing hitam pertama dan utama yang menyebabkan siswa sulit belajar membaca.

Pertanyaannya adalah, apakah benar faktor pembelajaran tatap muka menjadi satu-satunya kunci keberhasilan siswa dalam belajar membaca? Apakah pandemi bisa disalahkan sebagai penyebab utama atas ketidak berhasilan siswa dalam pelajaran membaca? Berikut adalah faktor-faktor yang perlu menjadi pertimbangan sebelum menjadikan pandemi dan pembelajaran tanpa tatap muka sebagai faktor utama penyebab siswa kesulitan belajar membaca.

Walau sekitar sepuluh juta siswa mengalami kesulitan dalam belajar membaca, sekitar sembilan puluh persennya dapat mengatasi kesulitan jika mereka menerima perlakuan yang tepat semenjak usia dini (Drummond, 2021). Menganalisa pernyataan ini, pelaku sektor pendidikan perlu melakukan refleksi lebih lanjut terkait dengan perlakuan kesulitan membaca yang selama ini telah dilakukan. 

Apakah siswa telah mendapatkan bantuan mengatasi kesulitan membaca sesuai dengan kebutuhan mereka yang berbeda? Apakah bantuan tersebut telah terlaksana sejak siswa di usia dini? Apakah bantuan tersebut tepat dan dilakukan oleh ahli yang telah melakukan analisa sebelum perlakukan tindakan? Apakah proses dalam mengatasi permasalah kesulitan membaca dievaluasi sesuai dengan perkembangan masing-masing siswa? Apakah hasilnya juga dilakukan evaluasi dan refleksi tindak lanjut sesuai dengan kebutuhan individu siswa?

Peran guru tidak dapat dijadikan satu-satunya pilar dalam meningkatkan kemampuan siswa untuk membaca. Keberhasilan maupun kegagalan belajar siswa dalam membaca tidak bisa hanya ditumpukan tanggung jawabnya kepada guru. Orang tua harus berperan aktif dalam mensukseskan upaya siswa dalam meningkatkan keterampilan membaca. Artinya bahwa orang tua tidak hanya memberikan dukungan secara moral namun juga memerlukan tindakan nyata. Sumber-sumber yang dapat digunakan untuk mengasah keterampilan membaca harus tersedia di rumah. 

Sumber-sumber ini tidak harus dimiliki atau dibeli. Peminjaman dari perpustakaan sekolah, kota, ataupun daerah juga memungkin bagi orang tua untuk menyediakannya bagi anak di rumah. Lingkungan rumah juga harus mendukung anak untuk mengasah keterampilan membaca. Hal-hal rutin dapat dilakukan seperti membacakan buku sebelum tidur, mengalokasikan waktu bersama untuk membaca, menghentikan semua kegiatan yang tidak terkait dengan jadwal membaca bersama di rumah, melakukan komunikasi secara terbuka dengan anak terkait dengan hambatan/perasaan/kecemasan yang mereka hadapi saat membaca, dsb.

Setiap siswa memiliki kemampuan, latar belakang, ketertarikan, dan kecepatan yang berbeda saat belajar membaca. Namun perbedaan setiap siswa tidak serta merta dibarengi dengan upaya sekolah dan pemerintah dalam memfasilitasi keberagaman mereka. Apakah ada analisa kemampuan membaca yang terlaksana di sekolah sebelum siswa melakukan hari pertama pelajarannya? 

Apakah pemerintah mewajibkan adanya analisa oleh sekolah mengenai kemampuan membaca siswa sebelum mereka masuk di hari pertama sekolahnya? Apakah ada kebijakan mengenai analisa berkala di semua sekolah tentang kemampuan membaca siswa secara nasional maupun lokal untuk dibandingkan dengan kemampuan siswa internasional? Jika semua analisa ini tidak tersedia, lalu bagaimana siswa dapat menerima perlakukan yang tepat sesuai dengan kebutuhan belajar membaca mereka? Tentu adalah hal yang tidak mungkin bagi guru untuk membedakan perlakukan belajar membaca setiap siswa secara tepat jika tidak dibantu oleh tim ahli yang memiliki waktu dan keterampilan untuk menganalisa kemampuan membaca siswa.

Banyak hal yang menjadi faktor untuk mempertimbangkan apakah pandemi menjadi faktor utama dan pertama sebagai kambing hitam hasil kemampuan membaca siswa yang menurun. Kesulitan belajar membaca tentu dipengaruhi oleh ketiga faktor yang telah terurai di atas, baik di masa pandemi maupun sebelum pandemi. Walau pandemi menjadikan kondisi pembelajaran menjadi semakin menantang karena tidak mungkinnya dilakukan tatap muka dengan siswa, pelaku sektor pendidikan harus mempertimbangkan ketiga faktor di atas dengan lebih seksama. Ketiganya tentu perlu disikapi dan ditanggulangi secara berbeda di masa pandemi. Namun bukan berarti faktor-faktor penyebab kesulitan belajar membaca siswa tersebut diabaikan begitu saja dengan hanya menyalahkan pandemi sebagai penyebabnya.

Hendaknya kita sebagai pelaku sektor pendidikan lebih bijaksana dalam menyikapi kesulitan belajar membaca siswa di masa pandemi ini.


Penulis
Petra Kristi Mulyani, Ph.D.
Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Semarang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun