Mohon tunggu...
Petra Teofani
Petra Teofani Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Senja tak pernah menguasai hari, namun ia mengguratkan rindu pada sanubari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Di Antara Hidup dan Mati

11 Maret 2022   00:16 Diperbarui: 20 Februari 2023   00:50 2151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menyadarinya sebelum itu terjadi. Kilasan lampu yang menyilaukan dari sisi kananku. Klakson yang menulikan telingaku. Aku melihatnya menerjang ke arahku bak singa buas yang kelaparan. Tak sabar memangsaku. Dengan semua itu di depan mataku, bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?

Ketika hal itu terjadi, ketika aku sampai pada detik yang mungkin menjadi detik terakhir dalam hidupku, aku tidak merasakan apa-apa. Rasa sakit yang kuharapkan menyengatku tak kunjung tiba. Padahal aku sudah membayangkan rasanya akan seperti tersengat tiang listrik.

Sebagai ganti rasa sakit, sebuah pemikiran malah terbetik di benakku. Apakah kematian ini terjadi atas keinginanku? Apakah aku yang berlari menyambut singa buas itu? Aku yang melompat ke dalam pelukan cakar-cakarnya?

Pemikiran itu membuat napasku sesak. Rusuk dadaku mengerut dan mengerut. Menghimpit paru-paruku sampai aku tak lagi bisa menarik napas. Jariku yang gemetaran meraih kancing teratas bajuku, mencoba melepaskannya dengan harapan bisa membantuku bernapas.

Namun tidak ada kancing baju. Yang melekat pada tubuhku adalah sebuah jubah hitam lusuh yang terlihat sudah dipakai bertahun-tahun. Warna hitamnya sudah pudar, mungkin terlalu sering terpapar sinar matahari. Ada sebuah robekan besar di tengah jubahku, mungkin hasil dari tabrakan itu. 

Dari lubang robekan itu tak ada darah. Lubang itu kering sempurna. Sebagai gantinya, yang keluar adalah pasir. Berliter-liter pasir tertumpah keluar dari dalam jubahku. Melihat itu aku tersadar, aku tak punya tubuh. Tak juga rusuk, apalagi paru-paru. Tubuhku hanyalah pasir ini. Pasir yang selama hidupku terbungkus dalam jubah hitam. Pasir yang berebut kabur keluar ketika sang jubah robek.

Betapa rapuhnya hidup ini. Betapa semua kesedihan maupun kebahagiaan yang tersimpan dalam diri kita serapuh pasir.

Betapa kita semua dalam hati yang paling dalam mendambakan kembali pada pencipta kita. Kita mendambakan kehidupan yang bahagia setelah kematian, jauh dari kemelut kesedihan dunia ini.

Namun kita takut pada kematian. Ada yang takut pada prosesnya yang acapkali menyakitkan. Takut tak punya kesempatan memperbaiki hidupnya yang penuh kekurangan. Takut orang-orang tercinta harus ditinggalkan.

Rasa takut pada proses kematian selalu terselip di hati. Ada orang yang karena rasa takut itu, berlari menjauhi kematian. Namun ada juga yang tidak peduli, dibutakan oleh sakitnya hidup di dunia ini, dan berlari menyambut kematian.

Aku mengamati aliran pasir menderas keluar dari dalam tubuhku. Ada kalanya dalam hidupku aku memikirkan seperti apa rasanya meninggalkan dunia. Aku pikir sungguh menyenangkan tidak harus lagi bergumul dengan semua kesedihan ini. Kesedihan akan perpisahan. Kesedihan akan kegagalan. Kesedihan karena tak dicintai. Kesedihan karena kesepian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun