Tugas-tugasku terbengkalai, nilai-nilai menurun, tidak  bersemangat, dan tidak berminat bergaul. Demikianlah guru-guru mendeskripsikan perubahan drastis pada diriku. Dan satu lagi yang paling parah, yang membuat bapak murka adalah bajuku mulai kerap berbau rokok.
"Siapa yang ajari kamu merokok, hah? Apa kamu tidak pernah belajar dari bapakmu ini, yang kena infeksi saluran pernapasan gara-gara merokok sejak muda? Kamu mau cari mati? Jangan main-main kamu sama itu rokok. Apalagi kamu baru kelas tiga SMP. Hidupmu masih panjang. Belajar yang baik, jangan aneh-aneh."
Hatiku memberontak. Temanku, Ray bilang merokok bisa meringankan pikiran. Itu adalah obat andalannya saat sedang banyak masalah. Jika tidak dengan merokok, lalu bagaimana lagi aku bisa melepaskan semua pikiran ini? Tapi tentu saja aku tidak bisa membantah bapak. Bagaimanapun, bapak adalah panutanku.
Satu atau dua minggu kemudian bapak membawaku ke seorang psikolog. Barulah aku tahu, ternyata ibu yang memberitahu bapak bahwa mungkin aku punya masalah berat hingga aku berubah seperti ini. Mungkin ini ada hubungannya dengan kematian Talia.Â
Ah... ibu memang satu-satunya orang yang bisa memahamiku dengan baik. Tak bisa kubayangkan hidupku tanpamu, ibu....
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H