Mohon tunggu...
Petra Teofani
Petra Teofani Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Senja tak pernah menguasai hari, namun ia mengguratkan rindu pada sanubari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ketika Aku Mencintai Api (4)

19 September 2019   23:20 Diperbarui: 7 Februari 2020   07:37 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
raspberrytart.tumblr.com

Hidup ini memang adil. Akhirnya doa kami berdua untuk sembuh benar-benar dikabulkan. Hanya saja dengan cara yang sedikit berbeda.

Aku yang masih berdiri di bumi ini dan Talia yang terbaring di dalam peti, kami berdua dalam keadaan sehat sempurna. Kanker tak lagi menggerogoti kami berdua.

Kemoterapi dan operasi tidak membuatku menangis, tapi ini lain. Ini adalah sahabat sejiwaku yang kini telah pergi. Meninggalkan separuh jiwaku yang koyak berdarah-darah.

Sekarang katakan padaku, bagaimana rasanya jika tubuhmu dibelah dua?

Orang bodoh pun pasti tahu rasanya karena orang bodoh juga bisa merasa sakit. Sampai menjerit hingga pita suara putus pun rasanya tak cukup.
Kau pikir jiwa tak punya perasaan?

Aku baru duduk di bangku sekolah menengah pertama ketika mengantarkan sahabatku, belahan jiwaku menuju perhentian terakhirnya.

Setidaknya di saat-saat terakhirnya ia telah mewujudkan salah satu dari sekian banyak impiannya. Memiliki pacar. Sungguh aku tidak tahu apakah itu impian yang wajar bagi gadis seumurannya, tapi aku bahagia telah mewujudkannya. Kami resmi menyandang status sebagai pacar satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-14. Tepat tiga bulan sebelum ia pergi.

Hatiku terasa tertancap pisau mengingatnya. Separuh diriku telah merelakannya pergi, sadar bahwa aku bukan siapa-siapa yang berhak memperpanjang penderitaannya, tapi separuh diriku yang lain masih ingin menggenggam tangannya yang kini sudah terkubur tanah merah.

"Ar, ayo pulang. Lihat, ibumu sudah lelah. Sudah cukup kau memandangi nisan Talia, dia tetap tidak bakal bangkit lagi," bapak menyentuh bahuku. Dari sudut mataku aku bisa melihat ibu menggeleng perlahan, memberi tanda pada bapak agar tidak mengusikku. Namun aku hanya mengangguk pada bapak dan mengikuti beliau berjalan pergi.

Hari-hari setelah itu berjalan seperti biasa. Seolah kepergian Talia tidak ada artinya. Seolah hanya aku yang masih merasakan kesakitan itu dalam dada.

Semua laki-laki dalam keluarga besarku selalu diajari untuk tidak mengekspresikan emosi. Apalagi kesedihan. Jangan tunjukkan, tahan saja dalam hati. Tetapi lama-lama kesedihan itu semakin menghimpit. Menyesakkan dada, bahkan menghambat napasku. Aku tidak bisa menahannya lebuh lama lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun