Mohon tunggu...
Petra Teofani
Petra Teofani Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Senja tak pernah menguasai hari, namun ia mengguratkan rindu pada sanubari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ketika Aku Mencintai Api (4)

19 September 2019   23:20 Diperbarui: 7 Februari 2020   07:37 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
raspberrytart.tumblr.com

"Bapak didik kamu jadi laki-laki yang tegar, bukan anak cengeng."

Selalu terngiang di telingaku kalimat bapak. Dari kecil beliau mendidikku tidak boleh menangis. Menangis hanya untuk perempuan, begitu kata beliau. Perempuan boleh berhati rapuh, laki-laki tidak. Harus selalu kuat, biar bisa melindungi perempuan.

"Malu, cowok kok nangis."

Tidak hanya bapak, orang-orang di sekelilingku juga. Anak laki-laki tidak pantas menangis, bahkan mbrambang (mata berkaca-kaca) pun tidak boleh.

Biasanya aku setuju-setuju saja. Aku hampir tidak pernah menangis ketika menjalani kemoterapi atau rangkaian pengobatan kanker leukimiaku yang lain. Bagaimana tidak, setiap kali mataku berkaca-kaca bapak langsung memandangku dengan tajam. Tatapan itu cukup membuatku menelan tangis, mengingat betapa keras telapak tangan bapak ketika memukulku waktu aku kecil jika menangis.

Aku baru duduk di bangku sekolah dasar ketika aku mulai sering pingsan setelah pelajaran olahraga. Pernah juga aku tak sadarkan diri saat jam istirahat ketika sedang bermain dengan teman-temanku. Orang tuaku yang khawatir segera membawaku ke dokter. Singkat kata, setelah serangkaian pemeriksaan aku didiagnosis menderita leukimia.

Karena masih kecil, aku tidak begitu paham apa yang terjadi. Orang tuaku lebih banyak menyembunyikan fakta-fakta mengerikan dariku. Contohnya fakta bahwa hidupku mungkin tak akan lama lagi.

Bagaimanapun masih ada harapan hidup bagiku. Caranya dengan donor sumsum tulang belakang. Seluruh keluargaku diperiksa, apakah ada yang cocok denganku atau tidak. Ternyata kakakku cocok. Maka keluargaku mulai menjadwalkan operasi donor tersebut.

Seluruh proses itu sungguh membuatku menderita. Aku tertinggal banyak dalam pelajaran karena tidak bisa masuk sekolah. Ditambah lagi aku sudah muak merasa kesakitan ketika menjalani semua kemoterapi, pengobatan, dan tes-tes leukimia ini.

Kemudian aku mengenal seorang gadis berambut coklat halus dan berombak yang sangat ramah. Namanya Talia. Kami bertemu di kantin rumah sakit tempat kami berdua dirawat. Kesan pertamaku adalah ia gadis berwajah paling tidak proporsional yang pernah kutemui. Bagian bawah wajahnya, mulai dari tulang pipi sampai dagu terlihat kurus dan sempit, tetapi bagian pelipis dan dahinya lebar. Dilihat sepintas wajahnya mirip segitiga terbalik.

Talia itu anak yang sangat optimis. Walaupun ia juga baru didiagnosis menderita kanker leukimia, tetapi ia meyakini dengan keteguhan yang tak tergoyahkan bahwa ia akan sembuh. Ia sering membicarakan masa depan dan impiannya padaku. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menjadi sahabat karib. Aku bisa bilang kami sudah menjadi sahabat sejiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun