"Keren! Jatuh cinta di bali? Mana dengan orang bule lagi...." Begitu reaksi Jef ketika aku menceritakan pengalamanku semalam. "Jahat kau, kenapa tidak mengajakku?"
Aku menimpuk kepalanya dengan hape, menyuruhnya diam. Suaranya keterlaluan. Aku tidak mau orang lain ikut tahu. Bisa repot. Pasti semuanya ingin berkunjung ke kedai kopi depan hotel tengah malam nanti. Lalu hilanglah kesempatanku mengobrol dengan Ke.
"Dasar ribut! Jangan keras-keras, nanti orang lain tahu."
Jef menatap mataku selama sedetik lalu menyeringai, "Aku baru tahu kau posesif."
Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan bersedekap lalu melanjutkan, "Oke, aku akan tutup mulut dan membiarkanmu mengejar gadis itu. Aku tidak akan mengganggumu."
"Serius? Kukira kau bakal memaksa ikut nanti tengah malam."
"Ar, sudah dua tahun sejak kau berpisah dengan pacarmu. Aku sudah lama tidak melihat binar cinta di matamu lagi. Jatuh cintalah, berbahagialah, jadilah orang normal."
"Jef, kau mabuk ya? Sejak kapan omonganmu jadi seperti ini?"
Orang yang ditanya mengernyit, "Dimana-mana kalau orang mabuk itu omongannya kacau. Jelas-jelas omonganku ini bijaksana. Mana mungkin mabuk."
Tanpa sadar aku tersenyum kecil. Jef benar. Jatuh cintalah dan jadi orang normal. Barangkali Ke akan menjadi penyelamat dari traumaku jatuh cinta.
"Nah itu kau yang mabuk. Senyum-senyum sendiri kayak orang gila...."
------------------------------
Ke sudah menunggu. Duduk manis di kursi dekat meja kasir. Ibunya tak terlihat di dekatnya, begitu pula anjingnya. Senyum manis merekah di bibirnya yang merah muda seperi mawar mekar tatkala melihatku menyeberang dari hotel menuju kedai. Kurasakan jantungku berdegup kencang di balik jumper biruku.
"Ari Lasso!" Suara renyahnya menyambutku, bahkan sebelum aku sempat membuka mulut menyapanya.
"Hai fansku, mau minta tanda tangan?"
Tawa manisnya meledak, memenuhi telingaku. Astaga itu adalah suara terindah yang kudengar hari ini.
"Kau lucu. Sudah lama aku tidak tertawa seperti ini."
Pujiannya membuat jantungku berdebar tambah keras. Kupikir bakal copot.
"Kau mau pesan apa?" Suara Ke memecah lamunanku.
"Maksudnya?" Tanyaku seperti orang linglung.
Ke memutar bola mata, geli, "Tujuan orang datang kesini untuk memesan kopi. Namanya saja kedai kopi."
"Ah... ya, aku mau pesan...." Aku mencoba mengingat daftar menu kopi, namun entah kenapa otakku benar-benar buntu.
"Tak usah," sela Ke cepat, "Aku tahu kau tidak ingin memesan kopi. Kau kemari hanya ingin menemuiku."
Aku nyaris ternganga. Gadis satu ini benar-benar percaya diri mengungkapkan apa yang dipikirkannya.
"Jadi, ceritakan padaku, bagaimana liburanmu hari ini di Bali?"
Kami mengobrol dan mengobrol. Jarum jam terus berputar. Peduli amat ini jam berapa. Aku sedang menikmati keberadaannya di sisiku. Semakin lama kami mengobrol, semakin dalam aku jatuh dalam relung-relung bernama asmara.
Perasaan ini datang terlalu cepat. Apakah yang kurasakan ini salah? Setelah sekian lama tidak berani merasakan perasaan ini.... Tidak, aku yakin aku tidak salah. Ke telah menyembuhkanku. Ke penyelamatku.
Mendadak hawa di kedai menjadi sedikit lebih dingin. Suara rintik hujan menimpa jalanan menghentikan pembicaraanku dan Ke. Gadis itu menoleh, memandang kegelapan malam, mencoba mencari bukti hujan turun.
Ke berdecak, "Jarang sekali hujan turun di bulan Juni yang panas."
Semakin banyak bulir air menghujam jalanan. Kini bunyinya bergemuruh. Bagian depan kedai kopi basah semua. Air melapisi meja dan kursi persegi panjang. Udara semakin dingin. Aku memandang Ke yang hanya memakai kaus merah. Ia pasti kedinginan. Segera kulepas jumper biruku dan kusodorkan padanya.
"Pakailah. Mungkin agak kebesaran, tapi pasti hangat."
"Sopan santun klasik khas cowok," katanya lembut sambil tersenyum, "Terima kasih, tapi tidak usah. Nanti kamu kedinginan."
"Jawaban klasik khas cewek. Tak usah basa-basi. Aku baik-baik saja."
Ke tersenyum lebar sehingga menampakkan gigi putihnya yang rapi, cocok untuk iklan pasta gigi, "Aku tidak suka basa-basi. Aku sungguh-sungguh."
Ia masih belum mau menerima jumperku.
Aku menghela napas. Berdebat dengan perempuan memang susah. Dari dulu begitu hukumnya.
"Aku juga bersungguh-sungguh. Apa perlu kupakaikan?" Aku bersikeras.
"Boleh juga," jawab Ke santai.
Aku terkesiap. Gadis ini selalu saja membuatku kaget dengan omongannya yang aneh-aneh. Tetapi tetap saja aku berdiri, siap memakaikan jumperku padanya.
"Tidak, aku bercanda," ralat Ke cepat sekaligus mengambil jumper dari tanganku.
"Kau juga seperti ini dengan pacarmu dulu? Atau kau belum pernah pacaran?" Lanjut Ke tanpa basa-basi.
"Pernah, tapi aku tidak pernah sempat melakukan ini. Ia meninggalkanku setelah tiga bulan kami jadian."
"Ohh...."Â
Selama beberapa detik keheningan menyelimuti kami. Hanya terdengar suara hujan yang menjadi musik latar belakang.
"Maaf kalau aku lancang, tapi jika boleh tahu..." gadis itu melanjutkan dengan hati-hati, "Mengapa ia meninggalkanmu?"
Guruh menggelegar ketika perlahan tapi mantap aku menjawab, "Kanker."
Mengingat kenangan itu membawa rasa sakit di dada. Jenis rasa nyeri yang membuatku ingin membungkuk dan berteriak tanpa suara. Tapi setelah dua tahun ini aku mulai terbiasa.
Ke ternganga. "Di umur semuda itu?"
"Ya. Leukimia."
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H