Sebuah media online yang terafiliasi dengan grup media nasional menayangkan berita "heboh" tentang seorang pria yang tampak kesakitan karena (maaf) kemaluannya dijepit kepiting. Dengan bahasa dramatis, berita itu disuguhkan kepada pembaca.
Si penulis, dalam pandangan saya, seolah-olah ada di lokasi kejadian saat peristiwa itu terjadi. Lewat kata dan kalimat yang ia tulis, ia begitu yakinnya menggambarkan rasa sakit yang dialami si pria itu dengan kalimat seperti "penderitaan yang tak terbayangkan".
Si penulis cukup rinci menceritakan bagaimana respon orang-orang yang ada di sekitar dan menolong pria tadi. Bahkan dia mencantumkan lead yang menurutnya sudah umum bagi banyak orang.
Uniknya, si penulis atau wartawan sebenarnya tidak ada di lokasi kejadian. Bahkan, dimana peristiwa itu terjadi ia tidak cantumkan dalam berita. Kapan kejadian, siapa nama pria yang ditulisnya dijepit kepiting, siapa nama orang-orang yang menolong itu pun tak sedikitpun dimuat dalam tulisan.
Tak hanya itu, kapan waktu kejadian dan kenapa bisa terjadi pun tak disebut. Padahal, semua pertanyaan di atas harusnya terjawab dalam sebuah karya jurnalistik. Setidaknya begitu saya diajarkan saat baru terjun ke dunia jurnalis sekitar 11 tahun lalu.
Dalam berita itu, saya tidak melihat sedikitpun ketaatan si penulisnya pada rumus paling dasar tulisan jurnalistik. Bahkan, saya dapat memastikan, si penulis, bahkan editornya tak bisa meyakinkan bahwa peristiwa itu memang benar-benar terjadi dan bukan rekayasa.
Bagaimana tidak. Si penulis, dengan tulisannya yang dramatis merangkai kata demi kata hanya berdasarkan video berdurasi 1 menit 19 detik yang viral di media sosial. Si penulis menyebut, sejak di unggah di halaman Facebook (yang sama sekali tanpa disertai alamat tautannya), video sudah ditonton lebih 12 juta kali.
Wow kah??
Ya jelas wow jika video itu memang benar adanya. Namun, jika ternyata video itu hanya rekayasa, maka si jurnalis, editor termasuk media yang menayangkannya telah mengabaikan etika kewartawanan.
"Tapi dengan berita begitu visitornya justru banyak," celetuk seorang kawan yang sehari-hari berjibaku di depan komputer agar berita yang dimuat di media online tempatnya bekerja dibaca khalayak ramai.
Masih menurut kawan saya itu, pembaca saat ini memang lebih senang dengan berita-berita dramatis begitu. Berita-berita yang mengisahkan darah, air mata dan sperma (kiasan untuk berita berbau seksualitas) menjadi trending setiap hari.