Ketiga soal dimaksud ialah soal gula  impor, produksi garam dan maling ikan tuna. Dari tiga ikhwal ini, tampak kelemahan mendasar pemerintah, yang sejatinya pengulangan karakter era Orde Baru.
Impor gula
Analis gula menyebut produksi gula konsumsi nasional 2,1-2,3 juta ton, sesuai kebutuhan gula nasional.Meski begitu, toh pemerintah ngotot impor gula. Aneh, kan ?.Ini ancaman bagi petani gula.
Di lain sisi, HET Gula dipatok pemerintah Rp.12.500/kg. Harga gula tersebut menyenangkan ibu rumah tangga. Tapi, menggelisahkan industri ritel.
Ingat, gula kebutuhan pokok atau strategis.Tak ada gula di swalayan, sawalayan itu akan dijauhi  pengunjung. Lama kelamaan swalayan bangkrut. Makanya pengusaha ritel dalam APRINDO protes keras Kemendag.
Garam
Tahu tidak berapa produksi garam Indonesia per tahun ?.Jawabannya, sekitar 3,7 juta ton. Kedengarnya besar, namun sebenarnya kecil.Ya, kecil sekali jika kita bandingkan dengan, misalnya, Australia. Produksi garam negara kangguru ini sekitar 15 juta ton per tahun.Â
Jadi, kemampuan Australia 4,5 kali lebih gede dari Indonesia. Ini ironi, mengingat, luas lautan Indonesia nomor dua dunia setelah Kanada !
Uang Indonesia banyak.Teknologi garam ada dan sama.Membuat peswat  terbang bisa. Laut Indonesia malah lebih luas.Tapi,  mengapa Indonesia kalah yah ? Menurut Siswono Yudo Husodo, mantan menteri era Soeharto, itu karena pemerintah tak memiliki pendekatan yang tepat mengembangkan garam ini. Padahal usia kemerdekaan kita 71 tahun.
Di garam, jutan dollar kekalahan kita dengan Australia.
Ikan tuna
Di perairan  yang membelah Kalimatan Malaysia ternyata masih marak pencolong ikan tuna.Tiap tahun negara dirugikan Rp.1,7 triliun. Solusinya, pemerintah mesti bangun pelabuhan dan stasion radar pemantau yang dekat dari perairan tuna yang rawan itu. Stasion dan pelabuhan hanya Rp.490 M, telah diusulkan sejak 2012. Namun, usulan itu tidak pernah direalisasi pemerintah pusat.
Di kasus tuna itu jelas, pemerintah lebih "suka kehilangan" Rp.1,7 triliun per tahun daripada kehilangan sekali saja (uang) Rp.490 M. Sikap inilah yang disebut naif (baca:bodoh).Untung, Menteri KKP minta maaf.
Cukup tiga contoh itu saja, yang saya pungut dari harian Kompas yang terbit dalam minggu ini.
Semua itu memberi gambaran, betapa amburadulnya para penguasa mengolah negara. Juga menunjukkan, lemahnya komitmen mereka mensejahterakan rakyat. Kok gitu tuduhannya ?
Tentu.
Ayo, kenapa maksa impor gula ? Ada apa ?. Dugaan kuat, ada kongkalikong di sini. Lantas, pencurian ikan tuna di perbatasan Indonesia-Malaysia masih marak. Kenapa ? Ternyata, karena ada baking pejabat. Ini diakui nelayan, dan bahkan Menteri KKP Susi Pudjiastuti beberapa hari lalu. Umur RI uda tua bangka, punya laut luas dll, kok kalah knock out  dengan Australia.
Jujur saja, semua itu membuat saya gemes, kesel namun sukar dilampiaskan  melalui aksi massa, kecuali mencubit istri saja.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H