Mohon tunggu...
Dafa Fahresi
Dafa Fahresi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka warokk

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kupas Alur Penagihan Pajak Berdasarkan Kasus PT Luki Mandiri Indonesia Raya

14 Januari 2024   11:45 Diperbarui: 14 Januari 2024   12:39 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PT Luki Mandiri Indonesia Raya merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan pengembangan properti. PT Luki Mandiri Indonesia Raya atau yang biasa disingkat PT LMIR didirikan pada tahun 2013 dan berkantor pusat di Jakarta, Indonesia. Perusahaan ini dimiliki oleh Indra Charismiadji yang juga merupakan tokoh politik di Indonesia. Pada akhir tahun 2023 Indra terjerat kasus pidana perpajakan akibat penggelapan pajak dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang membuat negara mengalami kerugian mencapai lebih dari Rp1,1 miliar.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menjelaskan kasus yang menjerat pemilik PT Luki Mandiri Indonesia Raya, Indra Charismiadji (IC) hingga ditangkap Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Penangkapan dilakukan bersama Ike Andriani (IA) sebagai tersangka kasus perpajakan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan kasus yang menjerat keduanya bukan kasus baru. Hal ini terkait PT Luki Mandiri Indonesia Raya yang pada kurun waktu 2019 disebut tidak memenuhi kewajiban perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Kasus perpajakan yang menyangkut Indra Charismiadji sebagai pemilik PT LMIR telah berjalan sejak 2019. PT LMIR diketahui tidak menunaikan kewajiban perpajakannya yakni dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan masa PPN atau sengaja tidak menyetorkan PPN yang telah dipungut ke kas negara sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp1.103.028.418,00 (satu milyar seratus tiga juta dua puluh delapan ribu empat ratus delapan belas rupiah). Hal tersebut tidak sesuai dengan pasal 39 ayat 1 huruf c UU KUP sehingga dapat dikenai sanksi pidana minimal 6 bulan dan maksimal 6 tahun atau denda minimal 2 kali dan maksimal 4 kali jumlah utang pajak yang tidak atau kurang bayar. Dalam hal ini, PT LMIR dapat melunasi utang pajaknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pepajakan untuk menghindari sanksi pidana.

Perlu diketahui juga bahwa dalam kewajiban pembayaran utang pajak tersebut PT LMIR tidak melaksanakannya sehingga kasus tersebut lanjut ke tahap selanjutnya, yaitu penagihan pajak. Namun, dalam upaya penagihan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak juga tidak tercapai hasil yang memuaskan sehingga masuk lagi ke tahap berikutnya, yaitu sengketa. Melihat upaya penagihan yang tidak tercapai, bagaimana sebenarnya prosedur dalam penagihan pajak di Indonesia? Apakah ada landasan hukum yang mengaturnya?

Prosedur mengenai penagihan pajak yang terutang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar. PMK ini mulai efektif diterbitkan pada 27 November 2020 yang mana mewajibkan Wajib Pajak untuk membayar utang pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang perpajakan hingga jatuh tempo pembayaran pajak setelah satu bulan dari timbulnya utang pajak tersebut. Setelah kurun waktu tujuh hari setelah jatuh tempo pembayaran utang pajak dan belum ada pelunasan dari Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak akan menyampaikan Surat Teguran kepada Wajib Pajak. Hingga 21 hari setelah Surat Teguran disampaikan, dan masih belum ada pembayaran maka akan diterbitkan dan disampaikan Surat Paksa kepada Wajib Pajak oleh DJP.

Menurut Pasal 8 PMK 189 tahun 2020, jurusita pajak dapat melakukan penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus yang diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran; tanpa didahului Surat Teguran; sebelum 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran disampaikan; atau sebelum penerbitan Surat Paksa jika:

  • Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.
  • Penanggung Pajak memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai untuk menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia.
  • Terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya.
  • Badan akan dibubarkan oleh negara.
  • Terjadi Penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga.
  • Terdapat tanda-tanda kepailitan.

Setelah diterbitkannya Surat Paksa, dalam kurun waktu 2x24 jam setelah Surat Paksa disampaikan, dapat dilakukan Penyitaan oleh Juru Sita Pajak (aset yang disita sebaiknya berupa aset lancar dan bukan kebutuhan pokok). Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita berdasarkan surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a, Penanggung Pajak dapat menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. Untuk melakukan ini, mereka harus mengajukan permohonan kepada Pejabat untuk menggunakan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.

Jika Penanggung Pajak memiliki Utang Pajak sebesar minimal Rp100 juta dan diragukan niat baiknya untuk melunasi Utang Pajak, maka dia berhak atas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (9) dan (10). Dalam 2x24 jam setelah Surat Paksa disampaikan, pejabat dapat mengusulkan pencegahan atas tindakan lelang/penggunaan/penjualan yang dilakukan oleh penanggung pajak dalam hal:

  • Objek sita pajak tidak dapat ditemukan,
  • Dasar penagihan pajak mendekati daluwarsa penagihan,
  • Terdapat indikasi penanggung pajak meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, pembubaran Badan dan/atau kepailitan.

Dalam hal telah dilakukan pencegahan terdapat penanggung pajak, penyanderaan dapat dilakukan dalam jangka waktu paling cepat 30 hari sebelum berakhirnya masa pencegahan atau dapat dilakukan setelah 14 hari sejak Surat Pajak diberitahukan dalam hal:

  • Dasar penagihan pajak mendekati daluwarsa penagihan,
  • Terdapat indikasi pembubaran Badan dan/atau kepailitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun