Mataku mulai memanas, badanku merinding dan kaki ku gemetaran. Karena tak ingin rekan sekantor tahu, aku memutuskan untuk bangun dari meja kerjaku dan pergi ke toilet. Ya, hanya itu tempat favorit kaum perempuan saat ingin menangis.Â
Aku meratapi diriku di depan cermin, menangis sejadi-jadinya. Kini, mukaku memerah, nafasku tak beraturan, dan mataku dipenuhi cairan bening yang tak bisa berhenti keluar.Â
Sakit rasanya, meskipun sudah lebih dari satu dekade ayah bukan lagi miliku seutuhnya. Memoriku kembali mengulang saat bahagia aku bersama ayah, naik motor, pergi ke air mancur, sampai belajar matematika. Aku masih ingata betul bagaimana sorot matanya yang tajam membersamaiku menghitung beberapa angka desimal. Tapi kini semua itu seakan diambil paksa. Ya, dia mendapatkan semua hari indahku bersama ayah. Yang tersisa untkku hanya kenangan yang hanya ada dalam ingatanku.
Terkadang aku berfikir, bisakah dia tidak mengulangi memori indah yang aku miliki bersama ayah? Dan dengan mudahnya sisi lain diriku menjawab, tentu saja tidak bisa. Posisimu sudah digantikan olehnya. Sejujurnya, itu adalah kebenaran yang menjengkelkan.
Aku sampai tidak tahu lagi bagaimana hangatnya menjadi seorang anak perempuan. Atau mungkin sebaiknya aku menghilangkan rasa itu. Iri rasanya jika melihat ada anak perempuan tengah bersama ayahnya.Â
Kalau sudah begini, nyatanya aku hanya bisa bersimpuh. Mencoba merayu Tuhan, memasang muka memelas yang dilengkapi dengan isak tangis. Memuji-Nya berulang kali agar Dia mau mengabulkan apa yang mejadi keinginanku.Â
Maaf Tuhan, kadang aku hanya bisa merayu-Mu dikala aku tak berdaya. Doa ku yang pertama, tolong berikan kebahagiaan kepada Ayah, dia orang baik, hanya aku saja yang belum bisa menerima keadaan. Selanjutnya aku serahkan kepada-Mu, bagaimana Engkau saja, aku ikut.Â
~Ananda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H