Trust me, setiap anak perempuan pasti mengidolakan sosok ayahnya, begitupula denganku. Bagaimana tidak, dia agalah laki-laki pertama yang mencurahkan seluruh rasa kasih sayangnya kepada si anak perempuan. Hero, singkatnya begitu biasanya orang-orang mengungkapkan.Â
Dulu, aku memilki keluarga yang sangat sempurna, entah apakah sempurna ini hanya sebuah fatamorgana dalam pandanganku selama 14 tahun menjadi anak perempuan, atau memang kesempurnaan itu hanya drama yang dibuat oleh kedua orang tuaku agar aku tak perlu merasakan sakit yang lebih sering. Ah entahlah, pokoknya menurutku sempurna.
Dan dalam sekejap kesempurnaan itu, berubah menjadi luka. Semuanya bermula saat hari itu, ketika aku (yang masih menjadi) seorang anak perempuan yang sangat merindukan sosok ayahku. Hari itu bukan tanpa alasan aku merindunya. Aku merasa sedang dihantam oleh bola yang amat berat. Fikiranku tak keruan, bingung, frustasi, sampai rasanya tak mampu bekata-kata lagi. Aku hanya bisa menangis di penghujung petang, mengunci diri, dan tak ingin makan barang sesuap.Â
Dan aku kembali sadar, lantas, Ya, aku merindunya.Â
Ku lepaskan pandanganku dari semua tab design yang terbuka di layar pc. Dengan cekatan,otak memberikan instruksi untuk menekan beberapa tombol sampai tertera tulisan ayah di telpon selulerku.Â
Aku putuskan untuk menyapanya terlebih dahulu melalui chat wa, yang kira" begini isi pesannya.Â
Assalamu'alaikum, ayah sehat?? Tanyaku
Tak lama, ayah membalas. "Allhamdulillah ayah sehat :)" jawabnya sembari mengirim sebuah gambar.Â
Biasanya di jam sebelum makan siang begini, ayah mengirimkan gambar dirinya tengah duduk di masjid sembari menunggu adzan dzuhur. Tapi ternyata bukan.Â
Pada hari itu, ayah sedang libur kerja, dia mengirim fotonya bersama seorang gadis kecil (anaknya, tapi bukan adikku).
Yap saat itu, aku yang tengah dirundung kesedihan harus kembali menghadapi kenyataan. Rasanya dunia tidak mengizinkan aku bersedih barang sebentar. Aku harus sadar bahwa laki-laki yang (aku fikir) paling menyayangiku kini bukan lagi milikku. Tidak, lebih tepatnya aku harus berbagi.Â
Mataku mulai memanas, badanku merinding dan kaki ku gemetaran. Karena tak ingin rekan sekantor tahu, aku memutuskan untuk bangun dari meja kerjaku dan pergi ke toilet. Ya, hanya itu tempat favorit kaum perempuan saat ingin menangis.Â
Aku meratapi diriku di depan cermin, menangis sejadi-jadinya. Kini, mukaku memerah, nafasku tak beraturan, dan mataku dipenuhi cairan bening yang tak bisa berhenti keluar.Â
Sakit rasanya, meskipun sudah lebih dari satu dekade ayah bukan lagi miliku seutuhnya. Memoriku kembali mengulang saat bahagia aku bersama ayah, naik motor, pergi ke air mancur, sampai belajar matematika. Aku masih ingata betul bagaimana sorot matanya yang tajam membersamaiku menghitung beberapa angka desimal. Tapi kini semua itu seakan diambil paksa. Ya, dia mendapatkan semua hari indahku bersama ayah. Yang tersisa untkku hanya kenangan yang hanya ada dalam ingatanku.
Terkadang aku berfikir, bisakah dia tidak mengulangi memori indah yang aku miliki bersama ayah? Dan dengan mudahnya sisi lain diriku menjawab, tentu saja tidak bisa. Posisimu sudah digantikan olehnya. Sejujurnya, itu adalah kebenaran yang menjengkelkan.
Aku sampai tidak tahu lagi bagaimana hangatnya menjadi seorang anak perempuan. Atau mungkin sebaiknya aku menghilangkan rasa itu. Iri rasanya jika melihat ada anak perempuan tengah bersama ayahnya.Â
Kalau sudah begini, nyatanya aku hanya bisa bersimpuh. Mencoba merayu Tuhan, memasang muka memelas yang dilengkapi dengan isak tangis. Memuji-Nya berulang kali agar Dia mau mengabulkan apa yang mejadi keinginanku.Â
Maaf Tuhan, kadang aku hanya bisa merayu-Mu dikala aku tak berdaya. Doa ku yang pertama, tolong berikan kebahagiaan kepada Ayah, dia orang baik, hanya aku saja yang belum bisa menerima keadaan. Selanjutnya aku serahkan kepada-Mu, bagaimana Engkau saja, aku ikut.Â
~Ananda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H