Pemimpin Kesultanan Mataram Sultan Agung mengungkapkan bahwa VOC merupakan sebuah duri yang menancap dalam wilayah Nusantara melalui pendirian pos-pos benteng perdagangannya. "Jacatra mempunyai duri di kakinya, harus berusaha keras untuk mencabutnya, supaya seluruh tubuhnya tidak dapat diancam. Duri ini terwujud dalam bentuk benteng orang Belanda.
Begitu membentegi dirinya mereka tidak menghormati raja dan juga tanahnya, bahkan malah menantangnya." Ungkap sang Sultan, melalui surat yang dikirimkannya kepada Martin Pring pada tahun 1619. Martin Pring bukan seorang Belanda, melainkan hanyalah pelaut Inggris yang bergabung menjadi komando dalam tubuh VOC.Â
Melalui surat tersebut dapat menyiratkan kegeraman yang ada dalam diri Sultan Agung terhadap aktivitas VOC di kawasan Nusantara. Pasca satu dekade setelah surat tersebut, Sultan pun pada akhirnya menggempur Batavia.Â
Kesaksian dari Jan Pieterzoon Coen sebagai Gubernur Jenderal saat itu, menuliskan peristiwa tersebut kemudian dikirimkan kepada Dewan Hindia pada 3 November 1628. Kekuatan besar Mataram menyerbu bagian Fort Hollandia, ketika malam hari tepatnya pada 21 September.Â
Tembok-tembok Batavia diserbu dengan serangan bedil laras panjang, disertai beberapa orang yang membawa alat pelantak dan tangga-tangga untuk menaiki maupun menghancurkan tembok dari VOC. Kubu dari Belanda di Batavia dengan 24 orangnya dapat mempertahankan benteng tersebut sepanjang malam meskipun semua mesiu sudah habis.Â
Koleksi litografi dari Nationaal Archief Nederlande, yang dibuat pasca 1780-an, menjabarkan penyerangan Mataram terhadap kubu VOC di Batavia. Litografi dengan judul "Mislukte belegering op Batavia door de sultan van Mataram in 1628" atau Penyerangan di Batavia oleh Sultan Mataram di tahun 1628.Â
Selain itu, terdapat sindiran oleh Bernard H.M yang mengkritisi penulisan Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh para Pujangga Susuhunan Mataram yang menglorifikasi kisah kekalahan Sultan Agung dengan kekuatan gaib dalam bukunya Nusantara : Sejarah Indonesia.Â
Penyerangan Sultan Agung terhadap benteng batavia terjadi sebanyak dua kali, yakni periode 1628 dan 1629. Pasukan Mataram saat itu dipimpin oleh Ki Mandureja dan Tumenggung Bahureksa (Purbaya).Â
Pembahasan dalam artikel tidak akan berfokus terhadap alasan utama kekalahan pasukan Mataram yang dianggap kekurangan logistik dan persenjataan, hal tersebut dapat ditemukan dalam literatur lain. Tapi, pembahasan kali ini berfokus terhadap peristiwa manusia yang saling menyerang di kota Batavia, Bahkan J.P Coen pun nampaknya sengaja melewatkan peristiwa paling berkesan dalam sejarah kota tahi tersebut.Â
Dalam Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek, yang terbit pada 1911. Mengisahkan tentang perjuangan kubu VOC untuk mempertahankan Batavia dari Mataram melalui ide gila atau genius dari seorang remaja asal Jerman yakni Sersan Madelijn.Â
Saat itu garnisun kota Batavia diserang penuh selama sebulan penuh, selama Agustus, menyebabkan komando Mataram percaya dapat merebut Batavia. Serangan melalui Redoute Hollandia (sebuah bangunan pertahanan kecil yang memiliki bentuk seperti menara) yang dihuni oleh Sersan Madelijn bersama dengan 24 serdadunya beserta dua artileri tempur penuh, berupaya menahan gempuran dari pasukan Mataram.Â
Puncaknya malam 21 dan 22 September,gempuran dari Mataram begitu massif sehingga pihak VOC kehabisan amunisi untuk menahan gempuran tersebut. Kemudian terceletuk ide gila dari Sersan Madelijn, Ia menginstruksikan kepada anak buahnya supaya pergi ke ruang serdadu untuk membawa beberapa karung yang diisi penuh oleh tahi. Merasa sudah putus asa, karena pasukan dari kubu Mataram dapat mendekati benteng pertahanan, akhirnya pasukan Madelijn melemparkan karung berisi tahi kepada pasukan Mataram yang merangkap mendekati benteng pertahanan.Â
Ide dari Sersan Madelijn sepertinya berhasil diterapkan yang menyebabkan pasukan dari Sultan lari dari tembok pertahanan dengan ucapan "O, Seytang orang Hollanda de Bakkalay samma tay". Jika diterjemahkan menjadi Setan orang Belanda berperang menggunakan tahi. Pasukan kubu Sultan Agung kemudian mundur hingga daerah pedalam Batavia, sehingga penyerangan terhadap VOC di Batavia mengalami kegagalan.Â
Melalui jalannya peperangan yang begitu aneh, pasukan Mataram memberikan istilah terhadap Redoute Hollandia sebagai "Kota Tahi". Periode kedepannya, orang Jawa memiliki istilah khusus untuk menggambarkan Batavia yang terbagi menjadi dua kota, yakni kota Intan dan kota Tahi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H