Mohon tunggu...
Agung Pramono
Agung Pramono Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, Pemerhati Hukum dan Sosial

pemahaman yang keliru atas makna hak adalah akar dari semua kejahatan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Seperti Gatotkaca, Industri Pesawat Menjadi Mitos Negara

31 Agustus 2020   09:15 Diperbarui: 31 Agustus 2020   09:19 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

(bagian 1)

Gatotkaca adalah tokoh legendaris dalam dunia pewayangan yang konon merupakan tokoh yang asli di dunia pewayangan Indonesia yang dalam cerita asalnya Mahabrata sebenarnya tidak ada. Kepopuleran tokoh Gatotkaca sudah cukup menggambarkan bahwa sudah sejak lama orang Indonesia ingin memiliki kemampuan untuk terbang.

Ironisnya, nama kecil Gatotkaca yaitu Tetuko yang menjadi nama dari pesawat karya anak bangsa yang dianggap sebagian karya industri dirgantara nasional lalu menjadi singkatan yang menyindir PTDI, yaitu "sing teko ora tuku-tuku dan sing tuku ora teko-teko" (terj. Bahasa Jawa: yang datang tidak beli, yang beli tidak datang).

Peletak sejarah

Sejak dimulainya serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan lisensi, evaluasi teknis dan keselamatan untuk semua pesawat yang beroperasi di seluruh Indonesia di era pemerintah kolonial Belanda, tahun 1914, Bagian Uji Terbang didirikan di Surabaya dengan tugas untuk mempelajari kinerja penerbangan pesawat di wilayah tropis.

Tahun 1937, beberapa pemuda Indonesia, yang dipimpin oleh Tossin membangun bengkel pesawat terbang di Jl. Pasirkaliki, Bandung atas permintaan pengusaha lokal, dibuatlah pesawat PK KKH desain dari LW. Walraven dan MV. Patist, pesawat kecil yang mengejutkan dunia penerbangan saat itu karena daya jelajahnya.

Pada tahun 1946, sebuah lokakarya khusus didirikan di Magetan, dekat Madiun, Jawa Timur. Dari bahan sederhana berupa sejumlah Zogling, mereka membuat pesawat ringan NWG-1.

Kemudian pada 1948, Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, Yum Soemarsono, Tossin Ahmad dan kawan-kawan berhasil membuat mesin pesawat pertama modikasi yang dikenal dengan nama RI-X dari mesin Harley Davidson, WEL-X, rancangan Wiweko Supono. Selanjutnya, Nurtanio mengembangkan dan mengerjakan sendiri pesawat tanpa dana dari pemerintah, proyek idealis dan jiwa patriot murni dari sang prajurit udara.

Evolusi

Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan dengan kondisi geogras yang sulit untuk diakses tanpa sarana transportasi yang memadai, melalui tangan Nurtanio Pringgoadisurjo, pionir industri dirgantara nasional, pemerintah Bung Karno merintis kerjasama dengan  CEKOP, pabrik pesawat terbang Polandia. BJ Habibie, adalah angkatan ke-V yang dikirim Bung Karno ke Belanda dan Jerman.

Pada tahun 1966 saat Adam Malik menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia dan berkunjung ke Jerman, beliau meminta Habibie untuk menyumbangkan pikirannya pada realisasi industri penerbangan di Indonesia.

Segera Habibie membentuk tim sukarela yang pada awal 1970 tim dikirim ke Jerman untuk mulai bekerja dan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang penerbangan di HFB/MBB (Masserschmitt Bolkow Blohm), tempat Habibie bekerja, untuk melaksanakan perencanaan awal mereka.

Desember 1973, Ibnu Sutowo, Presiden Pertamina saat itu bertemu dengan Habibie di Dusseldorf, hasil pertemuan itu adalah pengangkatan Habibie sebagai Penasihat Presiden Pertamina dan ia diminta untuk segera kembali ke Indonesia.

Pada tanggal 26 April 1976, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio secara resmi didirikan dengan Dr. BJ. Habibie sebagai Direktur Utama. Ketika fasilitas sik industri ini selesai, Presiden Soeharto meresmikannya. Hanya dengan 20 orang industri tersebut dimulai, hingga 1990-an, mempekerjakan 48 ribu karyawan dengan turnover sekitar US$ 10 miliar.

N250 Gatotkaca merupakan pesawat subsonic speed pertama di kelasnya yang menggunakan seluruh gerakannya dikendalikan dengan komputer, pesawat ketiga yang menerapkan teknologi fly by wire, selain Airbus A-340 dan Boeing 767. Diluncurkan di Bandara Husein Sastranegara, Bandung pada tahun 1996.

Kala itu negara di kawasan Asia Tenggara lain masih bicara mengenai mobil, Indonesia sudah mengepakkan sayapnya di angkasa raya.

Terhalang

Cerita berubah, ketika pada tahun 1997 IMF akan membantu pemerintah melalui pinjaman sebesar US$5 juta dengan salah satu syarat menghentikan subsidi pada IPTN (sekarang PTDI). Artinya, tidak ada lagi bantuan untuk menyelesaikan turboprop N-250 yang sedang dalam proses akhir uji terbang untuk mendapatkan sertikasi layak terbang nasional dan internasional dari Federation Aviation Agency Amerika dan sertikasi layak terbang dari Joint Airworthiness Agency Eropa.

"Padahal saya tidak punya utang. Industri pesawat terbang dianggap tidak menguntungkan karena tidak ada pasarnya. Tapi, lihat sekarang, negara dengan pertumbuhan penumpang penerbangan yang terbesar di dunia adalah Indonesia", tambah Habibie.

Pada jamannya, IPTN menjadi pabrik pesawat terbang termegah di belahan bumi selatan, "sekarang karyawan PTDI tinggal 3.000. Dalam lima tahun, sumber daya akan menyusut menjadi nol. Orangnya mati atau pensiun. Mereka menghancurkan semua yang sudah saya bangun. Ini kriminal kepada saya." ucap Habibie kecewa, kekecewaan anak bangsa..

Lion Air bahkan berkonsultasi dengan Habibie untuk mencari spesikasi yang sama dengan N-2130, namun memutuskan membeli 230 pesawat Boeing 737 dan 27 pesawat dari ATR milik Prancis dan Eropa. Spesikasinya sama dengan karya Habibie. Saat itu, teknologi Indonesia sudah lebih maju 20 tahun.

Kebangkitan

PT Dirgantara Indonesia (PTDI) bisa pulih meski rugi, hingga di akhir tahun 2014, PTDI mendapat laba sebesar 19,3 juta dolar AS (Rp 250 miliar). Pada tahun 2019 dinyatakan bahwa pendapatan perseroan naik hingga 259,7 juta dolar AS hingga mendapat laba bersih 10,5 juta dolar AS.

Diantara nafas kebangkitan, itikad untuk memulai kembali dari dasar, mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, mengerjakan sesuatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya, memproduksi cetakan panci tapi pada saat bersamaan PTDI merancang masa depan.

Peluang membuat cetakan panci yang biasanya didatangkan dari Taiwan untuk para pembuat kue di Jawa Barat ditawarkan ke PTDI dengan harga rabat 50 persen dengan kontrak senilai Rp 1 juta.

Pekerjaan ini dilakukan oleh satu unit beranggotakan 500 karyawan terampil dan berpendidikan, yang dipimpin seorang magister lulusan Inggris. Dua bulan kemudian kontrak pembuatan cetakan panci itu berkembang jadi satu miliar. Sembari merencanakan membuat pesawat baru dengan rancangan dan produksinya dilakukan sendiri.

PTDI semakin bersemangat menggarap proyek pemerintah untuk pengadaan tabung BBG dan converter kit. Pada tahap awal, BUMN produsen pesawat udara itu mendapat order 500 buah converter kit plus tabung BBG.

"Makanya Presiden Habibie waktu itu sangat konsen dorong SDM Indonesia bisa buat pesawat, karena kalau bisa buat pesawat bisa buat apa saja, mobil bisa, tabung gas bisa sampai panci pun bisa," kata Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo.

Antara Harapan dan Kenyataan

PTDI berhadapan dengan masalah regenerasi, menyamakan persepsi tentang pabrik atau industri pesawat terbang yang tidak bisa dan atau tidak mungkin berdiri sendiri kepada kadernya. Menurut Chappy Hakim Komisaris Utama PTDI 2002--2005 bila tidak ada pahlawan dari pihak ketiga, konten lokal sebesar 50% tidak akan pernah bisa tercapai.

Berdasarkan catatan, sepanjang 2003 hingga 2007 tidak pernah tutup buku, memasuki 2008 ditemukan catatan bahwa pajak belum dibayar, data-data hutang 1990-an dan lain-lain, ramainya demonstrasi di internal perusahaan. Sebagian besar diatasi pada 2009 mulai dari audit oleh BPK, instansi pajak dan banyak lembaga lembaga lain.

Menyelesaikan utang ke pemerintah dengan konversi menjadi modal, meski hanya di atas kertas namun tidak menjadi beban keuangan PTDI. Sampai akhirnya pada Desember 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan PP untuk selamatkan PTDI, mendapatkan kucuran dana PMN, sejak 2012 PTDI seperti baru lahir kembali, ekuitas sudah positif, modal kerja yang cukup digunakan untuk meminjam kredit bank.

Karena baru bisa normal berbisnis maka kesulitan PTDI adalah membuat kontrak jangka panjang untuk pesawat terbang di Asia Pasik agar PTDI survive sampai 10 tahun ke depan, saat itu terjadi lost generation, karena sekitar 45 persen pegawai saat ini mulai memasuki masa pensiun. Pada 2010 PTDI mulai merekrut pegawai baru secara bertahap, 1-2 orang yang pensiun dipertahankan sebagai pelatih insinyur baru.

Titik balik PTDI terjadi ketika dukungan pemerintah untuk membereskan masa lalu PTDI, Peraturan saat itu hanya menjadi salah satu alat. PTDI mempersiapkan diri untuk mandiri, apapun dikerjakan, walaupun hanya ditugaskan mengelap kaca pesawat.

Bisnis pesawat terbang tidaklah instan, penciptaan produk yang sekarang baru tampak hasilnya 3-4 tahun kemudian, yang artinya memberi nyawa hingga 3-4 tahun kedepan. Sebulan PTDI bisa mengeluarkan Rp 20-30 miliar untuk menggaji karyawan dan operasional, bagaimana mendapatkan uang Rp 1 miliar untuk menggaji karyawan dan biaya overhead.

(bersambung)

Adv. Agung Pramono, SH., CIL.

Kongres Advokat Indonesia [KAI -- Pimpinan TSH]

DPC Klaten, Jawa Tengah

Anggota Forum Intelektual KAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun