Penghalang utama dalam legal reasoning terletak pada beberapa faktor penting menyangkut sistem hukum, birokratisasi pemerintah, sistem politik, dan struktur sosial, yang mana penyebab dari halangan tersebut adalah karena seringkali argumentasi yang disampaikan hanya disimpulkan sebagai sebuah retorika dari konsekuensi logis profesi Advokat dalam kepentingannya terhadap klien, dianggap tidak lebih dari sekedar permainan kata belaka. Dalam perkembangannya, penghalang yang muncul dominan adalah berasal dari politisasi hukum.
Dalam konteks retorika, tujuan utamanya adalah untuk memenangkan perhatian dan keyakinan sidang melalui argumen yang telah dibangun, memanfaatkan sarana-sarana persuasi yang dalam konteks kepentingan hukum dan klien adalah melalui sarana pembuktian yang bersifat sosial etik.
Keyakinan sosial etik itu harus dirangkai dalam argumen yuridis murni agar objektif, dan menjadi penafsiran yuridis yang layak untuk menyanggah pendapat yang berkeberatan terhadap keyakinan sosial etis dengan alasan bahwa keyakian sosial etik sudah dipertimbangkan sebelum norma hukum dibuat sehingga tidak relevan lagi bila dihadirkan dalam persidangan.
Kita tidak boleh berpedoman kepada pendirian tidak ada hukum di luar undang-undang karena undang-undang dianggap telah sempurna sehingga tugas hakim hanyalah menegaskan dan menegakkan apa yang sudah diatur dalam undang-undang, seperti ungkapan Cicero "the magistrate is a speaking law, and the law a silent magistrate" (terjemah bebas: Â ahli hukum adalah hukum yang berbicara, dan hukum adalah ahli yang diam).
Montesquieu bahkan memberikan ungkapan yang serupa bahwa hakim adalah mulut undang-undang ("le juge est la bouche de la loi").
Namun kemudian Montesquieu menegaskan bahwa pentingnya penafsiran yang menggunakan jiwa undang-undang tatkala undang-undang tidak jelas mengatur suatu hal; [Philipus M. Hadjon-Tatiek Sri Djatmiati, 2016, Argumentasi Hukum, him. 24-25]
Maxim Hukum Dalam Asas Ius Curia Novit
Tradisi hukum merujuk pada pengertian sikap yang tertanam dan terkondisi secara historis, perihal hakikat dan peranan hukum dalam masyarakat dan pemerintahan, dan tentang cara bagaimana hukum dibentuk atau seharusnya dibentuk, diterapkan, dipelajari, dan diajarkan. Sedangkan sistem hukum merujuk pada pengertian bekerjanya sekumpulan lembaga, prosedur, dan aturan hukum.
Dengan demikian, tradisi hukum lebih luas dari sistem hukum sebab dalam tradisi hukum yang sama sangat mungkin terdapat sistem hukum yang berbeda-beda. [Lihat lebih jauh John Henry Merryman, 1985, The Civil Law Tradition, hlm. 1-5, dan Linda Picard Wood (Ed.), 1996, Merriam-Webster's Dictionary of Law, hlm. 543]
Dalam kaitan tradisi ini tepat kiranya dikutip pernyataan Sudikno Mertokusumo tentang penemuan hukum yaitu, "Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.Â
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit". [Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, 1993, hlm. 4]