Mohon tunggu...
Agung Pramono
Agung Pramono Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, Pemerhati Hukum dan Sosial

pemahaman yang keliru atas makna hak adalah akar dari semua kejahatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Post-Truth, Realita Pembenar di Luar Kebenaran

3 Agustus 2020   16:00 Diperbarui: 8 Agustus 2020   22:48 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

'A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes truth' (Paul Joseph Goebels)

Paul Joseph Goebbels adalah pendukung utama Hitler dengan posisi kunci sebagai Menteri Propaganda yang disegani oleh para ilmuwan sebagai pengembang teknik propaganda modern yang secara teknis disebut argumentum ad nausem atau kebohongan besar (big lie).

Karakter masyarakat awam bergeser menjadi peserta dengan beruntunnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan menjadikan masyarakat awam tidak lagi sebagai objek yang pasif, namun dapat berperan menjadi produsen informasi, tidak lagi dideterminasi oleh media massa arus utama akan tetapi sudah mampu dikontribusikan untuk membentuk opini di wilayah publik, tidak sekedar berbagi pesan dan menyerap berita, tetapi mampu mempengaruhi persepsi dan perilaku publik, mempengaruhi pengambilan keputusan institusi, dan turut andil dalam pengembangan kesadaran kolektif opini publik.

Aylin Manduric dalam salah satu tulisannya memaparkan bahwa media sosial sebagai senjata pemusnah massal dan pemicu timbulnya konflik, berbagai informasi membanjiri ruang publik media sosial, arus informasi yang deras tanpa batas tersebut.

Ruang publik menjadi hal yang kontra produktif ketika terjadi informasi yang tumpang-tindih di media sosial, apa yang benar bersaing untuk tersampaikan dan tersalurkan kepada masyarakat awam dengan informasi palsu dan keliru sehingga bahkan memiliki daya rusak yang dashyat karena penyebarannya yang sangat cepat dan tanpa batas dengan kemampuan untuk membangkitkan emosi yang sangat kuat, inilah gambaran fenomena post truth.

Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika-Serbia adalah orang pertama yang menggunakan istilah post-truth melalui esainya pada harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya terhadap maraknya upaya memainkan opini publik dengan mengesampingkan bahkan memutarbalik fakta dan menurunkan kualitas data informasi yang objektif dengan data subjektif yang tampak masuk akal untuk diserap oleh perasaan, bukan logika faktual.

Post-truth terjadi ketika masyarakat membutuhkan pembenaran dari pada kebenaran sehingga lebih mencari atau membutuhkan sebuah pernyataan yang mendukung keadaannya apa dan bagaimanapun itu, diluar benar atau salah, kenyataan bersaing dengan ketidak-jelasan.

Salah satu faktor yang menjadi pemicu berkembangnya post-truth adalah kehadiran teknologi informasi yang mampu menciptakan realitas sendiri, sesuai dengan kepentingan yang berdampak pada terpisahnya antara penanda dengan pertanda.

Algoritma media sosial berperan dalam menciptakan keadaan di mana seseorang menerima informasi, ide, dan gagasan yang serupa dengan rutin, masyarakat akan hanya mendapat informasi yang liar dan tidak objektif, sehingga tidak boleh ada realitas lain yang boleh dianggap kebenaran yang pasti yang berakibat menguatkan suatu identitas atau pendapat, kekuatan masyarakat penikmat realita artifisial menjadi sebuah potensi yang memicu konflik.

Berpengetahuan Sekaligus Menjadi Bodoh Di Era Post Truth

Poerwadarminta mengatakan bahwa 'tahu' adalah kondisi mental tentang keadaan mengetahui. Pengetahuan mengandung arti sebagai segala sesuatu yang diketahui tanpa perlu mengikuti prosedur tertentu.

Berbeda dengan ilmu yang berarti pengetahuan yang khusus dalam cara memperolehnya, karena ia memiliki metodologi keilmuan dan memperoleh ilmu hanya bisa dilakukan dengan cara tententu mengikuti alur kerangka kerja dan berpikir keilmuan.

Kebodohan adalah penyakit individu dalam masyarakat. Dalam skala yang luas, jika masyarakat bisa menjadi bodoh, ketika masyarakat mengalami anomali dalam berpikir, maka kebodohan dapat berkembang dan menular pada masyarakat.

Hidup kita telah tiba pada pada saat mana segala sesuatu menjadi sangat mudah, dunia seperti berada dalam genggaman, berekspresi dengan melampaui bahkan mengabaikan batasan etik. Kebebasan tanpa sikap hati-hati dengan harapan dipertanggungjawabkan secara kolektif yang seringkali justeru diderita secara pribadi sementara lainnya cuci-tangan, menimbulkan berbagai masalah dalam pergaulan yang dianggap biasa, meski sudah melewati batas kewajaran.

Inilah era yang telah meruntuhkan standar kebenaran dimana orang bisa berbuat apapun hanya dengan sentuhan satu ujung jari, tanpa perlu mengetahui asal, sebab dan dampak apalagi menyelidiki apa yang dibagikannya.

Pada dasarnya, merupakan potensi dari manusia itu sendiri yang mudah merasakan kenyamanan hidup dalam dunia yang semu yang tidak memerlukan benar atau salah selama itu menguntungkan untuk dirinya sendiri, apalagi terbentuk sebuah masyarakat yang saling mendukung untuk menguatkan siatuasi dan nilai kenyamanan, memilih hidup dan bertahan di wilayah post-truth.

Menurut Roland Barthes, tanda-tanda dalam budaya bukanlah sesuatu yang lugu, bahkan sebaliknya justru memiliki kaitan yang kompleks dengan penataan atau pegolahan ulang bahkan lanjutan dari sebuah ideologi.

Terjadi suatu penciptaan realitas yang tidak banyak lagi berdasarkan pada dunia nyata namun dari sebuah trending topic yang viral yang seolah menjadi semacam realitas kedua yang sebetulnya hanyalah realitas artifisial (artificial reality) yang hadir untuk mengimbangi kenyataan yang sebenarnya akan tetapi bahkan mampu berbuat lebih ketimbang kenyataan itu sendiri dalam pikiran masyarakat yang akhirnya merubah dunia nyata.

Pola Pembenaran Makin Mengkhawatirkan

Masyarakat juga tidak butuh validitas yang membingungkan orang bodoh untuk mau belajar berilmu-pengetahuan secara benar, kehidupan semakin senewen dengan menghancurkan kebenaran, hal ini membuat para pakar tersingkir dari ruang debat publik virtual, sementara para penghasud sekedar merangsang dengan pendapat yang seadanya saja kemudian melemparkan kepada dinamika publik yang sudah menjadi simpatisan yang lugu.

Nalar manusia sudah dimanipulasi, konstruksi nalar manusia mengenai kebenaran sebetulnya hanya emosi sosial belaka, tidak peduli lagi dari mana segala informasi itu berasal atau bagaimana informasi itu sudah digubah berlawanan dengan kenyataan yang sebenarnya. Persoalan uji kesahihan informasi yang beredar tidak lagi dianggap sebagai hal penting yang harus dilakukan.

Hans George Gadamer dalam Truth and Method sudah mengatakan bahwa kebanyakan manusia tidak pernah berjumpa dengan kebenaran.

Dalam dunianya manusia, informasi mengenai pengetahuan merupakan hal yang sangat mahal dan sulit untuk ditemukan sehingga menggerakkan manusia untuk berlomba-lomba mencari kebenaran pengetahuan tersebut dengan cara saling menguji dan mengkritisi.

Sebaliknya pada era virtual, bukan manusia yang mengejar informasi mengenai pengetahuan melainkan informasi tersebut yang hadir didepan mata manusia, nalar yang mandul menyimpulkan bahwa hal yang berharga dari informasi adalah seberapa jauh ia menjadi viral, trending dan dibicarakan oleh banyak orang tanpa perlu mengenali sebab kepopuleran info tersebut, yang penting nyaman untuk menjadi bahan apalagi bisa dikenal sebagai penyampai info (gosip) yang pertama, itulah rumusan dunia virtual tentang realitas.

D'Ancona dalam buku Post-Truth: the new war on truth mengatakan, "jaman post-truth - saat dimana seni berbohong mengguncang pondasi dasar demokrasi." (D'Ancona, 2017)

Kita menjadi bagian dari sifat politik menang-kalah tanpa dialektika, cacat rasio bertahan dalam kultur masyarakat yang cenderung tidak kriti, argumen sederhana post-truth adalah menyelundupkan kebohongan ke dalam ruang obrolan publik.

Wittgenstein dalam ungkapan yang filosofis mengatakan "batas bahasaku adalah batas duniaku", kehadiran post-truth dikuatkan dengan pemanfaatan input teknologi terkini seperti Big Data, Artificial Intelligence, dan cara komunikasi micro-targeting.

Sebuah survei yang dilakukan terhadap sekitar 6.000 mahasiswa Amerika Serikat, diperoleh fakta bahwa mereka merasakan kerinduan mendalam terhadap kualitas jurnalisme yang lebih baik, di tengah derasnya informasi tanpa kejelasan dan tanggungjawab yang menjejali dunia maya, umumnya mereka tidak senang dengan banyaknya bias dalam pelaporan berita.

timbulnya masalah untuk melakukan identifikasi atas informasi dari netizen (warganet) mengenai fakta dan kepalsuan atau bahkan rekaan menurut mantan jurnalis Los Angeles Times Maggie Farley, adalah dilatarbelakangi kerja mesin yang super canggih. Beberapa hal yang berperan penting dalam pengolahan, pengumpulan data, fokus dan popularitasnya adalah algoritma dan bot, yang bilamana digunakan tanpa tanggungjawab maka akan memicu semakin besarnya ketidakpercayaan terhadap fakta dan data yang disajikan oleh lembaga resmi maupun media massa, meremehkan kebenaran karena kepercayaan hanyalah sekedar masalah kenyamanan, bukan benar atau salah.

Kemudian, tulisan inipun saya akhiri dengan kutipan yang juga berasal dari Joseph Goebbels, 'mereka tidak akan mampu menyembunyikan kebenaran sekeras apapun mereka coba, akan datang satu saat dimana semua kebohongan akan jatuh karena bobotnya sendiri, dan kebenaran akan kembali menang.'

Ironis bukan? Satu orang mengatakan dua rangkaian kalimat yang saling beda, yang pertama pada awalnya mengembangkan teknik kebohongan, dan pada akhirnya yang kedua mengakui kelemahan metodenya, hingga akhirnya bunuh diri bersama anak-istrinya.

Hilangnya etika dan kearifan dalam ruang publik politik kita saat ini memerlukan penegakan hukum yang berkeadilan dan imparsial untuk menghindarkan kebencian berkembang menjadi konflik politik yang tidak berkesudahan, karena "kadang, orang tidak mau mendengarkan kebenaran karena mereka tidak ingin impian mereka hancur." (Friedrich Nietsche)

Untuk mencatatkan data sejarah kedalam bentuk digital merupakan permasalahan tersendiri, tentu data yang tersedia tidak meliputi waktu yang utuh kecuali sekedar apa yang akan dijadikan bahan untuk input kecerdasan buatan saja.

Kecuali memang ada sumber daya manusia yang memang dikhususkan untuk itu atau lebih ekstrem adalah memutus benang sejarah yang berarti bisa jadi merekayasa naskah sejarah tanpa berpedoman kepada validitas, untuk mengejar kinerja kecerdasan buatan.

Disinilah teknologi AI (artificial intelligence/kecerdasan buatan) akan menerima stigma sebagai pengolah data hoax atau post-truth.

Adv. Agung Pramono, SH., CIL.

Kongres Advokat Indonesia [KAI - Pimpinan TSH]

DPC Klaten

Anggota Forum Intelektual KAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun