Mohon tunggu...
Agung Pramono
Agung Pramono Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, Pemerhati Hukum dan Sosial

pemahaman yang keliru atas makna hak adalah akar dari semua kejahatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Post-Truth, Realita Pembenar di Luar Kebenaran

3 Agustus 2020   16:00 Diperbarui: 8 Agustus 2020   22:48 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunianya manusia, informasi mengenai pengetahuan merupakan hal yang sangat mahal dan sulit untuk ditemukan sehingga menggerakkan manusia untuk berlomba-lomba mencari kebenaran pengetahuan tersebut dengan cara saling menguji dan mengkritisi.

Sebaliknya pada era virtual, bukan manusia yang mengejar informasi mengenai pengetahuan melainkan informasi tersebut yang hadir didepan mata manusia, nalar yang mandul menyimpulkan bahwa hal yang berharga dari informasi adalah seberapa jauh ia menjadi viral, trending dan dibicarakan oleh banyak orang tanpa perlu mengenali sebab kepopuleran info tersebut, yang penting nyaman untuk menjadi bahan apalagi bisa dikenal sebagai penyampai info (gosip) yang pertama, itulah rumusan dunia virtual tentang realitas.

D'Ancona dalam buku Post-Truth: the new war on truth mengatakan, "jaman post-truth - saat dimana seni berbohong mengguncang pondasi dasar demokrasi." (D'Ancona, 2017)

Kita menjadi bagian dari sifat politik menang-kalah tanpa dialektika, cacat rasio bertahan dalam kultur masyarakat yang cenderung tidak kriti, argumen sederhana post-truth adalah menyelundupkan kebohongan ke dalam ruang obrolan publik.

Wittgenstein dalam ungkapan yang filosofis mengatakan "batas bahasaku adalah batas duniaku", kehadiran post-truth dikuatkan dengan pemanfaatan input teknologi terkini seperti Big Data, Artificial Intelligence, dan cara komunikasi micro-targeting.

Sebuah survei yang dilakukan terhadap sekitar 6.000 mahasiswa Amerika Serikat, diperoleh fakta bahwa mereka merasakan kerinduan mendalam terhadap kualitas jurnalisme yang lebih baik, di tengah derasnya informasi tanpa kejelasan dan tanggungjawab yang menjejali dunia maya, umumnya mereka tidak senang dengan banyaknya bias dalam pelaporan berita.

timbulnya masalah untuk melakukan identifikasi atas informasi dari netizen (warganet) mengenai fakta dan kepalsuan atau bahkan rekaan menurut mantan jurnalis Los Angeles Times Maggie Farley, adalah dilatarbelakangi kerja mesin yang super canggih. Beberapa hal yang berperan penting dalam pengolahan, pengumpulan data, fokus dan popularitasnya adalah algoritma dan bot, yang bilamana digunakan tanpa tanggungjawab maka akan memicu semakin besarnya ketidakpercayaan terhadap fakta dan data yang disajikan oleh lembaga resmi maupun media massa, meremehkan kebenaran karena kepercayaan hanyalah sekedar masalah kenyamanan, bukan benar atau salah.

Kemudian, tulisan inipun saya akhiri dengan kutipan yang juga berasal dari Joseph Goebbels, 'mereka tidak akan mampu menyembunyikan kebenaran sekeras apapun mereka coba, akan datang satu saat dimana semua kebohongan akan jatuh karena bobotnya sendiri, dan kebenaran akan kembali menang.'

Ironis bukan? Satu orang mengatakan dua rangkaian kalimat yang saling beda, yang pertama pada awalnya mengembangkan teknik kebohongan, dan pada akhirnya yang kedua mengakui kelemahan metodenya, hingga akhirnya bunuh diri bersama anak-istrinya.

Hilangnya etika dan kearifan dalam ruang publik politik kita saat ini memerlukan penegakan hukum yang berkeadilan dan imparsial untuk menghindarkan kebencian berkembang menjadi konflik politik yang tidak berkesudahan, karena "kadang, orang tidak mau mendengarkan kebenaran karena mereka tidak ingin impian mereka hancur." (Friedrich Nietsche)

Untuk mencatatkan data sejarah kedalam bentuk digital merupakan permasalahan tersendiri, tentu data yang tersedia tidak meliputi waktu yang utuh kecuali sekedar apa yang akan dijadikan bahan untuk input kecerdasan buatan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun